Rasanya baru kemarin kami mengajukan permintaan informasi HGU kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk Provinsi Papua dan Papua Barat. Nyatanya permintaan kami untuk keterbukaan informasi HGU ini telah bergulir setahun lebih, sejak  ATR/BPN menerima berkas kami pada 30 Januari 2018.

Karena hingga lebih dari jangka waktu yang ditentukan, ATR/BPN tidak kunjung memberikan jawaban. Hingga pada tanggal 8 Maret 2018 kami mengirimkan surat pernyataan keberatan, yang kemudian 20 hari setelahnya dibalas oleh  ATR/BPN dengan surat yang menyatakan tidak dapat menyajikan dokumen yang diminta dikarenakan belum terdokumentasikan dengan lengkap. Informasi HGU yang kami desak keterbukaannya merupakan daftar perizinan perkebunan sawit yang memuat keterangan nama pemegang izin HGU, luas, lokasi, jenis komoditi, serta peta areal HGU lengkap dengan titik koordinatnya, yang seharusnya terdokumentasi dengan baik oleh  ATR/BPN.

Kami pun tidak menyerah, kami kembali mengajukan permohonan penyelesaian sengketa informasi ke Komisi Informasi Publik (KIP). Meski hingga saat ini proses penyelesaian sengketa informasi masih berlangsung dan ATR/BPN masih bersikeras dalam persidangan menyampaikan bahwa dokumen HGU tidak bisa dibuka karena menyangkut rahasia pribadi dan perusahaan, juga berkaitan dengan persaingan usaha yang tidak sehat.

Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia saat mengikuti salah satu proses sidang di Komisi Informasi Pusat

Setelah melalui banyaknya sidang di KIP, besok kami akan kembali ke meja persidangan. Kali ini kami akan membawa saksi ahli untuk memaparkan secara nyata bagaimana pemberian izin HGU menjadi pintu masuk yang terbuka lebar untuk korupsi.

Kasus korupsi terkait pemberian izin HGU marak terjadi di Indonesia, para penyuap leluasa memanfaatkan ketertutupan informasi HGU ini dengan menyogok oknum pemerintahan untuk mendapatkan izin. Kasus suap terbaru melibatkan tiga anggota dan ketua DPRD Kalimantan Tengah terkait HGU perusahaan sawit PT Binasawit Abadi Pratama, Managing Director Eddy Saputra Suradja telah divonis 1 tahun 8 bulan penjara. Kemudian Bupati Buol Amran Batalipu dengan urusan penerbitan HGU lahan sawit milik PT Hardaya Inti Plantations dan PT Cipta Cakra Murdaya.

Polemik HGU yang dikuasai oleh segelintir pengusaha juga rentan menciptakan konflik antara warga dan korporasi. Laporan Ombudsman tahun 2017, terdapat dugaan maladministrasi pemerintah berkaitan dengan isu pertanahan sebanyak 13,43% dari total 8.264 aduan. Dalam tahun yang sama,  Kementrian ATR / BPN berada di peringkat ke-4 dalam daftar lembaga yang paling kerap diadukan ke Ombudsman. Berdasarkan kajian KIP, dalam kurun 2010 hingga 2015, sengketa yang mereka tangani mayoritas berkaitan dengan sektor sumber daya alam.

Tuntutan atas reforma agraria bukan karena semata-mata janji pemerintah yang sedang berkuasa. Namun reforma agraria merupakan mandat konstitusi yang wajib dijalankan oleh siapapun Presiden Indonesia sebagai mandatoris. Salah satu langkah awal untuk menjalankan mandat tersebut, pemerintah harus segera membuka data informasi HGU untuk selanjutnya dikoreksi guna menyelesaikan konflik agraria dan mengurai ketimpangan penguasaan lahan.

Pasal 11 ayat (2) UU KIP juga menyatakan bahwa informasi yang dinyatakan terbuka sebagai hasil sengketa maka otomatis menjadi informasi yang dapat diakses publik dalam kategori wajib disediakan setiap saat. Oleh karena itu, tidak dilaksanakannya putusan tersebut oleh Menteri ATR/BPN berpotensi untuk diperkarakan secara pidana oleh pihak yang menang berdasarkan Pasal 52 UU KIP. Bahkan jika Menteri ATR/BPN bersikukuh informasi HGU sebagai informasi rahasia, maka Presiden yang mengungkap informasi HGU di debat Pilpres-pun berpotensi diperkarakan secara pidana berdasarkan Pasal 54 ayat (1) UU KIP dengan ancaman maksimal 2 tahun penjara.

Aksi relawan Greenpeace di Kementerian ATR/BPN dalam mendesak keterbukaan informasi HGU

Keterbukaan informasi adalah jawaban atas segala persoalan ini. Tingginya tingkat kerusakan hutan, maraknya konflik di sektor hutan dan lahan, serta besarnya potensi korupsi dalam rantai perizinan yang berdampak terhadap hilangnya pendapatan negara menjadi latar belakang kuat pentingnya informasi HGU ini terbuka bagi publik.

Masyarakat harus dilibatkan dalam mengawasi tata kelola hutan dan lahan yang selama ini rentan disalahgunakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga merusak kelestarian hutan di Indonesia. Melalui keterbukaan informasi adalah pintu masuk bagi proses partisipasi masyarakat dalam mengawasi kinerja  pemerintahan.