Pemimpin dari 10 negara anggota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) melakukan pertemuan di Bangkok, Thailand, pekan ini untuk membicarakan hal-hal yang mendesak seperti pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan perkembangan sosial di wilayah ini.

Pertemuan ini dilaksanakan saat wilayah ASEAN dihadapkan dengan krisis dalam skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya, pengiriman besar-besaran sampah yang tak diinginkan dari negara-negara maju yang berakhir di pelabuhan dan tempat pembuangan di Filipina, Malaysia, Indonesia dan Thailand.

Kemasan produk sehari-hari ditemukan di situs pabrik daur ulang Wespack. Wespack adalah perusahaan daur ulang ternama di Malaysia. © Greenpeace

Meski dicap sebagai ‘bisa didaur ulang’, sampah-sampah ini seringkali merupakan campuran antara plastik yang tak bisa didaur ulang dan plastik yang sudah terkontaminasi dan tak bisa diproses, khususnya di Asia Tenggara yang belum ada fasilitas dan mekanisme daur ulang yang baik. Impor sampah global ini menempatkan Asia Tenggara sebagai pihak yang dirugikan.

Namun baik isu sampah ataupun impor sampah tidak ada dalam agenda rapat. Cukup jauh dengan tema pertemuan ASEAN, “Advancing Partnership for Sustainability” (Memajukan Kerjasama yang Berkelanjutan). Alih-alih, diskusi dalam pertemuan ini akan fokus pada perdagangan, ekonomi, dan masalah keamanan. Yang memprihatinkan, masalah penting berhubungan dengan kemajuan yang berkelanjutan dan menjadi momok pertumbuhan wilayah ASEAN, tidak dibahas.

Dalam dua tahun terakhir, negara-negara wilayah ASEAN baik yang masih berkembang maupun yang telah makmur dihadapi dengan pengiriman sampah plastik dari negara maju. Di antara tahun 2016 dan 2018 saja pertumbuhan impor sampah di wilayah ini terus meningkat hingga 171%. Hal ini memunculkan pembatasan impor oleh negara-negara terdampak, yang puncaknya di bulan Mei dan Juni tahun ini dengan pengumuman dari Filipina, Malaysia dan Indonesia untuk mengembalikan sampah tersebut.

Aktivis lingkungan dari berbagai komunitas membawa plakat saat protes terhadap impor sampah di Olongapo City, Filipina. © Greenpeace

Krisis impor sampah yang dihadapi wilayah ini sebagian besar adalah dampak larangan impor sampah yang diberlakukan di Tiongkok sejak tahun 2018. Sebelumnya, banyak negara Asia Tenggara yang mengimpor sampah, namun dalam skala yang jauh lebih kecil, dan mereka tidak mengembalikan sampahnya hingga situasi mencapai titik krisis. Dengan tidak adanya tanda-tanda impor sampah global akan berhenti, pertanyaannya adalah, apakah negara-negara ASEAN akan terus menerima sampah dunia?

Tidak masuk akal bahwa negara-negara di bagian utara masih yakin bahwa Asia Tenggara akan tetap menerima sampahnya untuk didaur ulang, dan bahwa beberapa bisnis dan pemerintah di sini masih berpikir bahwa impor sampah menguntungkan. Namun keadaan saat ini menunjukkan bahwa daur ulang, bahkan di belahan dunia bagian utara, adalah mitos. Kalaupun daur ulang mudah dilakukan, mengapa sampah itu tidak diproses oleh fasilitas daur ulang “yang lebih canggih” di negara asalnya? Dengan mengatakan bahwa Asia Tenggara harus memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembangkan fasilitas daur ulangnya menunjukkan bahwa kolonialisme masih ada dan merasionalkan ketidakadilan bagaimana negara berkembang dibebani oleh polusi yang ditimbulkan oleh negara maju.

Pemerintah ASEAN seharusnya memikirkan ulang mengenai kebijakan sampah domestik. Kebijakan mengenai sampah yang efektif seharusnya dipikirkan mulai dari material sejak pertama kali dirancang. Dalam kasus sampah plastik, artinya meninggalkan produk dan kemasan plastik sekali pakai dari awal. Membatasi dan akhirnya meninggalkan plastik sekali pakai akan mengurangi sampah secara signifikan. Hal ini penting mengingat banyak penduduk negara Asia Tenggara yang masih sangat bergantung pada kantong plastik, dan target konsumen produk berkemasan saset yang tidak bisa didaur ulang.

Produk dalam kemasan plastik di sebuah toko di Manila, Filipina. © Daniel Müller / Greenpeace

ASEAN mempunyai peran yang sangat penting dalam impor sampah dan produksi plastik. Saat ini pelarangan plastik hanya ada di bagian kecil negara-negara ini sebagai reaksi awal menghadapi kedua krisis ini. Kebijakan ini, meski ini adalah hal yang patut diapresiasi, masih perlu diperketat lagi.

ASEAN dapat memimpin inovasi global lebih jauh. Kajian kebijakan regional mendalam yang ditujukan untuk mengurangi produk dan kemasan plastik sekali pakai, dan memfasilitasi inovasi kemasan yang dapat digunakan kembali dan sistem pengiriman alternatif dapat membuat model bisnis yang baru dan berkelanjutan untuk menggantikan sampah industri daur ulang yang kuno dan kotor dengan bisnis yang lebih ramah lingkungan dan sehat.

Melihat fokus dalam pertemuan di Thailand tahun ini adalah keberlanjutan, masyarakat ASEAN seharusnya menuntut para pemimpinnya untuk membahas mengenai sampah dan impor sampah. Ini adalah kesempatan di waktu yang tepat untuk menunjukkan kepemimpinan ASEAN dalam masalah penting ini. Dengan menghentikan impor sampah dan memberlakukan kebijakan pengurangan plastik yang kuat, wilayah ASEAN berada dalam posisi ideal untuk mempercepat transformasi ekonomi global, memaksa negara-negara di belahan utara bumi memikirkan ulang sampah mereka masing-masing dan mengakhiri ekspor sampah.

Lea Guerrero adalah Direktur Greenpeace Filipina

Tara Buakamsri adalah Direktur Greenpeace Thailand

Artikel opini ini dipublikasikan pertama kali pada tanggal 21 Juni di The Nation