Banyak sekali hal-hal yang bisa dinikmati manusia dari alam, seperti hujan dan panas matahari. Tanpa kita sadari, hal mendasar yang dibutuhkan manusia untuk menyokong hidup sehari-hari, hal-hal “biasa” yang kita terima tersebut adalah sebuah privilege, yang bisa hilang. Ambil contoh ini, sudah memasuki bulan Desember, saat beberapa daerah dilanda banjir, beberapa daerah di Indonesia masih jarang mendapatkan curah hujan. Udara semakin terasa hangat bahkan di bulan-bulan yang seharusnya masuk kategori musim hujan. Namun ada pula daerah yang intensitas curah hujannya tinggi meskipun tidak dalam masa musim hujan. Tiba-tiba saja bisa menikmati cuaca yang “biasa” menjadi sesuatu yang sulit. Karena kita menghadapi krisis, cuaca akan sulit diprediksi akibat ketidakstabilan iklim. Lalu, kira-kira privilege manusia apalagi yang akan hilang karena adanya #KrisisIklim?

Tidak Ada Lagi Keindahan dari  Danau dan Sungai

Greenpeace activists protest at the Laguna de Aculeo for urgent and ambitious action on climate.
They show images of the lake when it was still full of water. © Martin Katz / Greenpeace

Rendahnya curah hujan menyebabkan kekeringan pada sumber air seperti sungai dan danau. Jika panas bumi terus meningkat, yang salah satunya disebabkan oleh gas rumah kaca akibat aktivitas manusia, maka bukan tidak mungkin kita akan kehilangan sungai dan danau di lingkungan kita. Kekeringan massal akan segera terjadi. Seperti pada tahun 2015 silam, Danau Poso mengering akibat tingginya suhu dan tidak adanya curah hujan. Keringnya danau terbesar ketiga di Indonesia menyebabkan keringnya ratusan hektare sawah di tiga desa gagal panen. Danau Limboto di Gorontalo memiliki nasib yang sama. Saat ini Danau Limboto sudah mulai mengering. Kurun waktu 50 tahun, luas danau berkurang hingga 62,60% dan diprediksi akan menjadi daratan pada 2025.

Susah Makan Ikan

Crews collect skipjack tuna fish into the cooler in Flores sea, East Nusa Tenggara.  © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Apa hubungannya #KrisisIklim dengan makan ikan? Oh tentu saja ada! Ketidakpastian iklim dan cuaca membuat nelayan susah menentukan apakah mereka bisa pergi melaut atau tidak. Hal tersebut menyebabkan nelayan sulit mendapat ikan sehingga pendapatan nelayan akan turun drastis. Tak hanya itu, masyarakat perkotaan akan kesulitan mendapat ikan dan harga ikan semakin mahal karena langka. Hmm, apa jadinya masyarakat Indonesia tanpa makan ikan? 

Sulitnya Mendapat Air Bersih

The Cerrado biome is a very diverse and vast tropical savanna ecoregion of Brazil. © Marizilda Cruppe / Greenpeace

Air merupakan komponen penting dalam menunjang kehidupan manusia. Tanpa air seluruh aktivitas manusia dapat terhenti. Manusia kekurangan air bersih untuk minum, memasak, dan mandi. Seperti yang dijelaskan oleh peneliti LIPI terkait ketersediaan air di Pulau Jawa yang akan habis pada tahu 2040. Saat ini setiap orang yang ada di Pulau Jawa bisa mendapat 1.169 meter kubik air per tahun. Padahal, menurut Menteri PUPR, ketersediaan air ideal untuk satu orang setiap tahunnya adalah 1.600 meter kubik. Kekurangan air akan dirasakan penduduk Jawa dan pada 2040 diprediksi ketersediaan air hanya sebesar 476 meter kubik per tahunnya. Hal tersebut dikarenakan kekeringan yang melanda Pulau Jawa akibat curah hujan yang semakin sedikit dan tidak adanya teknologi penjernih air. Sudah siapkah kita kehilangan privilege ini?

Udara Bersih Menjadi Langka

Thick smog blankets Singapore’s skyline. © Ferina Natasya / Greenpeace

Pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak bumi membuat udara kotor dan berbahaya. Selain sulitnya mendapat air bersih, udara bersih juga menjadi hal langka. Selama ini kita dibebaskan untuk menghirup udara bersih secara gratis, namun hal itu akan sulit terjadi apabila udara sudah semakin kotor dan penyakit pernafasan menyerang manusia. September lalu, Jakarta dinobatkan sebagai salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Tinggal menunggu kota lainnya mendapat gelar yang sama jika kita tidak menghentikan #KrisisIklim. Kemudian, privilege manusia mendapat udara bersih akan berhenti.

Cerita Atlantis akan Menjadi Kenyataan

A building floats near the New Jersey shore in the aftermath of Hurricane Sandy. © Greenpeace / Tim Aubry

Daratan akan tenggelam, mungkinkah? Jawabannya mudah, sangat mungkin. Ketika gas rumah kaca membuat bumi semakin panas, es di Kutub Utara dan Antartika mencair sehingga volume air laut akan naik. Satelit NASA merekam kenaikan air laut pada saat ini mencapai 99mm jika dibandingkan tahun 1993. Kita akan kehilangan satu privilege lagi ketika daratan tenggelam.

#KrisisIklim bukan masalah sepele karena keadaan iklim dan kesehatan sistem kehidupan planet kita saling terkait erat, dan satu perubahan akan secara langsung mempengaruhi yang lainnya. Dampak yang akan dialami manusia sangat buruk, privilege kita akan direnggut oleh kita sendiri karena kita tidak berusaha menjaga bumi tetap stabil. Aktivitas manusia memainkan peran sentral. Ketika kita tidak bisa berhenti dari ketergantungan terhadap bahan bakar fosil untuk memberi daya pada rumah, bisnis, mobil, dll, keseluruhan aktivitas tersebut melepaskan karbon dioksida ke atmosfer. Deforestasi untuk kayu dan pertanian juga merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca. Namun, masih ada kesempatan untuk mengembalikan iklim agar kembali stabil. Sudah saatnya kita membuat pilihan dengan menggunakan energi terbarukan dan mengurangi pembakaran bahan bakar fosil. Kita terus dorong Indonesia untuk berpaling dari kertergantungan pada batu bara dan minyak bumi, dan di saat bersamaan kita biasakan menggunakan angkutan umum atau bersepeda untuk kegiatan sehari-hari. Pilihan yang kita buat hari ini menentukan iklim masa depan!

Rizka Aulia Maghfira adalah Mahasiswi PPM Manajemen yang sedang melakukan magang di Greenpeace Indonesia.