Stan makanan laut di Hamburg, Jerman. © Joerg Modrow / Greenpeace

Entah kamu memakannya, atau suka berenang di lautan bersamanya , atau menikmati proses memancing, ikan dan jenis hidangan laut lainnya memainkan peran besar dalam kehidupan kita. Satwa laut itu menakjubkan, begitu indah untuk diamati di habitat aslinya, siapa yang tidak suka menonton film Finding Nemo? Namun, bagi yang senang menikmati steak tuna, pernahkah kamu bertanya dari mana ikan itu berasal dan bagaimana proses dia ditangkap?

Bila kita telusuri, perjalanan hidangan laut atau biasanya kita menyebutnya seafood, dari laut ke supermarket itu rumit dan bisa membuat kita tercengang. Di belakang industri seafood yang menguntungkan, ada banyak praktik bisnis yang kotor, yang kental dengan praktik perbudakan modern, perusakan lingkungan, kolusi dengan pemerintah, dan belum lagi ancaman terhadap nelayan skala kecil dan keluarga mereka.

Inilah yang perlu kamu ketahui tentang dampak industri perikanan terhadap planet kita.

Penangkapan berlebihan mengancam keanekaragaman hayati

Pepatah lama mengatakan, “ada sangat banyak ikan di laut”. Tetapi populasi manusia terus tumbuh, yang menciptakan permintaan produk pangan laut yang semakin besar. Apakah populasi hewan laut mencukupi kebutuhan manusia? Jumlah mereka tidak sebanyak yang kita kira.

Dari tahun 1950 hingga 2015, jumlah armada perikanan di seluruh dunia naik dua kali lipat menjadi 3,7 juta. Penambahan armada perikanan secara terus-menerus menghasilkan tekanan besar pada populasi ikan, dan praktik-praktik yang dilakukan oleh industri perikanan kerap berorientasi untuk mengambil sebanyak mungkin ikan, dan mengabaikan dampak terhadap ekosistem laut dan kehidupan laut lainnya.

Kapal pukat dasar, yang menyeret sebuah jaring besar hingga dasar laut, telah menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada habitat bawah laut yang rapuh; industri tuna dengan alat pancing yang terdiri dari ribuan kait umpan membentang hingga puluhan kilometer, telah menghancurkan beberapa populasi hiu dan burung laut; dan kapal penangkap ikan pukat cincin, yang menggunakan jaring raksasa yang melingkar, menangkap tuna dalam jumlah besar dengan bantuan rumpon, sehingga bisa menarik sebagian besar ikan dan satwa laut lainnya. Ini hanyalah beberapa praktik yang mengancam keanekaragaman hayati lautan kita dan memperkecil peluang ikan untuk berkembang dan bertahan hidup.

Kapal ikan pukat cincin yang berasal dari Perancis, Trevignon, menangkap ikan cakalang dan tuna sirip kuning di kanal Mozambik. © Jiri Rezac / Greenpeace

Perikanan industri menghilangkan mata pencaharian banyak kelompok nelayan kecil

Jutaan kelompok nelayan pesisir di seluruh dunia bergantung pada penangkapan ikan sebagai sumber pendapatan. Di negara-negara berkembang, perikanan tangkap dan kegiatan terkait seperti pembuatan kapal atau pemrosesan ikan mempekerjakan jutaan orang, dan makanan laut sebagai salah satu sumber protein utama mereka. Bagi yang lain, memancing lebih dari sekadar makanan – memainkan peranan yang kuat dalam identitas mereka, terutama bagi masyarakat adat.

Keamanan dan akses pangan sangat penting bagi masyarakat pesisir, tetapi dengan kapal-kapal industri yang bekerja di laut seperti layaknya bekerja di pabrik, maka jutaan nelayan lokal dan skala kecil yang telah bergantung pada lautan selama beberapa generasi dibiarkan mencari nafkah di area penangkapan yang semakin sempit karena sebagian besar wilayah sudah terkuras, hingga mereka pun bisa kehilangan mata pencaharian.

Nelayan lokal menggunakan alat pancing sederhana untuk menangkap tuna di Flores, Indonesia. Metode memancing seperti ini berkontribusi pada keberlanjutan jangka panjang dan perkembangan jumlah ikan. © Paul Hilton / Greenpeace

Hidangan laut yang murah sering kali disertai dengan pelanggaran hak asasi manusia

Harga satu kaleng tuna yang murah mungkin tampak seperti hasil tawar-menawar, tetapi fakta di belakang harga tersebut adalah selain melakukan perusakan lingkungan, pelaku industri juga memperkerjakan pegawai dengan upah murah dan tindakan yang sewenang-wenang. 

Perikanan tangkap itu padat karya, benar-benar membutuhkan banyak pekerja untuk melakukan kegiatan penangkapan hingga pemrosesan. Sementara hal-hal seperti biaya bahan bakar tidak dapat dihindari, tenaga kerja menyumbang 30-50% dari total biaya operasional penangkapan ikan, dan serangkaian bukti menunjukkan bahwa pekerja migran, terutama dari Asia Tenggara, sering digunakan untuk mengambil jalan pintas.

Setelah terpikat dengan janji upah yang menarik dan kesempatan untuk memberikan kesejahteraan bagi keluarga mereka, yang justru terjadi berdasarkan berbagai kasus yang berhasil didokumentasikan dengan baik, para nelayan migran justru hidup dalam kondisi yang mengerikan, bekerja berjam-jam secara tidak manusiawi dengan upah rendah atau bahkan tanpa upah, dan sering kali menghadapi kekerasan. Suatu praktik yang disebut transshipment, yakni hasil tangkapan (beberapa di antaranya dapat mencakup tangkapan ilegal) dipindahkan dari satu kapal ke kapal yang lain untuk memungkinkan kapal penangkap ikan utama bertahan lebih lama tanpa memasuki pelabuhan, yang berarti para pekerja ini sepenuhnya terisolasi di laut selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Ini masih terjadi sekarang, dan Greenpeace Asia Tenggara memiliki kesaksian dan laporan untuk menunjukkannya.

Industri perikanan perlu segera menyadari keadaan darurat iklim

Keadaan darurat iklim saat ini merupakan salah satu ancaman terburuk bagi ekosistem laut kita yang rapuh. Planet yang lebih hangat berarti lautan yang lebih hangat, dan kehidupan laut semakin sulit untuk bertahan hidup. Selain itu, lautan menjadi lebih asam karena polusi karbon dari pembakaran batu bara, minyak dan gas, yang larut ke dalam air laut. Sebenarnya, memiliki lautan yang sehat dapat membantu melindungi kita dari perubahan iklim – karbon secara alami diserap oleh tanaman dan hewan dan ditangkap oleh tubuh makhluk hidup seperti paus dan ikan lainnya.

Di seluruh dunia, penangkapan ikan di kawasan tertentu telah menurun karena perubahan iklim, dan penangkapan ikan yang berlebihan tidak hanya memperburuknya, tetapi juga memicu penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU). Penangkapan ikan IUU, yang mengacu pada kegiatan yang bertentangan dengan hukum nasional atau internasional, mudah lolos di lautan lepas yang memang rendah dalam penegakan hukum. Ini adalah praktik risiko rendah dengan imbal hasil yang tinggi – IUU dilaporkan menyumbang seafood bernilai hingga US$ 23,5 miliar per tahun, dan menindak pemain utama tidaklah mudah.

Seekor hiu ditarik ke atas kapal Cina, Long Xing 621, menggunakan teknik longliner atau tali panjang di pertengahan lautan Atlantik. © Tommy Trenchard / Greenpeace

Jadi apa yang bisa saya lakukan?

Seperti makanan lain yang kita konsumsi, apa yang kamu lihat dalam kaleng, di lorong makanan beku, atau di pasar makanan laut segar di daerah kamu, mempunyai sebuah cerita. Bagaimana sampai di sana, siapa yang menangkapnya, dan di mana ia ditangkap sering diabaikan. Mendorong seluruh industri untuk mengubah praktiknya tidak mudah, tetapi dengan memperlengkapi diri kamu dengan pengetahuan tentang apa yang harus dicari dalam makanan laut berkelanjutan, maka kamu bisa menjadi konsumen ramah laut.

Untuk melangkah lebih jauh, tanyakan kepada perwakilan pemerintahan kamu apa yang mereka lakukan untuk memastikan pengelolaan perikanan berkelanjutan. Dengan tekanan yang cukup, kita semua dapat membantu melindungi “ikan kecil di kolam besar” – dari pekerja hingga kehidupan laut dan kelompok nelayan lokal – untuk memastikan industri makanan laut yang etis, berkelanjutan, dan lautan yang sehat.

Shuk-Wah Chung, yang menangani komunikasi kampanye perikanan global di Greenpeace Southeast Asia.

Hentikan Perbudakan Modern di Laut!

Tak jarang ABK Indonesia menjadi korban perbudakan modern di kapal perikanan asing jarak jauh. Bagaimana pelindungan Pemerintah?

Ikut Beraksi