Koalisi IBUKOTA menyesalkan sikap para tergugat yang memilih mengajukan banding ketimbang menjalankan putusan pengadilan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 September 2021.

Jakarta, 15 September 2022 – Menjelang peringatan 1 tahun kemenangan gugatan warga negara alias citizen lawsuit (CLS) pada 16 September 2022, polusi udara masih jadi masalah serius bagi warga DKI Jakarta. Bahkan, bisa dikatakan, kemenangan warga yang seharusnya mendapatkan hadiah berupa udara bersih juga belum terpenuhi. Sejauh ini, belum ada perubahan kebijakan yang mendorong terciptanya udara bersih. Sebaliknya, kualitas udara di ibukota malah makin buruk.

Data dari Nafas Indonesia dalam satu tahun terakhir (14 September 2021-14 September 2022) menunjukkan bahwa hanya ada satu bulan yakni Desember 2021 di mana kualitas udara di DKI Jakarta mengalami perbaikan. Pada bulan tersebut, nilai PM2.5 menurun karena musim hujan. Namun, memasuki musim kemarau (Juni-Juli 2022), nilai PM2.5 kembali melonjak.

Dari lima wilayah yang telah didata yakni Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Utara, tak ada satu pun yang menunjukkan nilai rata-rata tahunan PM2.5 sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) yakni 5 µg/m³ per tahun. Sebaliknya, kelima wilayah DKI Jakarta tersebut melampaui rekomendasi WHO hingga 7,2 kali lipat.

Rata-rata tahunan PM2.5 untuk Jakarta Pusat dan Jakarta Utara berada di kategori moderate, sedangkan tiga wilayah lain berada di kategori tidak sehat untuk kelompok sensitif. Paling tinggi adalah wilayah Jakarta Timur dengan rata-rata tahunan PM2.5 mencapai 44 µg/m³ atau melampaui rekomendasi WHO sampai 8,8 kali lipat.

Hal serupa juga ditemui pada beberapa kota atau wilayah penyangga DKI Jakarta yakni Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi. Fakta ini tentu menjadi bukti nyata bahwa pemerintah, baik pusat maupun daerah, tidak serius menangani isu polusi udara sekaligus lalai dalam menjaga keselamatan warganya.

Padahal, semakin banyak penelitian yang menemukan fakta bahwa polusi udara terbukti memberi dampak buruk pada kesehatan fisik dan mental manusia, serta bisa memangkas angka harapan hidup manusia di seluruh dunia hingga 2,2 tahun. Kunci perubahan tetap berada di tangan pemerintah pusat, terutama sekarang, saat pemerintah daerah sudah memasuki status demisioner.

Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, menyayangkan sikap para tergugat yakni Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, serta Menteri Dalam Negeri yang lebih memilih banding ketimbang menjalankan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta yang memilih tidak banding juga dianggap belum maksimal dalam menjalankan kewajibannya melindungi warga terkait hak mendapatkan udara bersih.

“Perayaan satu tahun kemenangan gugatan warga negara mengenai polusi udara ini patut kita rayakan dengan cara menagih janji kepada seluruh tergugat untuk segera mengimplementasikan apa yang sudah diperintahkan oleh hakim. Ketika DKI Jakarta memutuskan tidak melakukan upaya banding, sudah dengan pasti kita harus tagih janji dan pantau bersama upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dalam upaya mengendalikan polusi udara. Selain grand design yang sudah dijanjikan DKI Jakarta, kita juga butuh kepastian hukum di mana warga bisa memastikan secara transparan dan terukur upaya nyata apa yang dilakukan DKI Jakarta dalam pengendalian pencemaran udara,” tutur Bondan.

Senada dengan pernyataan Bondan, Pengacara Publik LBH Jakarta Charlie Albajili menegaskan bahwa publik harus terus bersikap proaktif dan kritis terhadap sikap pemerintah, baik pusat dan daerah.

“Penting bagi publik untuk terus menerus mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pengendalian pencemaran udara di Jakarta. Buruknya respon pemerintah menyikapi putusan pengadilan telah menunjukan pemerintah terus menerus abai terhadap keselamatan warganya. Desakan-desakan tersebut dapat dilakukan melalui jalur-jalur non litigasi seperti lobi kebijakan, menggalang petisi, kampanye hingga demonstrasi. Tanpa adanya desakan publik yang kuat dan meluas, sulit sekali menggantungkan harapan perubahan hanya pada pemerintah yang dalam beberapa tahun terakhir cenderung oligarkis dan tidak demokratis,” ucap Charlie.

Sementara itu, salah satu penggugat, Yuyun Ismawati, menilai tidak ada alasan bagi pemerintah menunda atau menyangkal tanggung jawab mereka dalam merealisasikan hak asasi warga.

“Polusi udara berdampak panjang pada kesehatan anak-anak maupun orang dewasa. Penyakit-penyakit kronis dan berbagai jenis kanker dapat timbul akibat menghirup udara kotor. Hak hidup di lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan adalah hak asasi manusia. Sebetulnya tidak ada alasan bagi negara untuk menunda atau menyangkal tanggung jawab merealisasikan hak asasi warga,” kata Yuyun.

Gugatan warga negara terhadap polusi udara di DKI Jakarta dimulai pada 5 Desember 2018 dengan melakukan penyerahan notifikasi. Selanjutnya, warga negara yang tergabung dalam Koalisi IBUKOTA menyerahkan gugatan ke PN Jakpus pada 4 Juli 2019.

Selama rentang bulan Agustus-September 2019, ada empat sidang pendahuluan yang digelar. Lalu, pada 17 Oktober 2019, putusan sela terhadap penggugat dijatuhkan dalam bentuk intervensi mediasi. Putusan sela ini kemudian dimanfaatkan Koalisi IBUKOTA dengan menjalani mediasi bersama pihak tergugat sebanyak lima kali, termasuk dua 

pertemuan mediasi di luar persidangan dengan Pemprov DKI Jakarta, dalam rentang bulan Oktober-Desember 2019.

Pada 19 Desember 2019, Sidang Pembacaan Gugatan digelar. Namun, persidangan berjalan sangat berliku karena sidang putusan gugatan sempat ditunda sebanyak delapan kali sejak tahun 2019 hingga 2021.Baru pada 16 September 2021, hakim memenangkan gugatan Koalisi IBUKOTA dan memutus bersalah kepada para tergugat yakni Presiden, Menteri LHK, Menkes, dan Mendagri, termasuk turut tergugat yakni Gubernur DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

Namun, alih-alih menjalankan putusan hakim PN Jakpus, para tergugat memilih mengajukan banding pada 30 September 2021. Aksi banding ini kemudian dilawan Koalisi IBUKOTA, yang diwakili Tim Advokasi dari LBH Jakarta, dengan mendaftarkan kontra memori banding ke PN Jakpus pada 17 Januari 2022.

Memasuki tahun politik pada 2024, Koalisi IBUKOTA mendesak agar isu kualitas udara menjadi agenda elektoral, terutama dalam pemilihan kepala daerah berikutnya.

Dokumentasi acara bisa diunduh di sini.

Kontak media: 

Bondan Andriyanu, Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, +62 8118188182
Charlie Albajili, Pengacara Publik LBH Jakarta, +62 87819959487
Diya Farida (Faya), Climate Impact Associate Yayasan Indonesia Cerah, +62 83898745680