Jakarta, 27 September 2022. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengumumkan enhanced National Determined Contribution (NDC) terbaru Indonesia. Meskipun ada peningkatan dalam target pengurangan emisi, dari 29% menjadi 31.89% dengan usaha sendiri di tahun 2030, dan dari 41% menjadi 43.2% jika dengan bantuan internasional, namun enhanced NDC ini masih jauh dari harapan publik untuk melindungi masa depan Indonesia dari dampak buruk krisis iklim.

“Sangat disayangkan dalam enhanced NDC yang pembahasannya dilakukan secara tertutup ini, rencana percepatan pengakhiran masa operasional PLTU, atau rencana pensiun dini PLTU, belum tertuang dalam rencana mitigasi enhanced NDC. Padahal pensiun dini PLTU sangat perlu dilakukan secepatnya untuk memberikan ruang bagi pengembangan energi terbarukan di tengah kondisi kelebihan pasokan listrik. Ini jauh lebih baik daripada menyuruh masyarakat menambah daya dan mendorong penggunaan energi listrik berlebihan, demi menyelamatkan PLN dari krisis akibat kelebihan pasokan listrik” ungkap Adila Isfandiari, Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia. 

Masih diizinkannya penggunaan batubara minimal 30% di tahun 2025 dan 25% di tahun 2050 (teks dalam Enhanced NDC: “coal should be minimum 30% in 2025 and minimum 25% in 2050”) juga bertentangan dengan rekomendasi IPCC untuk mencapai target 1.5 derajat Celcius, yang mengharuskan adanya pengurangan batubara dalam sektor kelistrikan sebesar 80% dari level 2010 pada tahun 2030, dan melakukan phase out batubara pada tahun 2040

Pemerintah juga merencanakan penggunaan co-firing pada PLTU Batubara dengan kebutuhan 9 juta ton biomassa. Berdasarkan analisis IEEFA, penggunaan biomassa dalam jumlah besar ini akan membutuhkan industri biomassa skala besar dengan tantangan teknis dan finansial yang besar pula, terutama untuk mendapatkan biomassa berkualitas. Pencampuran 5% biomassa untuk co-firing hanya akan mengurangi emisi CO2 pada PLTU sebesar 3.2% saja, belum termasuk risiko jejak karbon pada perluasan lahan untuk biomassa, proses produksi pellet dan juga distribusi. Selain itu, terdapat juga clean coal technology yang hanya akan memperpanjang masa operasi PLTU yang menghasilkan emisi GRK tinggi.

Enhanced NDC juga masih mencantumkan solusi palsu yaitu penggunaan B-40 sebesar 100% pada 2030 yang tidak akan mengurangi emisi karbon secara signifikan dari sektor energi. Rencana pengembangan biodiesel ini juga akan membawa risiko ekonomi dan lingkungan bagi Indonesia. Berdasarkan laporan Greenpeace bersama LPEM Universitas Indonesia, implementasi B-40 akan semakin mempercepat ekstensifikasi lahan sawit yang berpotensi membutuhkan perluasan lahan baru dan mengancam luasan hutan tersisa” tambah Adila. 

Sebagai negara yang termasuk dalam daftar lima besar negara dengan akumulasi emisi terbesar dalam periode 1850-2021, Indonesia seharusnya menerapkan komitmen iklim yang lebih ambisius. Terlebih lagi Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat rentan terhadap risiko bencana iklim. Berdasarkan laporan Bank Indonesia, potensi kerugian ekonomi akibat krisis iklim dapat mencapai 40% dari PDB Indonesia di 2050.

“Di hari yang sama ketika KLHK memasukkan enhanced NDC ke UNFCCC, ribuan anak muda dalam kolektif Bumi Butuh Aksi melakukan aksi Climate Strike di Jakarta untuk menyuarakan keresahan mereka terhadap ancaman krisis iklim yang makin nyata dan sering. Pemerintah Indonesia seharusnya mendengarkan suara mereka dengan memperkuat komitmen iklim, dan berhenti mengadopsi solusi-solusi palsu yang justru memberikan karpet merah dan keuntungan bagi perusak lingkungan” pungkas Adila. 

Kontak media :

Adila Isfandiari, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, +62811155760