Kita tentu masih ingat di awal pertengahan tahun 2020 – langit Jakarta yang biasa berkabut dan penuh dengan polusi berubah menjadi langit cerah berwarna biru dengan jarak pandang yang jauh. Kebijakan pembatasan sosial dan penerapan work from home (WFH) telah membantu memperbaiki kualitas udara di Jakarta.
Berkurangnya aktivitas industri, transportasi, dan pergerakan manusia berkontribusi mengurangi polusi. Namun, kualitas udara yang baik ini ternyata tidak bertahan lama. Hal ini terbukti dengan temuan Greenpeace Asia Tenggara, yang mengungkap polusi kembali setahun setelah periode awal kebijakan lockdown dan pembatasan sosial. Bukan ini yang kita inginkan – perbaikan sementara dan tidak berkelanjutan.
Tidak hanya Jakarta, tetapi kota-kota lain di dunia
Nitrogen dioksida (NO2) – tidak hanya merusak lingkungan dan mencemari udara. Polutan ini juga berdampak bagi kesehatan manusia dan menyebabkan gangguan pernapasan. NO2 diproduksi melalui pembakaran bahan bakar, seperti kendaraan, pembangkit listrik, dan industri-industri.
Di beberapa kota di dunia, polusi udara NO2 secara signifikan lebih rendah di paruh pertama 2020, dibandingkan periode pertama tahun-tahun sebelumnya. Kita tentu ingin hidup dengan kualitas udara dan lingkungan yang sehat. Ini adalah masalah bagi manusia – sangat penting mengakhiri penggunaan bahan bakar fosil di seluruh dunia.
Namun, kebijakan pelonggaran dan pemulihan ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19 telah membawa polusi lahir kembali. Bahkan terdapat kota-kota yang mengalami peningkatan kualitas udara jauh lebih buruk dari kondisi sebelum pandemi. Seperti Kairo dan Gauteng.
Ada faktor lain yang berperan mengurangi polusi
Covid-19 – virus mematikan yang menjangkit di seluruh dunia menghantui manusia dan menebar ketakutan akan terinfeksi virus ini. Tidak hanya manusia yang menjadi korban, ekonomi dunia juga terperosok sebagai dampak dari pandemi ini. Organisasi Keuangan Dunia (IMF) pun memperkirakan ekonomi dunia menyusut sebesar 4-5% di tahun 2020.
Kebijakan lockdown dan pembatasan sosial dilakukan untuk mengendalikan infeksi virus pada manusia. Akibatnya, berbagai kegiatan seperti industri, mobilitas transportasi, aktivitas manusia, dan lain sebagainya menurun.
Pembatasan sosial tidak menjadi faktor tunggal yang menyebabkan kualitas udara Jakarta membaik. Faktor-faktor lain seperti arah angin, cuaca, dan intensitas cahaya matahari juga turut berkontribusi. Membaiknya kualitas udara di Jakarta setahun yang lalu hanyalah efek samping kebijakan pembatasan sosial. Bukan ini yang kita harapkan.
Gugatan warga Jakarta atas kualitas udara yang buruk
Beberapa hari lalu putusan Majelis Hakim mengenai gugatan warga negara atas kualitas udara yang buruk kembali ditunda. Artinya telah terjadi dua penundaan pembacaan putusan hakim. Gugatan dilayangkan kepada elit penting di negara ini. Seperti presiden, menteri, bahkan gubernur-gubernur.
Gugatan diberikan oleh kelompok masyarakat yang menuntut agar pemerintah dapat mengendalikan tingkat pencemaran dan polusi udara. Penundaan putusan menyiratkan bahwa warga Jakarta akan lebih lama lagi menghirup kualitas udara yang buruk.
Upaya apa yang harus kita lakukan?
Pelonggaran pembatasan sosial sebagai akibat mengejar pemulihan ekonomi juga berdampak pada pemulihan polusi yang kembali hadir. Tercatat dalam laporan tersebut tingkat NO2 di Jakarta turun 30% pada April 2020 dari jumlah tahun-tahun sebelumnya. Dan pada April 2021 NO2 kembali naik sebesar 28%.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Kita bisa mendesak agar pemerintah bertanggung jawab mengatasi hal ini. Pemerintah harus membenahi kualitas udara buruk yang telah lama menghantui. Pemerintah juga harus segera beralih menggunakan energi bersih terbarukan seperti angin, matahari, dan memperbaiki fasilitas dan sistem transportasi yang bebas dari energi kotor.
Kamu juga bisa beralih dan rutin menggunakan transportasi umum untuk mengurangi pencemaran dan polusi udara. Mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan beralih ke sepeda. Serta tetap menyuarakan aksi dan tindakan untuk mendukung keselamatan bumi kita.
Udara bersih adalah hak kita jadi jangan ragu untuk bersuara!
Jika ingin membaca laporan lengkapnya, bisa diunduh di sini.
Ditulis oleh M Irsyaad Fadhlurrahman, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang sedang melakukan magang di Greenpeace Indonesia.
Kebakaran hutan tidak hanya mengancam kehidupan manusia, tapi juga mengancam satwa liar asli Indonesia yang terancam punah. Bantu kami wujudkan Nol Deforestasi.
Ikut Beraksi