Jakarta, 10 Juni 2021. Tingkat polusi udara beracun Nitrogen Dioksida atau NO2 kembali meningkat di banyak kota di dunia, setahun setelah masa penguncian awal dan pembatasan sosial Covid-19 berlaku secara meluas. Demikian temuan kunci dalam laporan yang diluncurkan oleh Greenpeace Asia Tenggara. [1]

“Penelitian ini menunjukkan bahwa sepanjang energi dan sistem transportasi kita mengandalkan bahan bakar fosil, polusi udara tetap akan menjadi krisis kesehatan masyarakat yang besar. Selama semester pertama tahun 2020, udara yang lebih bersih merupakan produk sampingan sementara dari kebijakan penguncian dan pembatasan sosial di banyak negara di seluruh dunia. Namun sekarang kita harus menerapkan solusi nyata jangka panjang yang memungkinkan kita menghirup udara bersih, terlepas dari seberapa luas wilayah pergerakan kita mengingat masih banyak penguncian terjadi seiring dengan pandemi yang belum berakhir. Energi angin dan matahari, dan solusi transportasi nol emisi cenderung lebih hemat biaya daripada bahan bakar fosil, untuk itu kita meminta pemerintah untuk mengadopsinya,” kata Dr. Aidan Farrow, peneliti polusi udara di Greenpeace International Research Laboratories.

Ada pun sejumlah temuan kunci berdasarkan analisis data satelit:

  • Di banyak lokasi di seluruh dunia, polusi udara NO2 secara substansial lebih rendah selama masa penguncian awal Covid-19 pada awal 2020 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. [2]
  • Satu tahun setelah penguncian awal Covid-19 secara meluas berlaku, polusi NO2 telah pulih di semua area yang diamati, setelah kondisi cuaca diperhitungkan.
  • Provinsi Gauteng, Afrika Selatan, lokasi di mana Kota Johannesburg berada, mengalami peningkatan paling dramatis dalam polusi udara dibandingkan dengan kondisi pra-Covid. Polusi NO2 turun sekitar 30% pada April 2020, tetapi polusi selama periode yang sama pada 2021 melebihi tingkat pra-pandemi sebesar 47%.
  • Meskipun polusi udara mengalami penurunan besar pada awal 2020, di sejumlah kota, termasuk Bangkok dan Jakartapolusi NO2 telah kembali ke tingkat sebelum Covid-19 setahun setelah penguncian awal. 
  • Meskipun semua kota mengalami peningkatan polusi NO2 pada April 2021, di beberapa kota, termasuk Los Angeles dan Wuhan, polusi NO2 tetap di bawah tingkat sebelum pandemi Covid-19 terjadi.

NO2 dilepaskan ke udara saat bahan bakar fosil dibakar, termasuk di kendaraan, pembangkit listrik, dan industri. Emisi NO2 dapat dikurangi melalui peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan, seperti angin dan matahari, dan investasi dalam sistem transportasi umum dan infrastruktur pendukung.

“Ketika mereka mengejar pemulihan ekonomi di tengah pandemi, pemerintah memiliki peluang besar untuk berinvestasi dalam sumber energi bersih, seperti angin dan matahari, dan untuk mendanai transportasi umum yang bebas energi fosil dan mudah diakses. Pada saat yang sama, ada beberapa kebiasaan baru sebagai dampak dari pembatasan sosial, seperti pengurangan perjalanan udara, peningkatan aktivitas bersepeda dan kerja jarak jauh, yang akan meningkatkan kualitas udara, jika terus berlanjut setelah pandemi berakhir,” kata Bondan Andriyanu, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Terkait data Jakarta, analisis memperlihatkan polusi udara NO2 turun sekitar 30% pada April 2020, dibandingkan rata-rata pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, polusi kembali naik pada April 2021. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa faktor penyumbang emisi lebih berperan besar ketimbang faktor cuaca.  

Terkait gugatan warga negara soal polusi udara Jakarta 

Bersamaan dengan peluncuran laporan ini, sidang gugatan 32 warga terkait polusi udara terhadap tujuh pejabat yang digugat [3] seharusnya dijadwalkan menjalani agenda putusan. Tetapi pembacaan putusan kembali ditunda untuk kedua kali. Ini sangat disayangkan karena selain para penggugat, warga, banyak media baik nasional daninternasional menanti putusan ini. Dengan ditundanya putusan ini, warga Jakarta kembali menghirup udara tercemar lebih lama lagi. 

Gugatan dilayangkan karena sejak dua dekade terakhir kondisi kualitas udara Jakarta kian memburuk. Proses gugatan ini berjalan cukup lama, sekitar dua tahun sejak gugatan didaftarkan pada Juli 2019. Para warga negara ini dalam salah satu materi gugatannya, menuntut agar pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, menyesuaikan baku mutu yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). 

Pemerintah seharusnya menempatkan alat pengukur polusi di banyak titik dengan mengacu pada standar yang sudah ditetapkan WHO. Dengan demikian warga pun bisa mendapatkan informasi mengenai kualitas udara secara real time, dan dapat melakukan langkah mitigasi bila kondisi udara sedang tidak baik. 

“Gugatan warga negara ini merupakan tanda bahwa masyarakat semakin menyadari tingkat polusi kotanya yang tinggi. Bila gugatan ini kita menangkan, ini sebuah langkah awal yang baik agar kebijakan menekan polusi udara bisa segera dilaksanakan. Bila kalah, berarti krisis polusi udara akan semakin merugikan warga, membebani keuangan negara untuk anggaran kesehatan dan menelan banyak korban,” tegas Bondan.  

***

Catatan:

[1] Para peneliti menganalisis pengukuran NO2 di permukaan bumi, serta pembacaan jumlah kolom atmosfer NO2yang diukur oleh sensor Tropomi pada satelit Sentinel-5P. 

Laporan bisa dibaca di sini

Ringkasan laporan termasuk data Jakarta-Indonesia dalam bahasa bisa dilihat di sini

[2] Dalam laporan ini, tingkat polusi udara pra-Covid dihitung berdasarkan rata-rata konsentrasi NO2 pada 2018 dan 2019, dua tahun pertama data Tropomi NO2 tersedia.

[3] Tujuh pejabat yakni Presiden Republik Indonesia (selaku Tergugat 1), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Tergugat 2), Menteri Dalam Negeri (Tergugat 3), Menteri Kesehatan (Tergugat 4), Gubernur DKI Jakarta (Tergugat 5), Gubernur Banten (Turut Tergugat 1), dan Gubernur Jawa Barat (Turut Tergugat 2). Dalam proses gugatannya, 32 warga ini didampingi oleh Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Koalisi Ibukota). 

Kontak media:

Erin Newport, International Communications Officer, Greenpeace East Asia: +886 958​ 026 791, [email protected]

Greenpeace International Press Desk, [email protected], +31 (0) 20 718 2470 (available 24 hours)

Bondan Andriyanu, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, +62 811-8188-182

Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 811-1924-090