Jakarta,  Mei 2020 – Seekor harimau Sumatera terperangkap dan dalam jerat di lahan perkebunan pulp (bubur kertas) yang dioperasikan oleh Asia Pulp and Paper (APP) Sinar Mas Group – salah satu produsen kertas terbesar di dunia. Hewan langka yang keberadaannya sudah terancam punah tersebut mati, saat ditemukan di konsesi milik PT Arara Abadi dimana area tersebut tercatat sebagai salah satu tempat terjadinya kebakaran besar di antara semua konsesi perkebunan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir [1].

Pembukaan hutan skala besar dan pengeringan lahan gambut oleh sektor perkebunan merupakan akar penyebab kebakaran tidak terkendali di Indonesia yang telah memicu krisis kesehatan tahunan di seluruh wilayah. Kerusakan ini telah menghancurkan habitat alami harimau sehingga membuat mereka terancam di dalam hutan yang merupakan rumah mereka sendiri.

“Laju deforestasi dan hancurnya habitat di negara-negara yang kaya akan keanekaragaman hayati mendorong terjadinya kontak hewan liar dengan manusia seperti harimau yang akhirnya membuat mereka terbunuh. Saat ini, pandemi COVID-19 telah membuktikan, bahwa berbagai wabah penyakit memiliki kaitan dengan deforestasi, adalah sangat penting untuk menghentikan perusakan hutan untuk menyelamatkan iklim, satwa liar, kesehatan dan masa depan kita,” kata Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global di Greenpeace Asia Tenggara.

Harimau mati tersebut diperkirakan berusia dua tahun, terluka di kaki depan kanannya yang kemungkinan besar menyebabkan infeksi. Menurut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), terdapat bangkai babi yang ditemukan di dekat jerat, menunjukkan bahwa harimau tersebut mungkin menjadi sasaran pemburu. Tahun ini setidaknya dua harimau Sumatera lainnya yang jumlahnya kurang dari 600 yang tersisa di alam liar, terjebak dalam perangkap di konsesi perkebunan pulp. Salah satu dari mereka diselamatkan tepat waktu dan mendapat pertolongan medis.

“Hampir satu dekade lalu, dokumentasi Greenpeace menunjukkan kematian harimau sekarat terperangkap dalam jerat di konsesi APP. Ini adalah pengulangan sejarah kelam bagi perusahaan, APP yang terkait dengan pembukaan dan pembakaran hutan yang membahayakan habitat penting bagi harimau, meskipun berjanji untuk menghentikan deforestasi. Area tersisa yang menjadi benteng harimau harus benar-benar steril dari kegiatan industri jika kita ingin menyelamatkan salah satu dari jenis hewan paling ikonik di Indonesia,” kata Kiki.

Pada 2013, APP berkomitmen untuk mengakhiri deforestasi dan memperkenalkan komitmen konservasi baru. Namun, analisis Greenpeace baru-baru ini menunjukkan terbakar dalam konsesi terkait dengan grup tersebut antara 2015 dan 2018 yang luasnya lebih besar dari Singapura. Grup ini bertanggung jawab atas perusakan hutan dan lahan gambut secara luas yang menjadi habitat harimau, gajah dan orangutan, dan juga terkait banyak pelanggaran HAM di Sumatera. Pekan lalu, lebih dari 90 LSM lokal dan internasional meminta mitra bisnis APP untuk menangguhkan kesepakatan dengan perusahaan sampai perusahaan membuat “perubahan radikal” di seluruh sektor bisnisnya.

Harimau Sumatera telah terdaftar sebagai spesies terancam punah dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List sejak 2008 disebabkan oleh perburuan, hilangnya habitat dan konflik manusia-satwa liar.

Selanjutnya pemerintah Indonesia perlu memperkuat peraturan untuk melindungi hutan dan lahan gambut, sementara perusahaan harus membuktikan bahwa rantai pasok mereka tidak terkait deforestasi.

Catatan:

Foto disini

[1] Total lahan terbakar PT Arara Abadi dari Analisis Greenpeace 2015 – 2019  diperkirakan sekitar 12.200 hektar. 

Kontak Media:

Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, 

Tel 62-811-8706-074 , email [email protected]

Rully Yuliardi, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, Tel 08118334409, 

email [email protected]