Transisi energi Indonesia tengah berdiri di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada urgensi untuk segera beralih dari energi fosil untuk menghadapi krisis iklim yang kian nyata dan terasa. Sementara di sisi lain, ada kenyataan yang rumit: tekanan geopolitik, tawaran teknologi dari negara maju, serta tarik-menarik kepentingan ekonomi dan politik dalam negeri yang membuat arah transisi ini mudah sekali bergeser dari jalur yang seharusnya, yaitu keadilan dan keberlanjutan.
Jepang, misalnya, terus mendorong skema Asia Zero Emission Community (AZEC) kepada Indonesia. Tawaran mereka meliputi teknologi biomassa, gas alam cair (LNG), dan carbon capture tentu dengan kemasan narasi solusi iklim. Tapi jika kita lihat lebih dalam, solusi-solusi yang ditawarkan tersebut bukanlah tanpa masalah. Biomassa bisa mendorong deforestasi jika tidak dikelola dengan kehati-hatian. Bagaimana dengan LNG?, meskipun dibalut dengan kata-kata “energi transisi”, sejatinya tetap bahan bakar fosil. Sementara carbon capture, eknologi ini belum terbukti efektif dan masih sangat mahal (IEEFA, 2022).

Tiongkok juga tidak tinggal diam. Melalui Belt and Road Initiative (BRI), Tiongkok sangat aktif membiayai infrastruktur energi, baik itu pembangkit batu bara maupun proyek energi terbarukan. Namun dominasi Tiongkok atas rantai pasok energi bersih, dari nikel hingga teknologi solar panel, menciptakan ketergantungan baru yang memiliki risiko tersendiri (IEA, 2023).
Sementara itu, perubahan kebijakan iklim Amerika Serikat dari era Trump yang keluar dari Perjanjian Paris menunjukkan betapa rapuhnya kepemimpinan iklim global jika tidak disertai komitmen jangka panjang (New York Times, 2021). Hal ini memberi dampak signifikan pada arah diplomasi energi, termasuk terhadap Indonesia yang masih melihat investasi asing sebagai sumber utama pendanaan transisi.
Yang lebih menyedihkan, Indonesia sering kali hanya menjadi pasar atau objek dalam dinamika transisi energi ini. Padahal, kita bisa mengambil peran yang jauh lebih besar. Kita memiliki sumber daya, kita memiliki kebutuhan, dan kita juga memiliki kepentingan nasional yang seharusnya tidak bisa dinegosiasikan, khususnya mengenai kedaulatan energi dan keadilan sosial.
Akibat beberapa hal tersebut, transisi energi di Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada bantuan atau investasi luar. Kunci utamanya adalah tetap ada pada political will pemerintah itu sendiri. Butuh keberanian untuk menutup pembangkit fosil yang sudah tua, menolak solusi palsu, dan menetapkan regulasi yang berpihak pada energi bersih. Selain itu butuh ketegasan untuk memperbaiki tata kelola energi agar investasi energi terbarukan terlindungi dari tarik-menarik kepentingan jangka pendek, melainkan untuk kepentingan masa depan.
Dari sisi domestik, skema power wheeling yang memungkinkan produsen energi terbarukan menjual langsung ke konsumen melalui jaringan PLN masih terganjal regulasi yang belum berpihak. Padahal, dengan tarif sewa jaringan yang adil dan transparan, skema ini bisa mempercepat pemanfaatan energi terbarukan secara signifikan, dan proses transisi energi di Indonesia (IESR, 2024).
Selain itu, kebijakan batasan harga batu bara yang saat ini diberlakukan untuk menekan tarif listrik, justru membuat batu bara tetap kompetitif secara buatan dan akan memperlambat proses transisi energi. Banyak studi menunjukkan bahwa skema subsidi seperti ini menimbulkan beban fiskal besar dan menghambat investasi energi bersih (Institute for Essential Services Reform – IESR, 2023).
Aspek sosial-ekonomi tak boleh dilupakan. Transisi energi sudah seharusnya memastikan pelatihan ulang bagi pekerja sektor fosil, pembangunan keterampilan baru, dan perlindungan terhadap kelompok rentan. Karena sejatinya ini bukan sekadar transisi energi, melainkan juga transformasi sosial yang menyentuh jantung keadilan dan kedaulatan energi.
Narasi tentang transisi juga perlu kita ubah. Jangan sampai ini dibiarkan menjadi wacana teknokratis yang jauh dari keseharian masyarakat umum. Kita perlu bicara dalam bahasa yang lebih membumi: ini mengenai listrik yang bersih, mengenai udara yang layak untuk dihirup, mengenai biaya energi yang adil, dan yang tak kalah penting ini juga mengenai pekerjaan yang bermartabat.
Untuk itu penting bagi Indonesia memerlukan diversifikasi energi secara serius. Kita tidak bisa lagi bergantung pada batu bara, gas, dan energi fosil lainnya. Terlebih ketika harga di tingkat global fluktuatif dan dampak lingkungannya kian kita rasakan. Energi terbarukan memang butuh investasi awal yang besar, tapi manfaat jangka panjangnya jauh lebih strategis. Indonesia akan memiliki stabilitas, ketahanan, serta kemandirian energi.
Dan yang tak kalah penting: Indonesia harus berani tampil sebagai pemimpin dalam isu iklim. Bukan cuma mengikuti langkah negara maju, dan ikut terbawa arus yang menyesatkan tapi Indonesia harus bisa membentuk arah. Negara-negara Global South seperti kita bisa menjadi suara penyeimbang dalam percaturan iklim dunia. Kita bisa menunjukkan bahwa keadilan iklim dan pembangunan rendah karbon bisa berjalan beriringan.
Transisi energi bukan tujuan akhir. Ini adalah alat untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, lebih sehat, dan lebih tangguh menghadapi masa depan. Dan untuk itu, kita perlu lebih dari sekadar teknologi dan investasi. Kita butuh keberanian politik, keberpihakan sosial, dan solidaritas hingga tingkat global.