Jakarta menghadapi ancaman yang semakin meningkat yang meracuni langit-langitnya: polusi udara. Setiap hari, warga Jakarta harus menghirup udara tercemar yang dapat mengancam kesehatan mereka. Polusi udara telah menjadi musuh nyata yang sangat mempengaruhi kehidupan dan kualitas hidup jutaan warganya.
Dalam perjalanan menuju kantor atau sekolah, saat terjebak di dalam kemacetan, warga menghirup udara kotor. Bahkan di rumah, jendela dan pintu terkadang tidak mampu menyaring kabut asap yang membekap langit-langit kota ini. Efeknya terasa, dengan meningkatnya kasus gangguan pernapasan, penyakit kulit, dan risiko kesehatan lainnya yang melanda warga Jakarta.
Menurut Dinkes DKI, dari 11 juta penduduk, rata-rata 100.000 warga Jakarta terkena batuk, pilek, ISPA/Pneumonia di setiap bulannya. Hal ini dipengaruhi oleh buruknya kualitas udara di Jakarta.
Rendahnya standar parameter pencemaran udara di Indonesia
Rendahnya peraturan standar parameter pencemaran udara yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, menunjukkan ketidakseriusan menangani masalah ini. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat konsentrasi rata-rata tahunan PM2,5 di Jakarta mencapai 25 mikrogram per meter kubik. Angka ini lima kali lebih tinggi dari batas aman yang direkomendasikan oleh WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), yaitu 5 mikrogram per meter kubik. PM2,5 adalah partikel kecil yang dapat dengan mudah masuk ke dalam saluran pernapasan manusia dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan serius.
Polusi udara adalah masalah serius dan pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah yang lebih kuat dan tegas untuk mengurangi polusi dan melindungi kesehatan masyarakat. Upaya harus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya udara bersih serta menerapkan kebijakan yang efektif guna mengurangi emisi polutan yang menjadi penyebab utama polusi udara.
Tuntaskan permasalahan pencemaran udara dari akarnya
Selain pengetatan standar pencemaran udara sesuai dengan WHO , pemerintah perlu mengambil langkah penting dalam melakukan transisi energi. Selain kendaraan bermotor, salah satu sumber utama pencemar adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bertenaga batubara yang mengepung Jakarta. Oleh karena itu, upaya untuk mengurangi emisi polutan harus melibatkan perubahan pada sumber energi yang digunakan.
Perlu diingat, saat ini Jakarta dihimpit 8 PLTU batu bara dalam radius 100 km. Lebih parah, pada tahun 2020 lembaga penelitian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mencatat bahwa Jakarta juga dikelilingi 118 fasilitas industri yang turut berkontribusi terhadap pencemaran udara di Jakarta.
Transisi dari PLTU yang berbasis bahan bakar fosil menuju pembangkit listrik yang ramah lingkungan, seperti tenaga surya, angin, atau mikro hidro, menjadi kunci dalam mengurangi polusi udara secara signifikan. Dengan memperluas penggunaan energi terbarukan, kita dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan partikel pencemar yang berdampak buruk pada kualitas udara.
Penting juga untuk menggarisbawahi bahwa transisi ke kendaraan listrik tidak akan efektif mengurangi polusi jika energi yang digunakan berasal dari PLTU batubara. Selain itu, seiring dengan transisi energi, pemerintah perlu memprioritaskan pengembangan infrastruktur dan kebijakan yang mengutamakan kendaraan umum berbasis listrik yang aman, nyaman, dan dapat diandalkan. Dengan demikian penggunaan kendaraan pribadi bisa dikurangi dan polusi udara juga bisa semakin ditekan.
Bahaya polusi udara nyata, perlu sistem peringatan dini segera
Melakukan transisi energi membutuhkan komitmen jangka panjang dari pemerintah, dukungan sektor swasta, serta partisipasi aktif masyarakat. Kombinasi dari upaya ini akan membawa perubahan positif yang signifikan dalam mengurangi polusi udara dan menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat. Menghentikan ketergantungan pada PLTU berbasis bahan bakar fosil dan beralih ke sumber energi bersih akan menjadi langkah penting untuk mencapai udara yang lebih bersih dan melindungi kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Pencemaran udara sangat berbahaya, terutama untuk mereka yang rentan. Karena itu pemerintah perlu menyiapkan sistem peringatan dini yang baik akan masyarakat mendapatkan informasi yang akurat dan tepat, sehingga langkah-langkah mitigasi mengurangi dampak buruk polusi bisa efektif dan masyarakat tidak menjadi korban. Jangan pernah lupa, udara bersih adalah hak dasar dan negara harus hadir memastikan semua bisa menikmatinya.
Pencemaran udara sudah sangat berbahaya, mari dorong pemerintah untuk melakukan aksi nyata, sekarang.
Sherina Redjo adalah Content Writer di Greenpeace Indonesia