Saya tidak akan pernah lupa hitungan Hendrikus Arianto Ukat, Wakil Direktur Migrant Workers’ Concern Desk – Stella Maris Taiwan. Bukan hitungan uang, tapi hitungan beras.

“Satu tahun itu kami bisa menghabiskan 3 ton beras,” kata Romo Ari, sapaan akrabnya, di Pemalang, pertengahan Oktober kemarin.

Beras itu bukan untuknya, tapi untuk para awak kapal perikanan (AKP) migran asal Indonesia yang terlantar di Taiwan. Mereka adalah korban dari praktik penangkapan cumi musiman atau seasonal squid fishing. Mereka direkrut dengan janji kontrak tiga tahun, namun kapal cumi itu hanya beroperasi enam  sampai delapan bulan per tahun.

Di luar musim itu, mereka dibiarkan mengambang: tanpa gaji, tanpa tempat tinggal layak, tapi terikat kontrak.

Romo Ari di Pelabuhan Tegalsari, Tegal, Jawa Tengah (Gilang Ramadhan / Greenpeace)

Kesaksian Romo Arie ini yang membakar semangat kami. Selama satu pekan, saya bersama rombongan Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), serta Stella Maris menyusuri kawasan Pantai Utara alias Pantura Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Bagi saya, ini bukan perjalan biasa. Kami menyambangi arteri utama perekrutan awak kapal perikanan migran. Kami berjalan di dermaga Pelabuhan Karangsong di Indramayu, lalu menyusuri pelabuhan di Cirebon, dan singgah di Pelabuhan Tegalsari di Tegal.

Pelabuhan Tegalsari, Tegal, Jawa Tengah. (Gilang Ramadhan / Greenpeace)

Di pelabuhan-pelabuhan itulah kami melihat dari mana mimpi-mimpi itu berangkat. Kami melihat kapal-kapal yang bersandar, merasakan denyut kehidupan yang bergantung penuh pada laut. Kami duduk bersama keluarga-keluarga pekerja migran Indonesia (PMI), mendengarkan cerita harapan dan kecemasan mereka.

Puncak perjalanan kami adalah sebuah Focus Group Discussion (FGD) di Pemalang, Jawa Tengah, pada 15 Oktober 2025. Kami membawa semua orang ke satu ruangan: pemerintah pusat dan daerah, serikat buruh, serta para pengusaha jasa perekrutan dan penempatan awak kapal atau manning agency.

Di ruangan itulah semua kekacauan ini tumpah ruah.

Bapaknya di Sini, Ibunya di Sana

Di atas kertas, posisi AKP migran kita kuat. Indonesia memiliki UU No. 18 Tahun 2017, PP No. 22 Tahun 2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 127/PUU-XXI/2023. Semuanya menegaskan satu hal: pelaut niaga dan awak kapal perikanan migran adalah Pekerja Migran Indonesia dan harus dilindungi oleh satu lembaga yang saat ini bernama Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI).

Namun Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI, menyebutnya “macan kertas”. Masalahnya, seperti yang kami identifikasi dalam perjalanan menyusuri Pantura, adalah “ego sektoral”.

Hariyanto bahkan lebih lugas di depan forum FGD di Pemalang. Ia menyebutnya “pembangkangan hukum”. Pelakunya? Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang menolak menyerahkan kewenangan, bersikukuh tetap menerbitkan izin (SIUPPAK/SIUKAK) untuk penempatan Pelaut Niaga dan AKP migran yang seharusnya sudah menjadi wewenang KP2MI (SIP3MI).

Hasilnya adalah dualisme regulasi. Dan di tengah-tengah perang birokrasi ini, kami menemukan para manning agency yang terjebak.

Hengki Wijaya, Ketua Indonesian Maritime Crewing Agents Association (IMCAA), menyuarakan frustasi mereka. “Kami dipimpong,” keluhnya. Ia bingung harus mengikuti aturan yang mana. “Harus jelas yang mana,” katanya. “Jangan bapaknya ada di sini, ibunya ada di sana. Pusing kita”.

FGD di Pemalang, Jawa Tengah. (Gilang Ramadhan / Greenpeace)

Lalu, Herman Suprayogi, Direktur salah satu manning agency, mengambil mikrofon. Nadanya tidak lagi frustasi, tapi marah.

“Saya sudah bosan acara FGD-FGD,” katanya. Dia menjelaskan bahwa kekacauan regulasi ini menciptakan “faktor kriminogen”—situasi yang memaksa para manning agency melanggar hukum untuk bisa tetap beroperasi.

“Kami itu seakan-akan dipilih kiri rumah sakit, kanan kuburan. Maju penjara,” tegas Herman.

Ini adalah pengakuan telak. Ego sektoral di level kementerian di Jakarta secara langsung menciptakan korban di Pantura dan dari seantero Nusantara yang seolah tak pernah ada. Data KP2MI yang hanya mencatat sekitar 3.000 penempatan AKP migran menjadi buktinya. Padahal kami tahu dari Romo Arie, di Taiwan saja ada lebih dari 18.000 (11.000-an di laut lepas dan 7.000-an di teritorial). Ratusan ribu lainnya? tak terlihat.

Waktu Hampir Habis

Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara, mengingatkan bahwa dunia internasional tidak akan menunggu kita selesai berdebat. Komisi Perikanan Pasifik Barat dan Tengah (WCPFC) telah mengadopsi Standar Tenaga Kerja Perikanan (Conservation and Management Measure on Crew Labour Standards). WCPFC menetapkan 1 Januari 2028 sebagai batas akhir bagi Indonesia untuk mendaftarkan manning agency berlisensi.

Janji Presiden Prabowo Subianto untuk meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (K-188) juga menggantung. Bagaimana bisa meratifikasi standar internasional, jika di dalam negeri saja kita tidak sepakat siapa yang berwenang dan malah membangkang putusan MK?

Pelabuhan Cirebon, Jawa Barat. (Gilang Ramadhan / Greenpeace)

Perjalanan kami menyusuri dermaga-dermaga di Karangsong, Cirebon, dan Tegal, berakhir di Pemalang dengan satu kesimpulan yang ironis. Masalah para AKP migran Indonesia tidak hanya terjadi di tengah lautan ganas. Masalah terbesar mereka justru ada di ruang-ruang rapat ber-AC di Jakarta. Kami mendengar tuntutan itu berulang kali di dalam ruangan FGD: masalah ini harus sampai ke presiden.

Seperti yang dikatakan Romo Arie, “Ketika kita menghancurkan mimpi satu orang, kita menghancurkan mimpi satu keluarga”. Saya kini sadar, mimpi-mimpi yang berangkat dari pelabuhan-pelabuhan di Pantura itu tidak karam oleh badai. Mimpi itu dikaramkan oleh sauh ego sektoral pemerintah kita sendiri.

Gilang Ramadhan, Petugas Media dan Komunikasi pada Kampanye “Beyond Seafood” di Greenpeace Indonesia