Defisit BPJS dan Kerugian Ekonomi Akibat Polusi Udara

Di awal film, diceritakan bahwa di tengah kisruh kerugian BPJS yang mencapai 13 T di tahun 2019, pemerintah malah mewacanakan untuk menaikkan iuran BPJS. Kendati keputusan tersebut telah dibatalkan oleh MA, tetapi akhirnya Presiden kembali mengeluarkan keputusan tetap menaikkan iuran BPJS pada awal Juli 2020. 

Buruk muka cermin dibelah. Inilah yang terjadi pada manajemen kesehatan negara ini. Buruknya pengelolaan anggaran kesehatan, sehingga mengalami defisit, namun masyarakatlah yang dipaksa untuk menanggung bebannya. 

Defisit yang dialami oleh BPJS bukan hanya diakibatkan dari tunggakan iuran namun juga dari alokasi anggaran yang banyak terserap pada penanganan penyakit katastropik seperti kardiovaskular (jantung), stroke, dan gagal ginjal. Penyakit-penyakit tersebut sangat erat kaitannya dengan lingkungan yang bersih dan kualitas udara yang sehat. 

Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, banyak masyarakat yang menyadari bahwa kesehatan diri sangat erat kaitannya dengan lingkungan yang bersih. Bukan hanya kesehatan diri yang perlu dijaga namun juga kebersihan diri dan sekitar harus diperhatikan. Lingkungan yang bersih seperti sanitasi yang higienis, sirkulasi udara yang lancar, pasokan air bersih yang cukup, dan tentunya kualitas udara yang sehat akan menghindarkan kita dari berbagai macam patogen seperti virus dan bakteri. 

Kualitas udara Jakarta yang memprihatinkan

Polusi udara merupakan permasalahan klasik yang terus dialami oleh beberapa kota besar di Indonesia, terutama kota Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Denpasar. Ketika kita sedang dilanda pandemi Covid-19, unggahan foto langit biru bermunculan seolah menjadi hal positif yang dapat kita ambil dari bencana ini. Namun, sayangnya langit biru tersebut tidak bertahan lama, bahkan hanya beberapa jam dalam sehari. Langkanya keberadaan langit biru tersebut, terutama di Jakarta, sangat terkait dengan kualitas udara harian yang ternyata standarnya masih jauh di bawah standar  Badan Kesehatan Dunia (WHO).

PM 2,5 Harian Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan

Buruknya kualitas udara ini ternyata tidak hanya sekedar menghilangkan langit biru dari pandangan mata, tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat sekaligus keuangan negara. Berdasarkan data kualitas udara yang diukur oleh tool baru yang dibuat oleh Greenpeace Asia Tenggara dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), dapat diketahui dampak real-time yang diakibatkan oleh polusi udara, yaitu potensi kematian dini dan potensi kerugian ekonomi yang harus ditanggung negara dan masyarakat.

Berikut di atas merupakan tool yang mengukur dampak realtime dari polusi udara pada empat kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Denpasar, dalam potensi kematian dini dan kerugian ekonomi.

Berdasarkan simulasi perhitungan yang dilakukan, dapat kita simpulkan bahwa potensi kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh polusi udara di empat kota tersebut tidaklah murah. Biaya kesehatan yang harus dibayarkan sebagai dampak dari penyakit akibat polusi udara, seperti penyakit jantung, stroke, ISPA, PPOK, kanker paru, diabetes dan penyakit kronis lainnya, dapat membebani masyarakat sendiri maupun negara.

Biaya kesehatan yang mahal ini tentunya akan semakin memberatkan negara di tengah defisit BPJS yang mencapai 13 triliun rupiah pada tahun 2019. Sebagai perbandingan, biaya kerugian yang diakibatkan oleh buruknya kualitas udara di Jakarta selama periode Januari hingga 1 Juli 2020 telah mencapai 23 triliun rupiah, atau setara dengan 1.7 kali lipat dari defisit BPJS nasional. Kerugian tersebut tentunya tidak hanya sebatas biaya kesehatan yang harus dibayarkan oleh masyarakat maupun negara, tetapi juga biaya opportunity loss dan juga penurunan produktivitas yang dialami oleh penderita penyakit. 

Perbandingan biaya kerugian akibat polusi udara dibandingkan dengan defisit BPJS tahun 2019

Sebagai gambaran dari hasil perhitungan tool di atas, dapat diketahui bahwa kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh polusi udara di keempat kota tersebut mencapai 36 triliun rupiah atau hampir sepertiga dari anggaran kesehatan nasional tahun 2019. Dapat dibayangkan betapa besarnya kerugian ekonomi akibat polusi udara yang ditanggung oleh semua wilayah Indonesia.

Di sisi lain, buruknya kualitas udara juga meningkatkan risiko infeksi dan kematian bagi para penderita Covid-19. Masyarakat yang tinggal di area dengan tingkat polusi udara tinggi berpotensi mengidap penyakit penyerta atau komorbid, seperti penyakit paru, jantung, diabetes, dan lainnya, yang dapat memperparah kondisi kesehatan seseorang apabila terkena Covid-19, bahkan kematian.

Dengan demikian, dapat dibayangkan betapa besarnya risiko dan mahalnya biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat Indonesia akibat kelalaian Pemerintah dalam mengendalikan polusi udara dan menertibkan sumber-sumber pencemarnya. Buruknya kualitas udara yang telah dibiarkan selama bertahun-tahun seharusnya dapat segera diatasi oleh Pemerintah mengingat besarnya biaya kerugian yang juga harus dibayarkan oleh Pemerintah di tengah krisis saat ini.

Pemerintah harus segera memperbaiki kualitas udara

Pemerintah dapat memulai langkah perbaikan kualitas udara dengan melakukan pengukuran atau inventarisasi emisi dari para sumber pencemar untuk mengetahui kontribusi polusi udara dari setiap sumber pencemar dan juga pola persebarannya. Sumber pencemar dapat berupa sumber bergerak, seperti kendaraan bermotor, dan juga sumber tidak bergerak, seperti pembakaran sampah, emisi industri, dan juga emisi pembangkit listrik batubara (PLTU Batubara) yang merupakan salah satu kontributor utama dari polusi udara Jakarta.

Sebagai contoh, regulasi emisi yang ditetapkan untuk PLTU Batubara di Indonesia sangatlah lemah, yaitu tujuh hingga 20 kali lebih lemah dibandingkan standar di negara China, Korea Selatan, dan Jepang, di mana teknologi PLTU Batubara kita diimpor. Di sisi lain, lokasi PLTU Batubara seringkali berada berdekatan dengan kota-kota padat penduduk di Indonesia, salah satunya Jakarta yang dikelilingi oleh 21 unit PLTU Batubara. 

Berdasarkan penelitian WHO, debu halus PM2.5 yang dikeluarkan oleh cerobong PLTU dapat bergerak lebih dari 100 kilometer dan sangat mungkin untuk mencapai kota. Untuk itu, diperlukan juga inventarisasi emisi bagi sumber pencemar yang berpotensi mengeluarkan polusi lintas batas, atau yang dikenal dengan transboundary air pollution. Dengan demikian, Pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang tepat untuk mengendalikan setiap sumber pencemar dan dapat mengukur keberhasilan dari kebijakan yang diambil dengan mengacu pada data inventarisasi tersebut. 

Selain itu, dengan mempertimbangkan bahaya kesehatan dan juga kerugian ekonomi yang disebabkan oleh polusi udara, khususnya dari pembakaran PLTU Batubara, maka ini menjadi saat yang tepat pula bagi Pemerintah untuk melakukan transisi energi, yaitu meninggalkan energi kotor batubara dan menggantikannya dengan energi terbarukan yang lebih bersih dan aman untuk masyarakat.