Sejak awal tahun, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah mewanti-wanti tentang potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia. Peringatan ini tak terlepas dari fase El Nino pada 2023 ini, yang membuat musim kemarau lebih kering dan panas, pun karhutla lebih rentan terjadi. 

Menginjak pertengahan tahun, perkiraan itu makin terbukti. Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut melanda sejumlah daerah, seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, hingga Jambi. Selama periode Januari-Juli 2023, luas karhutla sudah mencapai 90.405 Ha dan diperkirakan akan terus bertambah apabila kemarau panjang dan curah hujan rendah.

Karhutla, yang menjadi bencana tahunan di Indonesia, dipicu oleh berbagai faktor. Kehadiran El Nino di tahun 2023 merupakan faktor kesekian terjadinya karhutla di Indonesia. Lalu, apa yang menjadi faktor utamanya?

Buruknya tata kelola pelindungan hutan dan lahan gambut oleh pemerintah. 

Karhutla kerap terjadi di area konsesi perusahaan yang merusak lahan gambut. Hasil penelitian Greenpeace (2021) menemukan, hampir sepertiga dari Kesatuan Hidrologis Gambut berada pada level kritis akibat pengeringan lahan gambut untuk hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan sawit skala besar. Di sisi lain, penegakan hukum untuk kasus-kasus karhutla oleh korporasi masih lemah. 

Pada akhirnya, karhutla berkontribusi pada asap yang semakin memperburuk kualitas udara, mengancam kesehatan, hingga merugikan perekonomian negara.  Tak hanya itu, karhutla juga mengancam ekosistem yang kaya akan keanekaragaman hayati, menghasilkan emisi gas rumah kaca, dan ujungnya memperparah krisis iklim.Padahal, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah mendeklarasikan bahwa Bumi memasuki fase global boiling atau pendidihan global, setelah mengalami suhu terpanas sepanjang masa pada Juli lalu. Kebakaran hutan dan lahan hanya akan memperburuk situasi.

Tim Cegah Api Kembali ke Kubu Raya, Kalimantan Barat

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Tim Cegah Api turut membantu masyarakat terdampak karhutla untuk memadamkan api. Masih bertugas di Kubu Raya, Kalimantan Barat, Tim Cegah Api bersama dengan komunitas setempat melakukan pemadaman di titik-titik api di sekitar Desa Punggur Besar (luas lahan terbakar 60 ha), Desa Madusari (luas lahan terbakar 270 ha), dan Desa Sungai Asam (luasan lahan terbakar 2.000 ha areal gambut). Berdasarkan data KLHK, hingga saat ini terpantau ada 12.537 ha luasan karhutla di kawasan Kalimantan Barat.

Tak jarang pula ditemukan kebakaran hutan dan gambut serta asap yang berlokasi di dalam dan di batas konsesi perusahaan yang beroperasi di kawasan tersebut. Terdapat pula citra api di sebelah Bandara Soepadio, tepatnya dari dalam konsesi dua perusahaan besar yang memiliki aktivitas perkebunan monokultur.

Dalam menjaga kawasan hutan dan lahan gambut khususnya di Kalimantan, keterlibatan masyarakat juga dinilai penting. Maka dari itu, tahun ini, Tim Cegah Api juga turut mengajak masyarakat setempat untuk lebih awas terhadap kawasan hutan dan lahan gambut yang rentan terbakar. Mereka juga dibekali pelatihan terkait pemadaman api dan membangun jaringan cegah api di Kubu Raya. Dalam memaksimalkan upaya penanganan karhutla, Tim Cegah Api juga berkolaborasi dengan organisasi atau komunitas untuk mengkampanyekan tentang karhutla dan membangun gerakan kolaboratif.

Indonesia akan sulit terbebas dari karhutla dan asap kebakaran tahunan dalam waktu dekat, jika pemerintah tak serius membenahi tata kelola hutan dan lahan gambut: menjaga yang tersisa, memulihkan yang rusak, serta menegakkan hukum secara tegas dan tanpa tebang pilih. Mau sampai kapan kita menghirup kabut asap?

Mengapa Karhutla Kerap Terjadi?

Salam,
Tim Cegah Api