Yang perlu kamu ketahui tentang polusi udara dan mobilitas
Polusi udara dan pencemaran udara bisa diartikan sebagai hal yang sama. Keduanya digunakan untuk menjelaskan kejadian di mana udara tercemar oleh zat-zat yang bisa membahayakan kesehatan manusia atau dinyatakan melebihi ambang batas yang sudah ditetapkan. Menurut Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2021, pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lainnya ke dalam udara bebas (Udara Ambien) oleh kegiatan manusia sehingga melampaui ambang batas yang telah ditetapkan.
Lalu, ambang batas yang digunakan Pemerintah Indonesia adalah BMUA atau Baku Mutu Udara Ambien. Ambang batas ini adalah besaran zat pencemar yang keberadaannya dalam udara ambien masih bisa ditoleransi/dianggap aman.
Polusi udara adalah udara yang sudah tercemar, sedangkan emisi adalah sumber aktivitas manusia yang berkontribusi pada pencemaran udara. Emisi ini bisa dari hasil dari pembakaran mesin, kendaraan bermotor, pembangkit listrik, atau industri. Seperti pencemaran udara yang memiliki aturan ambang batas, terdapat pula aturan yang membatasi emisi yang dikeluarkan dari sumber tertentu.
Misalnya, untuk batasan emisi dari aktivitas PLTU Batubara diatur dalam Permen LHK No 15 tahun 2019, sedangkan untuk emisi kendaraan bermotor diatur dalam Permen LHK No 20 tahun 2017.
Tentu bisa! Ada situs resmi milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyajikan data tiap jam maupun dalam 24 jam (berupa tabel) dan bisa kita akses dengan mudah. Di dalamnya, terdapat penjelasan apakah status udaranya, mulai dari baik hingga berbahaya. Selain melalui website, tersedia juga mobile app yang bisa diunduh oleh pengguna android. DKI Jakarta juga menyajikan data polusi udara terkini melalui aplikasi JAKI dan situs DLH DKI Jakarta.
Selain itu, ada beberapa sumber lain yang juga menyajikan data serupa, seperti IQair, Nafas, serta Airly. Pengguna aplikasi tersebut bisa dengan mudah memantau polusi melalui smartphone mereka. Sedangkan untuk mengetahui sumber polusi udara, kita bisa melihat hasil riset inventarisasi emisi yang diluncurkan oleh pemerintah. Baru saja, DKI Jakarta menerbitkan laporan inventarisasi emisinya pada tahun 2020 dengan pengambilan data pada tahun 2019.
Polusi udara, khususnya di DKI Jakarta, sangat dipengaruhi oleh musim kemarau dan penghujan setiap tahunnya. Jika musim kemarau relatif lebih dominan, maka jumlah hari dengan level udara Tidak Sehat akan meningkat pada tahun tersebut. Hal ini pernah terjadi pada tahun 2018 dan 2019 saat musim kering cenderung lebih dominan daripada musim penghujan. Konsekuensinya, jumlah hari dengan kualitas udara level tidak sehat mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dengan krisis iklim yang dapat mengakibatkan kekeringan yang berkepanjangan, kondisi ini tentu dapat semakin parah.
Tidak hanya dari ukuran tingkat kualitas udara, dampak kesehatan dan ekonomi dari polusi udara juga bisa meningkat seiring dengan semakin parahnya kondisi udara tersebut. Pada tahun 2010 saja, diperkirakan sudah terdapat lebih dari 5,5 juta kasus penyakit yang berhubungan dengan polusi udara. Rinciannya, Infeksi Pernapasan Akut (ISPA) sebanyak 2.450.000 kasus, jantung koroner sebanyak 1.246.000 kasus, asma sebanyak 1.211.000 kasus, pneumonia sebanyak 336.000 kasus, bronkopneumonia sebanyak 154.000 kasus, dan penyakit paru obstruktif kronis sebanyak 154.000 kasus. Estimasi biaya perawatan medis dari kasus-kasus tersebut mencapai Rp 38,5 triliun. Seiring semakin tidak sehatnya kondisi kualitas udara dan krisis iklim di masa yang akan datang, bukan tidak mungkin kondisi kesehatan ini juga akan semakin memburuk.
Berdasarkan studi inventarisasi emisi yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta tahun 2020, mobilitas kota atau transportasi kota adalah sumber utama polusi udara di Jakarta, terutama untuk polutan NOx (72,40%), CO (96,36%), PM10 (57,99%), dan PM2.5 (67,03%).
Ada beberapa faktor, pertama karena memang mungkin kita tidak tahu kondisi polusi udara di sekitar kita. Hal ini, salah satunya disebabkan karena kurang adanya keterbukaan data mengenai polusi udara dan dampak bahayanya kepada publik. DKI Jakarta saja baru sejak tahun 2020 mempublikasikan data yang relatif mudah diakses publik. Ini bisa kita katakan baru terjadi setelah 32 warga negara melayangkan gugatan pada tahun 2019. Melalui data tersebut, kita baru bisa memahami kondisi dan penyebab buruknya kualitas udara di kota kita.
Faktor kedua, adalah karena pemerintah yang tidak konsisten menggunakan data sains sebagai ukuran keberhasilan penanganan polusi udara. Selama ini, belum pernah ada yang secara rutin melakukan inventarisasi emisi sebagai basis data untuk menentukan upaya yang dilakukan demi mengendalikan polusi udara berdasarkan sumbernya.
Hal ini membuat publik juga tidak mendapatkan gambaran utuh mengenai data polusi udara dan upaya nyata apa yang diambil pemerintah untuk mengendalikan masing-masing sumber pencemar udara tersebut, sehingga kondisinya terkesan baik-baik saja. Jadi, bukan karena memang benar baik-baik saja, tapi lebih karena kita yang belum pernah tahu kondisi riilnya.
Sebagai individu dan warga negara, kita secara langsung atau tidak langsung dapat berkontribusi dalam memperparah maupun mengurangi pencemaran udara. Misalnya saja, sumber utama polusi udara di DKI Jakarta adalah transportasi, maka kita turut menambah masalah polusi udara kota apabila kita menjadi sangat bergantung pada kendaraan pribadi yang mengkonsumsi bahan bakar.
Bayangkan emisi yang dikeluarkan setiap kendaraan pribadi jika diakumulasikan dengan jutaan individu pemilik kendaraan lainya. Begitu juga sebaliknya, apabila jutaan individu tersebut beralih menggunakan transportasi umum maka akan terjadi pengurangan emisi dari sumber transportasi.
Optimis seharusnya bisa. Caranya, jelas dengan melakukan berbagai upaya dengan serius. Pertama kita perlu ketersediaan data yang real time. Untuk itu, kita butuh memasang alat ukur yang memadai berdasarkan pada ukuran wilayah. Misal, Jakarta seharusnya ada 43 alat pantau yang bisa dikatakan memadai untuk mewakili wilayah Jakarta. Selain itu, data yang diperoleh juga harus disajikan secara real time kepada publik.
Yang kedua, setelah datanya tersedia, kita juga perlu melakukan riset inventarisasi emisi secara berkala. Hasil riset ini digunakan sebagai basis data sains untuk upaya, program, maupun kebijakan pengendalian pencemaran udara yang mudah diukur keberhasilannya. Berbicara soal kebijakan, ambang batas tercemarnya udara juga perlu diperketat, sebagaimana yang sudah diperintahkan hakim kepada Presiden RI pasca kemenangan warga negara atas gugatan pencemaran udara.
Upaya ketiga ini amat penting karena kita sudah jauh tertinggal dari standar baku mutu dari WHO yang baru saja merevisinya pada tahun 2021. Diperketatnya ambang batas ini juga penting untuk melindungi kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia dari bahaya polusi udara.
Upaya ke-empat yang tak kalah penting adalah pelibatan publik secara luas untuk edukasi bahaya polusi udara, pencegahan aktivitas yang membahayakan pernapasan saat kualitas udara Tidak Sehat, dan mengurangi kegiatan yang menyebabkan pencemaran udara.
Sekarang, kamu bisa bantu untuk para tergugat dalam gugatan polusi udara untuk segera mengimplementasikan apa yang diperintahkan hakim dalam sidang putusan polusi udara dengan mendukung petisi berikut. Dan yang paling penting, bersama-sama turut untuk mengurangi kontribusi kita pada pencemaran udara dengan memperbanyak jalan kaki, bersepeda, serta menggunakan transportasi umum dalam bermobilitas di kotamu.