Pidato Nota Keuangan perdana Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Tahunan MPR 15 Agustus 2025 lalu penuh dengan ambisi, namun juga sarat akan kontradiksi lantaran komitmen Prabowo terhadap transisi energi bersih yang bertolak belakang dengan rencana yang sudah ada saat ini.
Dalam pidatonya, Prabowo menjadikan ketahanan energi sebagai salah satu prioritas utama dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dengan anggaran sebesar Rp 402,4 triliun, lebih tinggi dibanding program Makan Bergizi Gratis (MBG). Tak hanya anggaran saja yang besar, ambisi Prabowo terkait energi pun sama besarnya lantaran ia ingin mempercepat transisi energi bersih.
“Indonesia harus jadi pelopor energi bersih dunia. Kita harus capai 100%, pembangkitan listrik dari energi baru dan terbarukan dalam waktu 10 tahun atau lebih cepat. Saya yakin hal ini bisa dicapai,” tegas Prabowo.
Meski begitu, target transisi energi bersih ini masih jauh panggang dari api. Tahun depan, pemerintah masih ingin terus menggenjot produksi minyak bumi menjadi 610.000 barel per hari. Di sisi lain, pemerintah baru saja sepakat untuk meningkatkan impor energi menjadi US$ 15,5 miliar dari sebelumnya US$ 4,2 miliar dari Amerika Serikat.
Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 pun masih mencatat rencana penambahan daya sebesar 10,3 GW pembangkit listrik tenaga gas. Sementara itu, pemerintah pun masih terus berencana menambah PLTU industri sebesar 20 GW hingga 2031 sebagai upaya mendukung hilirisasi.
Ambisi besar nan kontradiktif ini pun masih menyisakan pertanyaan besar: dari mana asal pendanaan proyek-proyek besar ini?
Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik Celios mengatakan, “Kita patut mengapresiasi Pak Prabowo dari segi narasi pidatonya. Namun, apakah pernyataan tersebut dilandasi dengan identifikasi yang kuat atau hanya omon-omon saja? Kalau sekadar omon-omon, bisa jadi masyakarakat lah yang nantinya akan paling banyak dikorbankan.”
Ia melanjutkan, masyarakat kelas menengah dan bawah lagi-lagi bisa jadi sasaran empuk bagi pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara dengan menarik pajak yang lebih besar dari kelompok ini. Penambahan utang untuk pembiayaan proyek-proyek transisi energi bersih pun bakal semakin memberatkan rakyat biasa. Padahal, masih banyak upaya lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa harus memberatkan kelas menengah, salah satunya adalah dengan memaksimalkan keuangan syariah.
Kepala Proyek Ummah for Earth Greenpeace Indonesia Rahma Shofiana mengatakan, keuangan syariah di Indonesia sangat bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan transisi energi bersih di dalam negeri.
“Selama proyek transisi energi bersih masih memenuhi empat prinsip utama dalam ekonomi syariah, dana yang didapat dari instrumen keuangan syariah bisa digunakan untuk mendorong transisi energi bersih sehingga mengurangi ketergantungan kita terhadap energi fosil yang memperparah krisis iklim,” kata Rahma. Keempat prinsip utama itu diantaranya adalah kepemilikan sebagai amanah, keadilan, kerja sama untuk kebaikan, dan tanggung jawab sosial.
Ia melanjutkan, transisi energi bersih memenuhi keempat prinsip ini sehingga instrumen keuangan syariah bisa dimaksimalkan untuk pembiayaan transisi energi bersih sebagai bagian dari upaya penanggulangan krisis iklim. Salah satu instrumen yang bisa dimanfaatkan adalah zakat.
Berdasarkan data Badan Amil dan Zakat Nasional (Baznas), total dana zakat yang terkumpul di 2025 sebesar Rp 41 triliun. Jumlah ini masih sangat kecil dibanding potensi zakat nasional sebesar Rp 327 triliun.
Meski begitu, Rahma mengatakan dana tersebut bisa dimanfaatkan sebagian untuk pembiayaan transisi energi bersih, setidaknya untuk skala komunitas.
“Dengan begini, zakat yang dikumpulkan pun bisa digunakan untuk transisi energi yang lebih inklusif dan berkeadilan, serta sejalan dengan prinsip halal dan thayyib yang selalu berjalan beriringan dalam Islam,” ujarnya.
Bagaimanakah keuangan syariah dapat berperan dalam mewujudkan visi besar Prabowo untuk transisi energi bersih dan terbarukan? Instrumen pendanaan apa lagi yang bisa digunakan untuk membiayai visi ini? Apakah pemerintah mampu mengintegrasikan prinsip adil dalam keuangan syariah ke dalam sistem perpajakan Indonesia?
Simak analisis lengkap Pidato Nota Keuangan perdana Presiden Prabowo Subianto di Youtube Greenpeace Indonesia!