November 2016 merupakan kemenangan manis bagi masa depan hutan Indonesia. Setelah perjalanan panjang, Komisi Informasi Pusat (KIP) akhirnya memutuskan untuk mengabulkan gugatan Greenpeace Indonesia terhadap Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) atas permohonan untuk keterbukaan informasi pengelolaan hutan Indonesia terhadap publik.
GP0STQ8PO.jpg
Dengan keputusan ini, KLHK sebagai tergugat wajib memberikan akses terhadap data yang diminta, yaitu peta hutan Indonesia dalam format shapefile. Dibukanya akses data peta shapefile akan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi langsung dalam upaya penyelamatan hutan Indonesia.
Namun sayangnya, KLHK mengajukan banding yang secara tidak langsung menyatakan bahwa pemerintah tidak menerima putusan KIP untuk memberikan akses keterbukaan informasi.
Screen Shot 2017-01-13 at 3.03.10 PM.png
Permohonan banding KLHK ini bertolak belakang dengan komitmen Presiden Joko Widodo. Nawa Cita yang dibacakan saat pelantikannya sebagai Presiden menegaskan bahwa pemerintahannya berniat membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, demokratis, dan dapat dipercaya. Sementara Indonesia sendiri adalah salah satu dari delapan negara pendiri The Open Government Partnership pada tahun 2011. Pondasi pemerintahan terbuka juga sudah dijabarkan dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Pada COP21 yang diselenggarakan di Paris, Presiden Joko Widodo menyampaikan untuk menerapkan One Map Policy sebagai komitmen Indonesia menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% pada tahun 2030. Penerapan One Map Policy ini perlu disertai dengan transparansi peta. Tidak dibukanya akses peta untuk publik akan melemahkan janji Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia berpartisipasi dalam upaya global penanggulangan perubahan iklim.
GP0STPC4J_Medium_res.jpg
Tidak transparannya pengelolaan hutan Indonesia adalah salah satu penyebab kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun. Masyarakat tidak leluasa untuk ikut memonitor kemunculan titik api, sehingga tindakan pencegahan kebakaran hutan seringkali terlambat. Juga akan menimbulkan kebingungan bagi masyarakat adat dan lokal yang tempat tinggal dan wilayah penghidupannya kerap terancam akibat operasi perusahaan besar.
Kebakaran hutan dan lahan gambut pun mendorong Presiden mengeluarkan kebijakan moratorium izin baru kelapa sawit dan pertambangan. Sayangnya moratorium ini sulit diterapkan tanpa adanya transparansi peta. Selama izin konsesi, areal hutan yang dilindungi, dan wilayah kelola masyarakat masih dirahasiakan dan tumpang tindih; akan sulit bagi pemerintah untuk menerapkan komitmen ini, serta juga komitmen One Map Policy.
GP0STPH8P.jpg

Transparansi dan keterbukaan informasi pengelolaan hutan dan sumber daya alam kepada publik sangat penting dalam meningkatkan upaya menjaga lingkungan dan hutan Indonesia agar bisa terbebas dari deforestasi. Masyarakat pun dapat turut berpartisipasi menjaga hutan dan mewujudkan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.

GP0STPH66.jpg

Disediakannya peta kepada publik akan memperkuat peran masyarakat adat dan lokal juga seluruh lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya penyelamatan hutan dan wilayah kelolanya, sekaligus untuk memonitor hot spots dan mencegah kebakaran hutan. Kejelasan akan peta akan membantu mereka untuk menjaga hutan sekaligus mengelola wilayah penghidupannya sesuai dengan kearifan lokal yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi.