Kurang dua pekan lagi, Konferensi Para Pihak ke-16 Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity–CBD) akan dibuka di Cali, Kolombia. Sebagai salah satu negara yang menjadi rumah bagi lebih dari 2.000 komunitas masyarakat adat dan berbagai spesies endemik terbanyak, pemerintah perlu mendukung akses langsung bagi masyarakat adat dan lokal terhadap pendanaan perlindungan keanekaragaman hayati.
Saat ini, Indonesia dan belahan dunia lainnya tengah menghadapi ancaman kepunahan. Laporan IPBES menyebutkan bahwa sekitar satu juta jenis spesies terancam punah dari muka bumi. Ancaman kepunahan ini terjadi karena eksploitasi hutan dan berbagai habitat alami untuk kepentingan ekonomi.
Hutan-hutan dibabat, tanahnya dikeruk sampai ke perut bumi, lahan gambut dikeringkan, terumbu karang dirusak, dan berbagai bentuk perusakan oleh manusia atas nama pertumbuhan ekonomi terus terjadi. Masyarakat adat dan lokal adalah pihak yang paling dirugikan oleh kehancuran ini.
Vebriani Hembring, seorang pemuda adat dari suku Namblong, pernah mengungkapkan perasaannya tentang eratnya relasi dia dengan hutan dan alam:
“Sa rasa hutan itu seperti mama. Dia menyediakan semua yang saya butuhkan. Dari sa kecil, dia menyediakan semua, sampai sa besar. Ketika ke hutan, ada rasa nyaman, tenang, senang.”
Ketika hutan hilang, tentu Vebriani akan ikut kehilangan “mama”-nya. Tidak ada lagi yang akan menyediakan protein yang menjadi penopang gizi masyarakat adat yang telah tinggal ratusan tahun di tempat itu. Apa yang dirasakan Vebriani tentu akan dirasakan pula oleh berbagai komunitas masyarakat adat yang tersebar di seluruh Indonesia.
Foto: Masyarakat adat Tehit dengan pakaian tradisionalnya. @Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace
Lantas apa hubungan antara pertemuan para pihak di belahan lain planet bumi dengan Vebriani dan komunitas masyarakat adat di Indonesia?
Pemerintah dari seluruh dunia akan bertemu di Cali, Kolombia pada 21 Oktober hingga 1 November nanti. Pertemuan ini adalah pertemuan para pihak ke-16 sejak Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity—CBD) diratifikasi oleh 196 negara pada 1992 dengan tujuan menjaga ekologi dunia. Pada tahun itu, para pihak dalam konvensi ini menyadari bahwa manusia perlu bekerja secara kolektif menjaga planet bumi.
Konferensi para pihak ke-15 (COP15) di Montreal pada 2022 melahirkan kesepakatan yang disebut sebagai Kerangka Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal. Salah satu hasil kesepakatan tersebut adalah pengakuan peran penting masyarakat adat sebagai penjaga keanekaragaman hayati, mencakup hak, wilayah, pengetahuan, serta pentingnya pelibatan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan.
Apa yang diadopsi pada COP15 menjadi tonggak penting sekaligus memberi harapan bagi Vebriani dan anak-anak muda dari berbagai komunitas masyarakat adat. Setidaknya ada harapan bagi masa depan mereka untuk terbebas dari bayang-bayang ekstraksi ruang hidup oleh industri perkebunan dan pertambangan. Sebagai sebuah kerangka, KMGBF tidak serta-merta berlaku. Setiap target dalam KMGBF harus diadopsi oleh negara-negara pihak dalam CBD ke dalam kerangka hukum nasional masing-masing.
Pada pertemuan ke-16 di Cali nanti, setiap negara pihak diminta untuk menyusun dan menyampaikan kerangka kerja nasional terkait keanekaragaman hayati yang dikenal sebagai National Biodiversity Strategic Action Plan (NBSAP). Indonesia adalah salah satu yang telah menyusun NBSAP dan menyampaikannya ke sekretariat CBD. NBSAP ini bisa dikatakan sebagai garis haluan negara dalam kerangka kerja keanekaragaman hayati.
Dalam dokumen NBSAP Indonesia, yang dikenal sebagai Indonesia Biodiversity Strategic Action Plan (IBSAP), terdapat komitmen terkait masyarakat adat. Meski dokumen ini tidak melibatkan kelompok masyarakat sipil secara bermakna, setidaknya Pemerintah Indonesia menempatkan komitmen terkait masyarakat adat dalam delapan target nasional, termasuk pengakuan masyarakat adat dan lokal sebagai pihak dalam penerapan IBSAP.
Misalnya pada target 17 IBSAP, yang menyebutkan tentang partisipasi inklusif dan representatif mencakup kelompok aksi yang berupaya meningkatkan partisipasi masyarakat adat dan komunitas lokal, serta berbagai kelompok rentan lainnya. Ini mencakup penguatan kerangka kebijakan dan peraturan, serta memastikan informasi lebih mudah diakses. Pengakuan atas pengetahuan tradisional juga disertakan sebagai target yang berdiri sendiri.
Untuk mewujudkan semua target yang dimuat dalam IBSAP untuk perlindungan keanekaragaman hayati, Pemerintah Indonesia memperkirakan butuh dukungan pendanaan sekitar 75 triliun rupiah per tahun. Jumlah ini sangat signifikan, tentu butuh strategi untuk menjamin ketersediaannya.
Di sinilah letak pentingnya pemerintah memiliki strategi dan komitmen kuat untuk perlindungan keanekaragaman hayati pada COP16 di Cali nanti. Salah satu agenda yang akan dibahas adalah implementasi dukungan pendanaan yang telah diidentifikasi saat COP15 di Montreal. Saat itu, diperkirakan dibutuhkan sekitar 700 miliar USD untuk pendanaan keanekaragaman hayati.
Oleh sebab itu, COP16 perlu mengadopsi strategi mobilisasi sumber daya (resource mobilization) untuk memastikan penyediaan sumber daya keuangan yang memadai untuk pelaksanaan KMGBF. Strategi ini harus mencakup komitmen keuangan dalam Target 19, khususnya komitmen untuk menyediakan 20 miliar USD per tahun pada 2025 dari pembiayaan internasional dari negara-negara maju. Strategi ini juga harus mencakup pembentukan mekanisme untuk mendukung IPLC guna memastikan akses langsung mereka ke sumber pendanaan, sejalan dengan usulan International Indigenous Forum on Biodiversity. Dengan adanya pendanaan ini, tentu akan sangat membantu Indonesia dalam mencapai setiap target yang telah dimuat dalam IBSAP.
Perlu dicatat untuk mewujudkan hal ini harus dilakukan melalui mekanisme non-market, sehingga bisa lebih teruktur.
Dengan memastikan masyarakat adat memiliki akses langsung terhadap sumber pendanaan, tentu akan memaksimalkan upaya perlindungan keanekaragaman hayati yang dilakukan oleh komunitas masyarakat adat. Masyarakat adat, seperti Vebriani Hembring, tentu lebih tahu apa yang terbaik untuk ruang hidup mereka. Menjamin dukungan langsung terhadap aktivitas masyarakat adat dalam menjaga ruang hidupnya akan berdampak besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Sebab, hutan adalah rumah.
***