Di bawah terik matahari, sekelompok nelayan dengan caping di kepala berdiri di depan kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Kamis (10/10/2024). Di genggaman tangan mereka, pasir laut diangkat tinggi sebelum ditumpahkan perlahan, seakan menggambarkan hancurnya masa depan pesisir Indonesia.
Setiap butir pasir itu bukan sekadar pecahan kecil, melainkan lambang masa depan yang terkikis, rumah yang tenggelam, dan kehidupan yang dirampas. Mereka tahu, setiap genggam pasir yang diambil dari laut adalah ancaman bagi ekosistem yang rapuh, bagi terumbu karang yang sekarat, bagi rumah mereka yang digerus ombak tanpa perlindungan.
Namun, mereka berdiri bukan untuk menyerah, tetapi untuk melawan. “Laut bukan toko bangunan, pasir kok dijual! Dulu Ibu Susi menenggelamkan kapal pencuri, sekarang pemerintah menenggelamkan desa,” begitu tertulis di spanduk yang mereka angkat. Kekecewaan berubah menjadi semangat perlawanan, setiap kalimat adalah jeritan hati yang tak ingin tenggelam.
Di pesisir Demak, Jawa Tengah, desa-desa seperti Timbulsloko dan Bedono perlahan terhapus oleh abrasi yang kian brutal. Hilangnya mangrove yang dulunya menjadi benteng alami kini membuka jalan bagi ombak ganas. Rumah mereka direnggut oleh ombak, namun semangat mereka tetap menyala.
Abrasi ini tak terbendung karena hilangnya mangrove yang digunduli untuk tambak dan pasir laut yang diambil untuk reklamasi di Semarang. Bayangkan kerusakan yang akan terjadi jika pasir laut di berbagai wilayah Tanah Air ditambang untuk keperluan ekspor.
“Kalian telah merusak ruang hidup kami,” tegas Masnuah, Ketua Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Suara protesnya menggema. Di balik kaos hitamnya, ada amarah yang terpendam, bukan hanya karena pasir yang hilang, tetapi karena hidup mereka yang direnggut perlahan oleh eksploitasi.
“Kehidupan kini semakin menyulitkan para masyarakat pesisir di wilayah kami. Semakin parah. Menyebabkan mereka kehilangan pekerjaan, akses transportasi yang mahal, beban kesulitan ekonomi ini karena perampasan ruang menyebabkan banyak perempuan pesisir mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau melakukan peran ganda,” kata Masnuah.
Mereka adalah wajah-wajah yang enggan menyerah, meskipun kehidupan mereka tengah direnggut perlahan.
Polisi berjaga di kejauhan, tetapi mereka diam. Nelayan dan masyarakat pesisir tak butuh senjata atau kekerasan, mereka hanya butuh suaranya didengar, bahwa laut bukanlah komoditas yang bisa diperjualbelikan seenaknya. “Jadi kami serukan untuk mencabut kebijakan pengelolaan sedimentasi ini,” tandas Masnuah.
Aksi damai ini merupakan bagian dari Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024, sebuah panggilan untuk kebangkitan masyarakat pesisir yang digagas oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Mereka menyoroti eksploitasi wilayah pesisir, kriminalisasi nelayan kecil, dan ancaman nyata perubahan iklim.
Namun, dari situasi yang begitu sulit, lahir harapan. Ini adalah perjuangan untuk generasi mendatang, untuk laut yang tetap biru, untuk kehidupan yang tidak hancur oleh keserakahan. Mereka berjuang bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk keadilan bagi seluruh masyarakat pesisir Indonesia.
“Kami berharap bisa membangun kekuatan kolektif yang lebih besar dan mendesak pemerintah untuk lebih memikirkan keberlanjutan kelestarian ekosistem pesisir, dan juga keadilan bagi masyarakat pesisir,” kata Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati.
Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024 juga didukung oleh Humanis, Trend Asia, Bina Desa, YLBHI, PIKUL, WGII, JKPP, Indonesia for Global Justice (IGJ), dan Greenpeace Indonesia.
“Kita harus bersolidaritas kepada nelayan karena mereka yang menyediakan protein untuk bangsa kita. Mari memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan nelayan. Kalau perjuangan itu masih panjang, jangan menyerah. Hidup nelayan, hidup perempuan nelayan, hidup kita semua,” kata Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia.
Di ujung hari, ketika aksi usai, pasir-pasir yang jatuh ke tanah tadi telah menjadi simbol perjuangan. Perjuangan yang tak akan berhenti sampai laut tetap biru, sampai kehidupan pesisir tetap ada, dan sampai keadilan akhirnya benar-benar berlabuh di pulau-pulau Indonesia.
Aksi ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang menuju keadilan. Ketika pasir yang jatuh dari tangan para nelayan tadi menyentuh tanah, mereka tahu bahwa perjuangan ini belum usai. Mereka berjuang agar laut tetap menjadi rumah, bukan sekadar ladang bisnis.
Harapan yang menyalakan semangat mereka adalah harapan yang juga akan menggerakkan generasi mendatang untuk terus memperjuangkan keadilan yang masih tertimbun.
Ekspor pasir menjadi ancaman kehidupan di lautan. Hentikan sebelum kehancuran keanekaragaman hayati bawah laut menjadi kenyataan. Yuk, tanda tangan petisi di sini.
Gilang Ramadhan adalah Petugas Media dan Komunikasi di Greenpeace Indonesia.