Perjalanan masih jauh, tapi saya sudah ingin pulang. Di tengah petualangan saya menjelajah sisi utara Samudra Pasifik, suatu hari saya saat dapat kabar bahwa kucing kesayangan saya, Tammy, tiba-tiba berperilaku aneh. (Saya janji, kisah kucing ini akan ada hubungannya dengan cerita kampanye tentang laut.)

Kala itu hari ke-10 saya bersama kapal Greenpeace, Rainbow Warrior. Perjalanan masih sekitar satu bulan lagi untuk menyelesaikan sebuah misi investigasi perikanan sepanjang bulan Agustus.

Tammy, kucing betina ras campuran yang saya adopsi setahun lalu, menunjukkan gejala stres yang diduga akibat separation anxiety (gangguan kecemasan karena berpisah dengan orang yang disayang). Ia menolak makan. Ia tidak pipis di kotak pasirnya. Ia juga tak tampak seceria biasanya. 

Namun, berkat sambungan internet di kapal, saya bisa lebih sering menelepon rumah dan bilang padanya, “Ibuk akan segera pulang!”. Singkat cerita, dia berangsur pulih.

Tammy the cat, making itself comfortable inside a suitcase © Vela Andapita
Kucing kesayangan Vela, Tammy © Vela Andapita

Berjauhan dengan orang-orang terkasih bukanlah hal mudah–bahkan bagi seekor kucing. Tetapi yang saya alami hanyalah seujung kuku dari apa yang dirasakan oleh banyak nelayan migran dan keluarganya selama terpisah jarak ribuan kilometer. Sementara saya punya akses untuk bisa sering menelepon rumah, kebanyakan nelayan migran terisolasi dari dunia luar selama mereka di laut. Lebih dari sekadar ingin melepas rindu, bagi banyak dari mereka bahkan ini bisa semacam perkara hidup dan mati.

Kenapa Wi-Fi penting bagi awak kapal perikanan migran?

Free WiFi Banner on the Rainbow Warrior in the Pacific Ocean. © Myrthe Verweij / Greenpeace
Awak kapal Rainbow Warrior di Samudra Pasifik Utara, memasang spanduk jaring bertuliskan “WIFI GRATIS”, yang ditawarkan kepada nelayan di atas kapal penangkap ikan longline. © Myrthe Verweij / Greenpeace

Sepanjang investigasi berjalan, kami berinteraksi dengan sembilan kapal ikan berbendera Taiwan. Dari kapal Rainbow Warrior, kami membagi Wi-Fi dengan enam kapal dan sebanyak total 45 awak kapal terhubung. Wajah mereka begitu semringah saat tersambung video call dengan keluarga mereka di Indonesia. Sayang, koneksi itu tidak berlangsung lama. Kapten-kapten mereka memutuskan untuk segera pergi menangkap ikan lagi.

Lantas, kenapa, sih, Wi-Fi penting buat mereka? Saya akan coba jelaskan lewat kisah tiga awak kapal asal Indonesia yang saya temui.

Care Packages and Wifi Shared with Fishers in the North Pacific Ocean. © Ulet  Ifansasti / Greenpeace
Seorang pekerja perikanan di atas kapal penangkap ikan berbendera Taiwan memeriksa teleponnya setelah menerima wifi gratis dari kapal Greenpeace Rainbow Warrior di Samudra Pasifik Utara. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Ketika Rahman (bukan nama asli) meninggalkan Indonesia tiga tahun lalu, usia kandungan istrinya baru menginjak empat bulan. Ia menjadi awak kapal longline Taiwan dan terikat kontrak tiga tahun. Selama tiga tahun itu ia harus pergi melaut beberapa kali. Satu trip melaut berdurasi tiga bulan, lalu ia akan beristirahat di sebuah pelabuhan Taiwan selama sekitar satu bulan sebelum pergi melaut lagi. 

Rahman hanya bisa menghubungi keluarganya jika sedang berada di darat. Maka ketika istrinya melahirkan, sulit baginya untuk membersamai keluarganya dalam momen berharga tersebut–karena kapal di mana ia bekerja tidak ada Wi-Fi.

Saat kami jumpa pada Agustus lalu, Rahman sudah hampir menyelesaikan kontraknya. “Saya mau pulang bulan depan. Sudah gak sabar!” ujarnya dengan senyum paling cerah.

Care Packages Delivered to Fishers in the North Pacific. © Ulet  Ifansasti / Greenpeace
Kru Greenpeace berinteraksi dengan kapten dan nelayan di atas kapal berbendera Taiwan di Samudra Pasifik Utara. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Di sebuah interaksi dengan kapal lain, saya jumpa Anto (nama samaran). Waktu itu sekitar pukul 8 pagi entah di koordinat berapa di samudra Pasifik. Ia terhubung Wi-Fi dari Rainbow Warrior dan bergegas menelepon ibunya.

“Wi-Fi-nya nyambung gak, sih, mbak?” ia bertanya.

Nyambung, kok,” jawab saya.

“Kayaknya enggak, deh. Ibu saya enggak angkat telepon, nih,” lanjutnya sembari menunjukkan layar ponselnya.

Sesaat kemudian Anto berhenti mencoba. Ia baru sadar, waktu itu sekitar pukul 3 dini hari di Indonesia dan sangat kecil kemungkinan ibunya sedang terjaga. Cerah di wajahnya sirna. Senyum tipisnya tak bisa menutupi rasa kecewa. Ia sangat ingin bicara dengan ibunya.

Free WiFi Offered to Migrant Fishers in the North Pacific Ocean. © Ulet  Ifansasti / Greenpeace
Penulis, Vela, sedang berbicara dengan “Anto”, seorang nelayan migran Indonesia di atas kapal penangkap ikan berbendera Taiwan di Samudra Pasifik Utara. Di sampingnya adalah Dios dari organisasi nirlaba SBMI (Serikat Buruh Migran Indonesia). © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Dalam interaksi singkat dengan Anto, ia bercerita tentang salah satu rekannya di kapal itu, Fahri (nama samaran), yang meninggal dunia beberapa pekan sebelumnya akibat sakit lambung akut. Suatu pagi di bulan Juni, Fahri merasa sakit di perutnya. Meski begitu ia memaksa diri tetap bekerja. Di pekan berikutnya, sakit yang dirasakan Fahri makin parah dan ia hanya bisa terbaring lemah. Kru kapal berusaha merawatnya dan mendesak kapten kapal untuk segera kembali ke darat agar Fahri segera mendapat pertolongan medis. Nahas, Fahri mengembuskan napas terakhir di tengah samudra.

Tak sampai hati saya membayangkan momen-momen terakhir Fahri. Bagaimana ia merasakan sakit yang teramat sangat tanpa bantuan medis dan tiada keluarga di dekatnya. Dan bagaimana pula orang tua Fahri harus mendapat kabar bahwa putra tersayang mereka pulang tinggal nama. Terlebih lagi, perlu waktu berminggu-minggu sampai jenazah Fahri tiba di kampung halamannya.

Wi-Fi lebih dari sekadar untuk bilang “hai”

Free Wifi Offered to Fishers in North Pacific. © Ulet Ifansasti / Greenpeace
Awak Rainbow Warrior membentangkan spanduk bertuliskan “WiFi Gratis” di atas kapal penangkap ikan berbendera Taiwan. Bagi para pekerja perikanan, akses komunikasi adalah hak mereka, menurut konvensi perburuhan internasional yang mencakup nelayan (ILO C-188). Kedua, akses komunikasi memungkinkan nelayan untuk berhubungan dengan serikat pekerja mereka – hak dasar buruh yang diakui secara internasional. Dan terakhir, akses komunikasi penting untuk hubungan antarmanusia. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Kisah Rahman, Anto, dan Fahri adalah sebagian dari alasan kenapa Wi-Fi sangat penting bagi mereka yang bekerja di kapal penangkap ikan jarak jauh. Selama mereka di laut, para nelayan migran ini sepenuhnya terisolasi dan tidak bisa menghubungi keluarga, teman, serikat, dan pemerintah.

Ingatkah masa pandemi COVID-19 ketika seluruh dunia harus lockdown dan banyak keluarga terpisah? Kita semestinya paham betapa penting untuk tetap bisa terhubung dengan manusia lain, terutama saat kita menjalani masa-masa sulit.

Lebih dari sekadar menjalin silaturahmi, koneksi dengan dunia luar juga memungkinkan para nelayan migran seumpama mereka ingin melaporkan dugaan praktik tenaga kerja dan/atau perikanan yang salah. Laporan Greenpeace Asia Tenggara dan Asia Timur mengungkap bahwa kondisi kerja di kapal-kapal ikan berbendera asing bisa sangat parah. Banyak awak kapal mengatakan mereka makan dan minum tidak layak, hidup di tempat yang tidak manusiawi, dan bekerja tanpa kelengkapan alat keselamatan yang memadai. Banyak pula yang mengaku dipaksa bekerja lebih dari 20 jam sehari, tidak digaji, dan mendapat kekerasan fisik. Lebih parah lagi, banyak pula yang mengaku terlibat praktik perikanan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU fishing), seperti transshipment (pemindahan muatan antar kapal) ilegal, penggunaan alat tangkap yang tidak berkelanjutan, dan penggantian nama kapal. 

Jadi, sekarang jelas, ‘kan? Wi-Fi tak hanya penting untuk meningkatkan kesejahteraan para awak kapal selama bekerja, tetapi juga untuk membenahi akuntabilitas industri perikanan itu sendiri.

Aktivis Greenpeace membentangkan spanduk bertuliskan “Lindungi Laut, Lindungi Pekerja” di depan kapal penangkap ikan Taiwan di Samudra Pasifik Utara. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Dalam Konvensi No. 188 yang diterbitkan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO C-188) tentang pekerjaan dalam sektor perikanan, terdapat satu klausul khusus yang membahas komunikasi. Konvensi ILO 188 ini bertujuan memberikan standar internasional untuk keamanan bekerja di sektor perikanan, terutama di kapal penangkap ikan. Klausul tersebut berbunyi:

“All fishers on board shall be given reasonable access to communication facilities, to the extent practicable, at a reasonable cost and not exceeding the full cost to the fishing vessel owner.”

“Semua nelayan di atas kapal harus diberikan akses yang wajar terhadap fasilitas komunikasi, sejauh yang dapat dilaksanakan, dengan biaya yang wajar dan tidak melebihi biaya penuh pemilik kapal penangkap ikan.”

“Saat berada di tengah samudra antah berantah dan dalam situasi sulit, Wi-Fi bukanlah sebuah kemewahan. Wi-Fi justru bisa menjadi jalan pertolongan dari darat. Tanpa koneksi internet yang gratis dan andal di kapal, situasi kerja di laut lepas akan selalu luput dari pandangan dan, tentu saja, luput dari pelindungan,” kata Charli Fritzner, pemimpin tim investigasi dari Greenpeace USA.

Wi-Fi sekarang!

Hal baiknya, saat ini gerakan yang menyuarakan penyediaan Wi-Fi di kapal penangkap ikan jarak jauh sedang mendapat dukungan banyak serikat dan organisasi sipil. Salah satunya adalah kampanye “Wi-Fi Now for Fishers’ Rights” yang digagas sejumlah organisasi dari Amerika Serikat, Taiwan, dan Indonesia–Forum Silaturahmi Pelaut Indonesia (FOSPI), Global Labor Justice (GLJ), Taiwan Association for Human Rights (TAHR), Stella Maris Kaohsiung, Serve the People Association (SPA) dan Humanity Research Consultancy (HRC).

Longline Fishing Vessel Documentation in the North Pacific Ocean. © Ulet  Ifansasti / Greenpeace
Melihat keluar dari jembatan The Rainbow Warrior di Samudra Pasifik Utara. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Sementara gerakan global kian tumbuh, Greenpeace pun akan tetap berkontribusi dengan terus melakukan riset dan berinteraksi dengan kapal-kapal ikan di perairan internasional. Momentum bergulir, para nelayan bergerak, dan kampanye menguat. Perusahaan-perusahaan seafood dan para pelaku industri perikanan tidak bisa menjalankan semua ini dengan prinsip “business as usual”. Terutama karena laut kita makin menderita akibat praktik destruktif dan ekstraktif di tengah ancaman krisis iklim. Perubahan harus dilakukan di sepanjang rantai pasok dan harus sekarang. 

Portrait of Vela Andapita on Rainbow Warrior in the Pacific Ocean. © Ulet  Ifansasti / Greenpeace
Vela Andapita dari Greenpeace Asia Tenggara di atas Rainbow Warrior di Samudra Pasifik Utara. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Setiba di rumah di bulan September, Tammy sudah kembali sehat dan ceria. Dia dan saya bisa melakukan lagi kebiasaan lama: pergi tidur berpelukan. Namun demikian, meski situasi kehidupan saya sudah kembali normal, pikiran saya masih melanglang buana ke tengah samudra. 

Saya memikirkan Rahman, tentang kapan ia akan bisa memeluk buah hatinya. Saya memikirkan nelayan migran lain yang bekerja keras sambil menahan rindu pada orang-orang yang mereka sayang. Saya memikirkan kapan kita, sebagai komunitas global, dapat mewujudkan industri perikanan yang lebih adil. Saya yakin kita akan mewujudkannya. Suatu hari.

Tandatangani petisi ini untuk mendesak pebisnis seafood. Sudah saatnya bergerak untuk masa depan laut yang lebih berkelanjutan dan pekerja laut yang lebih sejahtera. Because our oceans are life, and a way of life.

Vela Andapita adalah Global Communications Coordinator untuk kampanye Beyond Seafood di Greenpeace Asia Tenggara.

***

Foto & video dokumentasi pengangkutan dan interaksi kapal tersedia di Greenpeace Media Library