Pernah nggak sih kamu mendengar tentang gas bumi sebagai energi transisi yang lebih bersih dan ramah lingkungan? Gampang banget untuk terjebak dalam narasi ini, apalagi kalau kita sadar sedikit banget informasi yang dibagikan media tentang bahayanya gas dibandingkan informasi soal batubara. Pemerintah juga gencar banget menarasikan kalau gas bumi adalah energi transisi sebelum kita bisa bisa benar-benar bersih. Tapi, apakah gas bumi benar-benar solusi? Atau justru ini hanya strategi untuk mempertahankan energi fosil, meskipun dengan wajah yang berbeda?

Laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Greenpeace Indonesia dan CELIOS memberikan gambaran yang sangat menarik dan mungkin cukup mengejutkan. Laporan ini mengungkapkan bahwa gas bumi yang selama ini dianggap sebagai “energi yang lebih bersih” sebenarnya bukanlah solusi untuk masalah perubahan iklim. Sebaliknya, gas bumi justru bisa jadi sebuah jebakan baru bagi Indonesia dalam menghadapi krisis iklim dan ketergantungan terhadap energi fosil.

Foto oleh CELIOS

Ada banyak hal yang perlu kita gali lebih dalam mengenai narasi gas bumi sebagai energi transisi. Kita perlu memahami siapa saja yang diuntungkan dari penggunaan gas bumi ini, serta mengapa kita harus lebih kritis dalam menerima argumen yang menyebut gas bumi sebagai solusi energi masa depan. Jangan sampai kita terjebak dalam narasi yang sebenarnya hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara dampaknya bisa merugikan banyak orang dan lingkungan.

Gas Bumi Sebagai Solusi: Gimmick atau Kenyataan?

Pemerintah Indonesia, bersama dengan berbagai aktor industri, sering sekali mengangkat gas bumi sebagai solusi energi yang lebih bersih dan realistis. Mereka menganggap gas bumi sebagai “jalan tengah” yang aman sebelum beralih sepenuhnya ke energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan lainnya. Gas bumi dianggap sebagai energi yang lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan batu bara yang emisinya sangat tinggi.

Namun, sejujurnya, narasi ini perlu kita pertanyakan. Gas bumi memang lebih bersih dibanding batu bara, kalau kita hanya menghitung emisi karbon dioksidanya saja—ini adalah bentuk greenwashing!  Padahal gas bumi tetap saja sumber energi fosil yang selain menghasilkan emisi karbon dioksida (CO₂) . Metana ini jauh lebih berbahaya karena efek pemanasan globalnya bisa 82.5 kali lebih kuat dibandingkan CO₂. Parahnya lagi, methane leakage atau kebocoran metana bisa terjadi di seluruh rantai pasok gas bumi — dari ekstraksi, distribusi, hingga pembakaran. Dengan kebocoran metana ini, total emisi gas bumi bahkan berpotensi lebih tinggi daripada batu bara, menjadikannya pilihan energi yang tidak ramah iklim.

Jadi,gas bumi adalah bahan bakar fosil yang tetap saja berkontribusi besar terhadap pemanasan global. Laporan Greenpeace dan CELIOS bahkan menyebutkan bahwa, gas bumi tetap menghasilkan emisi yang sangat besar dan bahkan jauh lebih berbahaya dalam jangka panjang.

Lalu, siapa yang diuntungkan dari narasi ini? Jawabannya adalah: perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di industri energi fosil, baik itu perusahaan minyak dan gas bumi nasional maupun investor asing yang mendanai proyek-proyek energi gas bumi. Mereka berusaha untuk memperluas pasar gas bumi di Indonesia dengan menggunakan narasi “gas bumi sebagai energi transisi” sebagai alat untuk memperkenalkan gas bumi sebagai solusi energi masa depan.

Gas Bumi dan Proyek Energi yang Mengancam Lingkungan

Saat kita berbicara tentang gas bumi, ada banyak proyek besar yang sedang berjalan di Indonesia. Proyek-proyek ini sering kali dibiayai oleh investor asing dengan alasan untuk memperkuat ketahanan energi nasional. Namun, jika kita cermati lebih dalam, proyek-proyek ini seringkali lebih menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu ketimbang masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Sebagai contoh, ada proyek pengembangan gas bumi di wilayah Indonesia Timur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi industri dan pembangkit listrik. Padahal, wilayah ini memiliki potensi besar untuk energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, yang lebih murah dan jauh lebih ramah lingkungan. Bukannya fokus mengembangkan energi terbarukan, dana besar malah dialihkan untuk proyek gas bumi yang belum tentu memberikan manfaat langsung bagi masyarakat lokal dan semakin memperparah ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil.

Laporan ini juga mengungkapkan bahwa proyek gas bumi sering kali dilaksanakan di daerah-daerah yang sangat sensitif secara ekologis. Dampak buruk terhadap lingkungan ini bisa lebih parah dari yang kita bayangkan. Misalnya, proyek gas bumi yang memperburuk kerusakan ekosistem pesisir, atau merusak keanekaragaman hayati yang sangat penting bagi keseimbangan alam.

Selain itu, proyek gas bumi juga sering dilakukan tanpa transparansi dan partisipasi yang cukup dari masyarakat setempat. Keputusan tentang proyek-proyek ini sering kali dibuat tanpa melibatkan suara rakyat, padahal mereka adalah pihak yang akan merasakan dampaknya dalam jangka panjang.

Sebagai contoh, perangkat pendukung Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) milik PT Jawa Satu Power (JSP) pun mulai mengganggu aktivitas nelayan.

“Hasil tangkapan tahun 2017-2018 masih bagus. Pada 2020 tuh udah menurun. Jaring-jaring nyangkut di pipa. Lagi jaring enak enak eh nyangkut. Ikannya hilang, jaringnya rusak,” ujar Waslim.

Kehadiran perangkat pendukung PLTGU juga menyebabkan pendangkalan laut. Gelombang di laut pecah dan membahayakan nelayan.

“Sekarang dangkal jadi kan, ombak-ombak pada pecah. Banyak perahu-perahu kecil yang terbalik kena ombak. Kalau ada angin dari utara itu jadi pecah,” kata Waslim.

Jika tak terbalik karena ombak pecah, nelayan juga berisiko tertabrak oleh kapal besar yang membawa pekerja ke PLTGU JSP. Ini pernah terjadi kepada Waslim pada 2020 silam.

“Saya dulu pernah ditabrak kapal yang pulang pergi antar pegawai, cuma dikasih ganti Rp200 ribu. Kecil banget,” curhatnya.

Keuntungan untuk Beberapa Pihak, Kerugian untuk Kita Semua

Penting untuk kita sadari bahwa proyek-proyek gas bumi di Indonesia bukan hanya soal energi, tetapi juga soal ekonomi dan politik. Dalam laporan tersebut, disebutkan bagaimana kebijakan fiskal dan regulasi yang mendukung ekspansi gas bumi sering kali lebih berpihak pada kepentingan industri daripada kebutuhan rakyat. Subsidi energi yang seharusnya digunakan untuk mendukung kebutuhan energi rumah tangga dan energi terbarukan, malah banyak mengalir untuk mendukung sektor gas bumi industri. Seperti investasi riset dan pengembangan untuk infrastruktur energi terbarukan, dukungan akses energi bersih di daerah terpencil, dan lainnya. 

Contohnya, dalam Danantara, sektor minyak dan gas bumi diberi prioritas dalam pengembangan pembangkit energi, sementara energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan malah kalah bersaing. Hal ini mengarah pada ketimpangan yang besar dalam kebijakan energi Indonesia, di mana energi terbarukan yang seharusnya menjadi masa depan kita, justru terpinggirkan.

Rencana pembangunan infrastruktur untuk eksplorasi dan eksploitasi gas bumi akan semakin bertambah banyak untuk mencapai target PLN 22GW di 2040. Seharusnya, kita tidak boleh berpikir pendek. Yang penting adalah apakah energi itu berkelanjutan, ramah lingkungan, dan tidak merugikan generasi mendatang.

Transisi Energi yang Sejati: Membangun Masa Depan Berkelanjutan

Melihat semua fakta ini, kita perlu bertanya: apakah kita ingin terus terjebak dalam ketergantungan terhadap energi fosil lainnya, ataukah kita siap untuk beralih ke energi terbarukan yang lebih bersih dan berkelanjutan? Energi terbarukan seperti tenaga surya, dan angin, memiliki potensi luar biasa untuk menggantikan sumber energi fosil yang merusak lingkungan dan memperburuk krisis iklim.

Bagaimanapun, kita harus paham bahwa masa depan energi Indonesia ada di tangan kita. Transisi energi bukan hanya soal mengubah teknologi, tetapi juga soal mengubah cara kita berpikir dan memprioritaskan masa depan yang lebih baik. Kita perlu menuntut pemerintah untuk fokus mengembangkan energi terbarukan dan konsisten dalam membuat kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan dan keadilan energi. Indonesia bisa menjadi negara yang memimpin transisi energi global jika kita memilih jalan yang benar, bukan terjebak dalam transisi palsu yang hanya menguntungkan beberapa pihak saja.

Yuk baca laporan lengkapnya di sini.

Dengan memahami lebih dalam tentang apa yang sedang terjadi di balik narasi gas bumi, kita bisa mulai mendorong perubahan yang lebih baik. Jangan biarkan kepentingan jangka pendek menghalangi kita untuk mewujudkan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Mari bergerak bersama untuk transisi energi yang sesungguhnya!