Di tengah lalu lintas ibu kota yang hiruk-pikuk, saya berdiri di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta pada Kamis pagi, 19 Juni 2025. Bersama Greenpeace Indonesia, saya bergabung untuk menyatukan suara dalam satu seruan yang sederhana namun mendalam: “Stop Genocide, Peace Now”. Kami turun ke jalan bukan sekadar untuk membawa poster, tapi untuk membawa suara warga Gaza; mereka yang kehilangan segalanya di tengah perang.

Lebih dari 55.000 nyawa telah hilang dan 129.000 lainnya terluka sejak Oktober 2023, menurut laporan OCHA dan Kementerian Kesehatan Gaza. PBB menyebut Gaza sebagai wilayah dengan risiko kelaparan tertinggi di dunia. Bantuan yang seharusnya menjadi harapan pun tak sepenuhnya sampai, dari 900 truk yang diizinkan masuk, kurang dari 600 benar-benar menyalurkan isinya. Di tengah reruntuhan dan ancaman, jutaan orang bertahan bukan karena semuanya baik-baik saja, tapi karena tak ada pilihan lain. Dunia tidak boleh berpaling.

Greenpeace Indonesia today held a peaceful protest in front of the United States Embassy in Jakarta as a form of solidarity with Gaza civilians who continue to be the victims of the worst humanitarian crisis in history. In an action titled “Stop Genocide, Peace Now”, Greenpeace called for an immediate end to the war and violence against civilians, and urged full access for humanitarian aid that has been restricted so far. This call is part of a global wave of voices demanding peace and protection of human rights for civilians in Gaza.

Aksi ini adalah bentuk solidaritas. Namun lebih dari itu, ini adalah panggilan hati. Kita tidak sedang berbicara sekadar soal konflik antarnegara atau perbedaan keyakinan. Yang sedang kita saksikan adalah krisis kemanusiaan yang sangat serius, yang terjadi di hadapan dunia yang terlalu lama diam. Gaza bukan lagi sekadar wilayah konflik, ia telah menjadi tempat di mana kehidupan sipil terus-menerus terancam, dan harapan akan keselamatan memudar hari demi hari.

Nyawa bukan sekadar angka statistika

Kita melihat korban-korban terus berjatuhan melalui laporan dan berita. Namun nyawa bukan hanya sekadar angka statistika. Ada potret keluarga yang tercerai-berai, anak-anak yang kehilangan masa kecilnya, dan manusia-manusia yang kehilangan harapan, hari demi hari. Mereka bukan sekadar korban konflik. Mereka adalah cerminan dari apa artinya menjadi manusia dalam keadaan paling rentan.

Sebagai sekutu utama Israel, Pemerintah Amerika Serikat memegang peran besar dalam menentukan arah krisis ini. Namun, alih-alih menahan laju kekerasan, dukungan politik dan militer terus mengalir. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana bisa pembelaan terhadap hak asasi manusia berjalan berdampingan dengan pembiaran terhadap penderitaan manusia?

Greenpeace Indonesia today held a peaceful protest in front of the United States Embassy in Jakarta as a form of solidarity with Gaza civilians who continue to be the victims of the worst humanitarian crisis in history. In an action titled “Stop Genocide, Peace Now”, Greenpeace called for an immediate end to the war and violence against civilians, and urged full access for humanitarian aid that has been restricted so far. This call is part of a global wave of voices demanding peace and protection of human rights for civilians in Gaza.

Pada aksi hari itu, Greenpeace membawa sebuah pertunjukan teatrikal. Tujuh orang berpakaian putih berbaring diam di atas aspal, tubuh mereka dilumuri darah buatan yang menjadi simbol dari hilangnya nyawa warga sipil akibat perang.

Kita sering menyebut kemanusiaan sebagai nilai universal, namun terlalu mudah bagi kita untuk melupakan bahwa nyawa bukan sekadar angka. Gaza, dan semua tempat di mana konflik menelan korban tak bersalah, adalah cermin bagi nurani dunia. Dalam situasi seperti ini, bersikap netral bukanlah sikap tanpa keberpihakan, ini justru berarti membiarkan ketidakadilan terus berlangsung.

Perang dan lingkungan

Dampak konflik ini pun melampaui sisi kemanusiaan. Ia juga menghancurkan lingkungan. Laporan EcoPeace Middle East menunjukkan bahwa limbah perang melepaskan ribuan ton karbon dan bahan berbahaya ke atmosfer. Tanah dan air tercemar oleh reruntuhan dan zat kimia, merusak ekosistem dan mengancam keberlangsungan hidup dalam jangka panjang. Bahkan hewan-hewan pun merasakan dampaknya. Kucing-kucing yang dulu menjadi bagian dari keseharian warga Gaza kini menghilang, menyisakan jejak kehancuran yang sunyi namun nyata.

Greenpeace Indonesia today held a peaceful protest in front of the United States Embassy in Jakarta as a form of solidarity with Gaza civilians who continue to be the victims of the worst humanitarian crisis in history. In an action titled “Stop Genocide, Peace Now”, Greenpeace called for an immediate end to the war and violence against civilians, and urged full access for humanitarian aid that has been restricted so far. This call is part of a global wave of voices demanding peace and protection of human rights for civilians in Gaza.

Warga sipil di Palestina, Israel, dan Iran, semuanya adalah korban dari ketidakmampuan dunia untuk mendengarkan satu sama lain. Mereka bukan musuh satu sama lain, melainkan manusia yang sama-sama terjebak dalam warisan ketakutan, kesalahpahaman, dan kebencian yang belum selesai. Mereka butuh keberanian kita untuk hadir: untuk mendengar, untuk memahami, untuk percaya bahwa masa depan yang damai bukanlah ilusi.

Karena saat kekerasan dibiarkan menjadi kebiasaan, dan penderitaan hanya dihitung sebagai risiko politik, maka kemanusiaan kita sedang dipertaruhkan. Sudah saatnya kita bersuara. Sudah saatnya berdiri bersama mereka yang tak lagi punya ruang untuk membela diri. Mari tidak tinggal diam, karena diam, di hadapan ketidakadilan, bukanlah pilihan.

Catatan Editor:

  1. Laporan OCHA “Humanitarian Situation Update #297 | Gaza Strip(18 Juni 2025)
  2. Press Release OCHA: Statement by the Humanitarian Country Team of the Occupied Palestinian Territory – on Gaza (28 May 2025)
  3. Kumpulan Laporan EcoPeace Middle East tentang Gaza: https://ecopeaceme.org/publications/