Gas fosil kerap digambarkan sebagai pilihan yang lebih bersih dan aman untuk Asia Tenggara. Namun, kalau dilihat lebih dekat lagi, citra soal gas fosil itu berubah total. Gas fosil membahayakan iklim, menguras pendapatan kita, merusak alam, mengancam kesehatan, dan membuat masyarakat dalam bahaya. Risikonya bukan cuma satu dua, tapi di seluruh rantai pasok — mulai dari ekstraksi ke saluran pipa, ke bentuk LNG, hingga pembangkit listrik. Tulisan ini menguraikan setiap dampak secara mendalam dan menunjukkan mengapa Asia Tenggara tidak boleh lagi bergantung pada gas fosil.
1. Gas fosil merusak iklim
Gas fosil bukanlah solusi iklim. Ketika dibakar, gas fosil melepaskan karbon dioksida — salah satu dari gas rumah kaca yang dapat mendorong adanya perubahan iklim. Saat ini, gas fosil menyumbang 21% dari total emisi karbon dioksida fosil global, dan masih terus akan meningkat.
Tapi, masalah besarnya adalah metana. Gas fosil sebagian besar adalah metana, yang dapat memerangkap panas sekitar 84 kali lebih besar dibandingkan karbon dioksida selama dua puluh tahun pertama di atmosfer. Metana dapat bocor selama proses pengeboran, pemrosesan, distribusi, dan penyimpanannya. Kasus kebocoran ini menyebar luas di berbagai belahan dunia dan kerap diremehkan. Ketika risiko itu diperhitungkan secara menyeluruh, dampak dari gas fosil dapat menyamai dampak yang dihasilkan dari penggunaan batubara — bahkan beberapa kasus justru lebih buruk.
Setiap satu ton gas fosil yang digunakan di Asia Tenggara menambah lebih banyak kandungan metana dan karbon dioksida di atmosfer, memanaskan satu kawasan yang sudah rentan akan cuaca ekstrim, banjir, dan kenaikan suhu udara.
2. Gas fosil meningkatkan biaya hidup
Gas fosil merupakan salah satu bahan bakar yang paling tidak stabil dan mahal di dunia. Penentuan harganya bergantung pada pasar global, bukan dari kebutuhan lokal. Ketika permintaan pasar global naik atau ketika konflik mengganggu rantai pasok, harga gas fosil meroket.
Kawasan Asia Tenggara sudah merasakan dampaknya secara tajam selama krisis energi pada 2022 dan perang di Ukraina. Harga gas melonjak, dan sektor rumah tangga yang menanggung biaya yang mahal untuk listrik dan kebutuhan dasar mereka. Ketika keluarga-keluarga terdampak, perusahaan minyak dan gas meraup keuntungan yang besar. Selama sepuluh tahun terakhir, lima besar perusahaan fosil memeroleh lebih dari delapan ratus miliar dollar. Sejak 2022, hampir setengah triliun dollar keuntungan yang didapat perusahaan itu datang langsung dari krisis.
Semakin lama Asia Tenggara bergantung pada gas fosil, semakin banyak guncangan harga dan penderitaan ekonomi yang akan dihadapi oleh masyarakat. Itu adalah sistem energi yang dibangun di atas kekerasan, bukan keamanan.
3. Gas fosil merusak alam dan keanekaragaman hayati
Pembangunan infrastruktur gas fosil memiliki konsekuensi yang serius terhadap alam. Eksplorasi, pengeboran, dan ekstraksinya merusak hutan, mencemari sumber air, dan merusak tanah. Pipa-pipa penyaluran gas menembus ekosistem. Fasilitas terminal LNG merusak pantai serta menimbulkan polusi air dan udara.
Eksplorasi gas lepas pantai menggunakan ledakan seismik, di mana prosesnya menimbulkan gelombang suara yang sangat kuat ke lautan untuk mendeteksi ladang gas. Ledakan tersebut mengganggu dan terkadang dapat melukai paus, lumba-lumba, dan banyak spesies laut lainnya yang bergantung pada gelombang suara untuk berkomunikasi dengan sesama, mencari makanan, dan migrasi.
Ekspansi infrastruktur gas juga mengancam nelayan dan komunitas masyarakat yang bergantung pada laut. Ketika habitat rusak, mereka kehilangan kemampuan untuk menyimpan karbon secara alami, sekaligus memperburuk iklim maupun meningkatkan krisis keragaman hayati.
4. Gas fosil membahayakan kesehatan
Gas fosil tidak bersih bagi tubuh kita. Ketika pembakaran bahan bakar gas terjadi, itu menghasilkan nitrogen oksida dan polutan lainnya yang berkaitan dengan penyebab asma, gangguan pernapasan, penyakit jantung, dan kanker. Selain polusi yang dapat dirasakan secara langsung, gas fosil juga memicu krisis iklim, dengan meningkatkan risiko gelombang panas, banjir, dan wabah penyakit. Itu semua memiliki konsekuensi yang serius bagi kesehatan manusia.
5. Gas fosil mengancam keamanan masyarakat
Gas fosil itu berbahaya. Kecelakaan sangat umum terjadi di seluruh rantai pasoknya. Ledakan, kebakaran, dan kebocoran muncul selama proses ekstraksi, distribusi, dan penyimpanan.
Di Amerika Serikat, kecelakaan pipa gas terjadi setiap empat puluh jam sekali. Bencana yang terjadi di masa lalu seperti ledakan San Juanico di Meksiko dan ledakan pipa gas Ufa di Uni Soviet menunjukkan seberapa mematikannya infrastruktur gas itu. Baru-baru ini, kebakaran besar terjadi di saluran pipa gas yang berlokasi dekat dengan pemukiman Putra Heights, Malaysia, yang dioperasikan oleh PETRONAS Gas Berhad. Kebakaran tersebut berdampak pada 364 orang. Setidaknya, 78 rumah, 10 ruko, dan 225 kendaraan terbakar.
Asia Tenggara, dengan populasi pesisir, kota-kota padat, dan kerentanan iklimnya, tidak mampu menanggung semua risiko tersebut.
Asia Tenggara sedang menjadi target
Negara-negara seperti Amerika Serikat, Qatar, dan Australia sedang mengembangkan produksi gas mereka dan mendorong Asia Tenggara untuk menjadi pasar LNG jangka panjang mereka. Mereka mempromosikan gas sebagai bahan bakar yang bersih dan aman. Namun, LNG itu tidak stabil, mahal, dan mudah dipengaruhi oleh pasar global.
Krisis gas di tahun 2022 menunjukkan kalau LNG bisa jadi tidak terjangkau dalam semalam. Menjerat Asia Tenggara ke dalam gas fosil membuat jutaan keluarga terjerumus dalam lonjakan harga dan ketidakstabilan selama puluhan tahun.
Jalan yang lebih baik kedepannya
Asia Tenggara memiliki potensi energi terbarukan yang luas. Tenaga surya dan angin lebih murah, aman, dan lebih stabil dibandingkan gas fosil. Dengan investasi dalam jaringan listrik modern, dan kerja sama regional melalui ASEAN, energi terbarukan dapat memberdayakan kawasan dengan keterjangkauan dan reliabilitas.
Gas fosil bukan masa depan kita. Energi yang bersih, aman, dan terjamin dapat kita jangkau. Saatnya untuk memilih itu.
Blog ini ditulis oleh Greenpeace Southeast Asia


