Activists from Solidarity of Justice for Batang Community wear ghost costume as they hold a protest in front of the Japanese Embassy in Jakarta. They are protesting against the plan for the construction of the Batang coal power plant in Batang, Central Java.

Kunjungan Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, ke Malaysia dan Indonesia baru-baru ini menyoroti agenda “business as usual” yang terus mendorong bahan bakar fosil sebagai prioritas utama, meskipun telah ada pembicaraan mengenai Transisi Energi Berkeadilan. Di bawah inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC), Jepang mendukung proyek-proyek yang memprioritaskan pengembangan gas alam cair (LNG), co-firing amonia pada pembangkit listrik tenaga batu bara, dan solusi palsu lainnya seperti energi nuklir dan hidrogen, yang justru mengesampingkan energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin.

Oil Change International menyoroti rekomendasi International Energy Agency (IEA) dan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) untuk menghindari pembangunan infrastruktur baru bahan bakar fosil dan memprioritaskan penggunaan fasilitas yang sudah ada. Namun, kemitraan AZEC terus mempromosikan dan mendanai pembangunan infrastruktur bahan bakar fosil baru, yang menghambat Transisi Energi Berkeadilan dan juga upaya mitigasi perubahan iklim.

Pemerintah Jepang, Malaysia, dan Indonesia tetap memandang bahan bakar fosil lebih aman dibandingkan energi terbarukan. Ironisnya, lebih banyak investasi diperlukan untuk membuat teknologi solusi palsu ini, seperti Carbon Capture and Storage (CCS) atau Carbon Capture, Utilisation and Storage (CCUS), menjadi layak guna mempertahankan gas fosil sebagai baseload.

Laporan dari Zero Carbon Analytics mengungkapkan bahwa hanya 11% dari 158 Nota Kesepahaman (MoU) di bawah AZEC yang melibatkan tenaga angin dan surya. Bahkan, sebanyak 56 MoU (35%) melibatkan teknologi bahan bakar fosil, seperti LNG, co-firing amonia, dan CCS.

Malaysia:

  • Selama kunjungannya ke Malaysia, Perdana Menteri Ishiba menyatakan minat untuk mempercepat pelaksanaan Joint Crediting Mechanism (JCM) yang mempromosikan kredit karbon melalui teknologi dekarbonisasi. Jepang juga menunjukkan minat untuk mengekspor emisi karbon sejalan dengan proyek CCS Malaysia, menyoroti pertumbuhan investasi untuk membuat teknologi ini layak di masa depan.
  • Ketergantungan yang meningkat pada gas fosil akan mendorong eksplorasi minyak dan gas baru seiring menipisnya cadangan. Petronas telah menjadwalkan eksplorasi sumur baru di Langkasuka dan Taman Laut Tun Mustapha.
  • Selain itu, Jepang juga mengincar industri mineral tanah jarang (rare earth) Malaysia untuk memastikan pasokan yang stabil dan terdiversifikasi, sekaligus mengurangi ketergantungan pada China untuk mineral penting dalam sektor teknologi tinggi seperti otomotif, elektronik, dan energi terbarukan.

Indonesia:

  • Indonesia memiliki jumlah MoU AZEC dengan Jepang terbanyak, yaitu 43% dari total keseluruhan. Pemerintah harus memanfaatkan momentum ini untuk mengevaluasi kembali 27 MoU yang masih terkait bahan bakar fosil dan mengarahkan kolaborasi ini untuk mempercepat transisi energi terbarukan di Indonesia.
  • Komitmen ini juga tampaknya bertentangan dengan rencana Indonesia yang terus mempromosikan pembangkit captive berbasis batu bara untuk industri nikel. Laporan CREA dan Global Energy Monitor mengenai kapasitas captive coal di Indonesia menemukan bahwa pembangunan pembangkit captive berbasis batu bara diperkirakan akan terus berlanjut dengan total kapasitas 11,04 GW hingga 2026. Hal ini berisiko memperpanjang ketergantungan pada bahan bakar fosil, yang tidak sejalan dengan tujuan dekarbonisasi.
  • Jika dukungan Jepang terhadap transisi energi bersih di Indonesia ingin dianggap kredibel, Jepang juga harus menolak investasi yang dapat memperpanjang penggunaan batu bara di industri seperti nikel, serta gas fosil, yang tentunya dapat menghambat komitmen lingkungan kedua negara dalam jangka panjang.

Negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Indonesia juga tengah mengeksplorasi energi nuklir sebagai teknologi rendah karbon dan alternatif baseload di bawah inisiatif Civilian Nuclear Energy (CNE). Namun, ini mengabaikan risiko mismanajemen limbah nuklir dan dampak lingkungan.

Pernyataan Greenpeace:

  • Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Malaysia, Hamizah Shamsudeen, mengatakan:

“Memprioritaskan proyek tenaga surya dan efisiensi energi sangat penting untuk mencapai transisi energi yang berkeadilan di Malaysia. Dukungan Jepang terhadap rencana dekarbonisasi dan keamanan energi Malaysia, yang mencakup gas fosil sebagai baseload, hanya akan melayani kepentingan ekonomi perusahaan Jepang yang ingin mempertahankan permintaan LNG demi keuntungan ekonomi jangka pendek, yang pada akhirnya menyebabkan dampak lingkungan dan sosial.

Upaya dekarbonisasi seharusnya berfokus pada adopsi sumber daya alternatif yang lebih ramah lingkungan, seperti tenaga surya. Agar tenaga surya lebih berkelanjutan untuk keamanan energi, upaya yang lebih besar harus diarahkan pada peningkatan sistem jaringan listrik dan penerapan langkah-langkah efisiensi energi dalam pengembangan yang sudah ada maupun yang baru.”

  • Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, mengatakan:

“Komitmen Jepang untuk mendukung keamanan energi dan pengembangan energi terbarukan di Indonesia sangat menjanjikan. Namun, rekam jejak investasi Jepang pada proyek batu bara dan gas fosil, termasuk dukungan untuk proyek-proyek besar seperti PLTGU Jawa-1 yang baru beroperasi di Indonesia, menimbulkan pertanyaan tentang komitmen Jepang terhadap transisi energi. PLTGU Jawa-1, yang mencakup unit penyimpanan dan regasifikasi LNG, merupakan pembangkit listrik terintegrasi terbesar di Asia Tenggara, dengan kapasitas 1,7 GW. Oleh karena itu, untuk memastikan kerjasama ini terjalin dengan baik, pemerintah Jepang dan Indonesia harus mengarahkan kerjasama ini untuk menjauhi praktik-praktik yang dapat memperpanjang ketergantungan Indonesia pada bahan bakar fosil, dan sebaliknya fokus pada percepatan solusi energi bersih dan terbarukan, seperti tenaga surya yang melimpah di Indonesia.”

  • Manajer Proyek Energi Greenpeace Jepang, Hisayo Takada, mengatakan:

“Perdana Menteri Ishiba memilih Malaysia dan Indonesia sebagai tujuan luar negeri pertamanya dalam jabatan barunya. Kunjungan ke negara-negara utama Asia Tenggara ini juga penting dalam konteks perubahan iklim dan energi. Dorongan Jepang untuk membangun pembangkit listrik bahan bakar fosil dan nuklir, serta CCS dan CCUS di kedua negara, menjebak Jepang dan kedua negara tersebut dalam rezim lama yang mengandalkan penggalian dan pembakaran sumber daya bawah tanah serta berusaha mengelola zat-zat berbahaya. Kedua negara memiliki banyak kesamaan dengan Jepang: sama-sama dikelilingi laut, memiliki lingkungan alam yang kaya, aktivitas vulkanik yang aktif, serta populasi yang besar. Yang perlu dikejar oleh ketiga negara ini adalah cara menghasilkan energi yang sirkular, mandiri, dan demokratis, yakni energi terbarukan dari matahari, angin, dan panas bumi, bukan energi yang sarat dengan risiko kecelakaan serius dan pencemaran.”