Jakarta, 27 Mei 2020. Pengumuman terbaru Coca-Cola Amatil Indonesia dengan Dynapack Asia yakni akan membangun fasilitas daur ulang untuk menghasilkan Polyethylene Terephthalate (PET) bukanlah langkah progresif dari sebuah perusahaan skala global dalam menanggulangi krisis sampah plastik di Indonesia. Sebagai perusahaan yang masuk dalam tiga besar penyumbang sampah plastik secara global selama dua tahun berturut-turut (2018 dan 2019) oleh audit merek yang dilakukan oleh Break Free From Plastic, Coca-Cola seharusnya memberikan solusi nyata dengan mengaplikasikan ekonomi sirkular melalui konsep isi ulang (refill) dan penggunaan kembali (reuse).

Sampah botol dan tutup botol produk perusahaan Coca Cola yang dikumpulkan di Freedom Island, Filipina, saat kegiatan audit merek. Greenpeace bersama koalisi #breakfreefromplastic mengadakan kegiatan bersih pantai dan audit merek di Freedom Island, Parañaque City, Metro Manila, Filipina. Freedom Island adalah area ekowisata yang meliputi wilayah konservasi hutan mangrove dan rawa yang menjadi habitat spesies burung yang bermigrasi dari berbagai negara seperti Tiongkok, Jepang, dan Siberia.

Mengurangi pemakaian plastik sekali pakai harus menjadi opsi utama, mengingat jumlah kemasan yang diproduksi Coca-Cola disebut mencapai lebih dari 110 miliar botol secara global pada tahun 2016

Sebagai respons terhadap rencana Coca-Cola Amatil Indonesia dan Dynapack Asia, Muharram Atha Rasyadi, Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia mengatakan: 

“Bila berkaca pada visi global Coca-Cola ‘World Without Waste’, rencana pembangunan fasilitas daur ulang oleh Coca-Cola merupakan langkah yang sangat tidak ambisius. Dan sebagai bagian dari Global Plastic Action Partnership, perusahaan seharusnya tahu betul target pemerintah untuk mengurangi sampah plastik di lautan sebesar 70% pada tahun 2025, dan mewujudkan Indonesia bebas sampah plastik pada 2040. Sesuai National Plastic Action Partnership (NPAP) Indonesia melalui Skenario Perubahan Sistem, reduksi penggunaan plastik sekali pakai menjadi pilihan utama.”

“Coca-Cola sepantasnya menjadi yang terdepan dalam mengurangi ketergantungan terhadap plastik sekali pakai. Bukan malah mengurangi jumlah resin plastik baru dengan plastik daur ulang. Mengubah kemasan dengan menaikkan tingkat daur ulangnya hanyalah solusi semu. Terlebih tanpa mengembangkan skema pengumpulan (collection) yang dapat menjangkau berbagai wilayah yang ada di Indonesia, termasuk pulau-pulau yang menjadi tujuan pariwisata. Sistem pengumpulan sampah kita masih jauh dari sempurna, di mana dampaknya sampah mengalir dan mencemari lingkungan sekitar, ditambah kapasitas Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) tidak lagi memadai.”

“Perusahaan harusnya melihat semakin banyak masyarakat yang teredukasi dengan menghindari penggunaan plastik sekali pakai. Mereka sadar bahwa plastik bermasalah dari hulu (industri minyak mentah sebagai asal bahan bakunya) hingga ke hilir (sebagai kemasan berbagai produk). Melihat semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat, Coca-Cola dan perusahaan produsen kebutuhan sehari-hari (fast moving consumer goods/FMCG) lainnya harus peka dan sesegera mungkin melakukan perubahan yang lebih fundamental.”

Catatan: 

[1] National Plastic Action Partnership (NPAP) adalah turunan dari Global Plastic Action Partnership, sebuah inisiatif dari sejumlah pihak yang dipimpin oleh World Economic Forum. Dalam NPAP, dibentuk Skenario Perubahan Sistem (System Change Scenario) yang berisikan lima langkah untuk mencapai kedua target pada tahun 2025 dan 2040.

Kontak media:

Muharram Atha Rasyadi, Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia, [email protected], telp 0811-1714-083

Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, [email protected], telp 0811-1924-090