Greenpeace paraglider activist flies near Neptun Deep drilling platform in Constanta, Romania, holding a STOP FOSSIL GAS banner. © Greenpeace

Jakarta, 18 Agustus 2025. Gangguan pasokan gas yang terjadi sejak awal 2024, menimbulkan kepanikan industri. Para pelaku industri mengeluhkan kesulitan mendapatkan pasokan gas, hingga berujung pada pembatasan kuota pemanfaatan gas dengan harga bumi tertentu (HGBT) yang berlaku 13-31 Agustus 2025, dan meningkatnya harga gas. 

Sebagai dampaknya, industri padat energi, seperti kaca, keramik, baja, petrokimia hingga pupuk, harus berhadapan dengan permasalahan pasokan gas dan tingginya harga gas, yang menunjukkan betapa rapuhnya pondasi energi Indonesia yang masih bertumpu pada gas. PHK massal kini menjadi ancaman nyata bagi industri yang mengandalkan gas, yang tidak hanya mahal tetapi juga tidak stabil dalam ketersediaannya.

Krisis gas yang sedang terjadi saat ini merupakan bukti nyata bahwa Indonesia tidak dapat mencapai Ketahanan Energi seperti yang dicita-citakan Pak Prabowo dalam Pidato Nota Keuangannya pada Jumat, 15 Agustus 2025, jika Indonesia masih bergantung pada energi gas fosil. 

Namun di sisi lain, Pemerintah justru berencana untuk memperpanjang dan semakin meningkatkan penggunaan gas secara domestik dengan menambah porsi pembangkit listrik berbahan bakar gas yang akan semakin mengikat Indonesia pada energi fosil ini untuk puluhan tahun ke depan. Berdasarkan dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, Pemerintah dan PLN berencana membangun 10.3 Gigawatt pembangkit listrik tenaga gas baru dalam 10 tahun ke depan, di mana 90 persennya, yaitu 9.3 Gigawatt, akan dibangun dalam 5 tahun kedepan.

Menurut Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo pada saat Diseminasi RUKN dan RUPTL 2025-2034, terdapat perubahan dalam RUPTL yang diterbitkan dibandingkan dengan usulan RUPTL sebelumnya, dengan semula kapasitas pembangkit gas direncanakan sebesar 15,2 GW, lalu dikurangi menjadi10,3 GW. Hal ini diungkapkan oleh PLN dengan proyeksi  kemungkinan untuk melakukan impor kargo LNG ketika kebutuhan domestik bertambah di masa depan.

Jika Pemerintah dan PLN telah menyadari bahwa penambahan pembangkit gas baru hanya akan meningkatkan ketergantungan Indonesia pada gas dan akan membawa risiko impor, maka seharusnya tidak ada penambahan pembangkit gas baru dalam RUPTL tahun ini. Potensi impor gas di 15 tahun mendatang, justru akan mempersulit  pemerintah untuk  mencapai ketahanan energi Indonesia. Sejalan dengan penurunan produksi gas Indonesia yang telah terjadi sejak 2013, sebuah studi oleh Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) memproyeksikan bahwa Indonesia akan menjadi net importir gas pada tahun 2040 jika permintaan gas domestik semakin meningkat, terutama dengan adanya pembangkit listrik gas baru. 

Sementara itu, menurut studi Global Energy Monitor, harga energi terbarukan, yaitu tenaga surya, telah terbukti semakin kompetitif dibandingkan listrik berbasis gas di Indonesia. Mahalnya harga gas juga akan membebani PLN secara keuangan untuk melakukan pembelian bahan bakar. Berdasarkan studi CERAH, penambahan kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar gas hingga 10,3 Gigawatt dalam RUPTL 2025-2034 akan menimbulkan biaya tambahan hingga Rp155,8 triliun/tahun hanya untuk biaya pembelian bahan bakar gas pembangkit listrik oleh PLN.   

Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar dan dapat dimanfaatkan untuk melakukan transisi energi, yaitu sekitar 3,200 GW. Namun, potensi energi surya tersebut baru dimanfaatkan sebesar 270 MW per 2024, atau kurang dari 1 persen. Padahal penggunaan energi surya akan menciptakan kestabilan karena tidak bergantung pada pasar global yang rentan dan juga sejalan dengan agenda Swasembada Energi yang diusung oleh Pemerintahan Prabowo. 

Lebih dari itu, percepatan transisi energi bersih dapat menciptakan lapangan kerja baru yang lebih banyak dan lebih sehat dibandingkan industri fosil. Berdasarkan riset Greenpeace dan CELIOS, transisi menuju ekonomi hijau akan menciptakan 19.4 juta lapangan kerja baru dalam 10 tahun ke depan.

Untuk itu, Greenpeace mendesak pemerintah menghentikan ilusi “gas sebagai solusi transisi energi”, karena gas terbukti mahal, pasokannya rentan terganggu bencana maupun geopolitik, dan cadangan dalam negeri yang semakin terbatas. Untuk mencapai Ketahanan Energi, sudah saatnya Indonesia fokus mengembangkan energi terbarukan dan lepas dari ketergantungan terhadap energi fossil, termasuk gas, dan membatalkan rencana penambahan pembangkit gas baru dalam RUPTL.

Kontak media :

Adila Isfandiari, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, +62 811-155-760

Rahma Shofiana, Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 811-1461-674