JAKARTA, 10 Desember 2025 – Di tengah peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia hari ini, Indonesia sedang tidak merayakan apa pun. Sebaliknya, kita sedang menyaksikan sebuah tragedi kemanusiaan yang terhampar luas dari ujung Sumatera hingga Papua. Bangsa ini sedang berada dalam status darurat, bukan hanya karena bencana alam, tetapi karena kegagalan negara melindungi nyawa rakyatnya.

Tahun 2025 menjadi saksi bisu bagaimana krisis ekologis yang mematikan berjalan beriringan dengan gelombang represi politik, menciptakan sebuah ‘badai sempurna’ yang merenggut nyawa dan membungkam suara rakyat secara sistematis.

Menurut Juru Kampanye Laut Bidang Hukum dan HAM Greenpeace Indonesia, Fildza Nabila, tragedi banjir dan longsor yang melumpuhkan Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat di penghujung tahun ini bukanlah bencana alam biasa. Ini adalah krisis buatan manusia akibat tata kelola yang buruk dan perusakan lingkungan yang sistematis.

Perusakan lingkungan ini diperparah dengan eskalasi konflik di lapangan. Pada September 2025, bentrokan di wilayah konsesi Toba Pulp Lestari (TPL) di Sumatera Utara menjadi bukti nyata bagaimana korporasi, yang didukung aparat, terus mendesak ruang hidup masyarakat adat dan menciptakan bencana sosial di atas bencana ekologis.

“Ketika ekosistem rusak, kapasitas daerah terbatas, dan pemerintah abai, ratusan jiwa hilang, desa-desa terisolasi, infrastruktur vital lumpuh, dan ratusan ribu orang terpaksa mengungsi, tanpa akses memadai terhadap air bersih, listrik, layanan kesehatan, serta bantuan darurat,” kata Fildza.

Ironisnya, bencana ekologis serupa juga terjadi di wilayah lingkar tambang lainnya, seperti banjir di Morowali Utara pada Januari dan di Halmahera Tengah pada Juli, yang membuktikan bahwa kerusakan lingkungan adalah pemicu utamanya.

Membungkam Kritik dengan Teror dan Represi

Ketika rakyat menjerit memprotes kerusakan ini, negara justru menjawabnya dengan represif. Tahun 2025 menjadi tahun yang kelam bagi kebebasan sipil. Sepanjang paruh pertama tahun ini saja, Amnesty International mencatat 104 Pembela HAM telah menjadi korban serangan, dengan kepolisian sebagai aktor negara yang paling banyak terlibat. Kekerasan ini tidak pandang bulu; menyasar mahasiswa, masyarakat adat, hingga jurnalis yang bekerja demi kepentingan publik.

Serangan terhadap pilar demokrasi ini dilakukan secara brutal dan kasat mata. Kantor redaksi Tempo diteror dengan kiriman paket bangkai kepala babi dan tikus pada Maret. Tragedi lebih memilukan menimpa jurnalis Rico Sempurna Pasaribu yang tewas dibakar di rumahnya di Kabanjahe, Kabupaten Karo, setelah membongkar praktik kejahatan yang melibatkan aparat.

Tak hanya jurnalis, sejumlah mahasiswa dan peserta aksi hari buruh internasional (May Day) ditangkap polisi dengan berbagai dalih. Kemudian pada rentang 25 Agustus-1 September 2025, Amnesty International mencatat 4.194 pengunjuk rasa ditangkap kepolisian. Sebanyak 959 orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka dan sisanya dibebaskan tanpa dakwaan. Dari jumlah itu, 295 tersangka adalah anak-anak pada saat penangkapan dan 12 aktivis/pembela HAM turut dijerat dengan tuduhan menghasut.

Kekerasan aparat terus berlanjut hingga akhir tahun, ditandai dengan insiden penembakan lima petani di Bengkulu pada November 2025 dan serangan drone di Yahukimo, Papua, yang menambah daftar panjang korban sipil.

Data KontraS mempertegas situasi ini dengan catatan 602 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh Polri hingga pertengahan tahun, termasuk puluhan kasus pembunuhan di luar hukum. Angka ini sejalan dengan tren pengaduan ke Komnas HAM sepanjang 2025, di mana Polri secara konsisten menjadi institusi yang paling banyak diadukan oleh masyarakat (712 aduan)–menunjukkan tidak adanya perbaikan kultur kekerasan di tubuh kepolisian.

Fildza memaparkan represi ini terjadi secara merata dari barat hingga timur Indonesia. Di Aceh, trauma konflik masa lalu dihidupkan kembali lewat pembangunan empat batalyon baru yang dinilai berlebihan. Di Pantura Jawa Tengah, kawasan pesisir yang tenggelam oleh abrasi dan kemiskinan struktural dibiarkan menjadi ladang subur bagi sindikat perdagangan orang yang menjerat nelayan. Sementara di Sulawesi Utara, reklamasi dan penetapan 30 blok wilayah pertambangan rakyat (WPR) terus menggusur ruang hidup warga pesisir tanpa partisipasi yang bermakna.

“Pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan, TPPO, dan tindakan represi aparat berasal dari akar yang sama: model pembangunan yang merusak dan tidak berpihak pada rakyat,” tegas Fildza.

Seruan Solidaritas: Negara Harus Bertanggung Jawab

Melalui momentum Hari HAM ini, Greenpeace bersama koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk segera menetapkan Status Bencana Nasional bagi krisis di Sumatera, menghentikan segala bentuk proyek ekstraktif yang merusak lingkungan, serta melakukan reformasi total terhadap institusi kepolisian untuk mengakhiri impunitas dan kriminalisasi terhadap sipil.

“Di tengah krisis ekologi dan HAM, ruang untuk bersuara justru menyempit: aksi dibubarkan dengan tindakan represif, aktivis dan warga diintimidasi dan dipenjarakan, jurnalis diserang. Ketika suara warga dibungkam, pelanggaran HAM, kebijakan yang merugikan rakyat dibiarkan berjalan tanpa pertanggungjawaban. Merawat suara warga adalah syarat minimum agar demokrasi hidup dan rakyat dapat menuntut pelindungan atas hak-haknya,” tutup Fildza.

#HAMuntukSemua #RawatSuaraWarga #SolidaritasUntukSumatera

Narahubung:

Gilang Ramadhan, [email protected], +6287822106484

Fildza Nabila, [email protected], +6281510427733