Masyarakat adat Knasaimos dari Sorong Selatan mengajukan penetapan hutan adat ke Kementerian Kehutanan. Salah satu cara menjaga hutan adat agar menjadi warisan untuk masa depan.

Papuan Indigenous Tehit Tribe Visit Jakarta. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace
Papuan Indigenous Tehit tribe from the Knasaimos area in South Sorong, Southwest Papua, came to Jakarta to submit a letter to the Forestry Ministry office to acknowledge their forest as a customary forest. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Jakarta, 23 Juli 2025. Bertepatan dengan peringatan Hari Anak Nasional hari ini, masyarakat adat Knasaimos secara resmi mengajukan permohonan penetapan dan pengelolaan hutan adat melalui skema hutan adat dalam program perhutanan sosial yang dikelola Kementerian Kehutanan. Mengenakan atribut adat, perwakilan masyarakat Knasaimos dari Sorong Selatan, Papua Barat Daya mendatangi gedung Manggala Wanabakti di Jakarta untuk menyerahkan berkas permohonan kepada Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), Julmansyah. Panitia Masyarakat Hukum Adat serta perwakilan Bentara Papua dan Greenpeace Indonesia turut dalam penyerahan dokumen ini.

Langkah ini merupakan tindak lanjut dari pengakuan hak wilayah adat seluas 97.441,55 hektare yang telah diperoleh masyarakat adat Knasaimos, yang mendiami wilayah di Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat Daya. Dengan pengajuan pengelolaan hutan adat secara resmi, masyarakat adat berharap dapat memperkuat pelindungan atas hutan mereka, sekaligus mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang telah menjaga kawasan tersebut secara berkelanjutan turun-temurun.

Pemilihan tanggal 23 Juli bukanlah tanpa makna. Tanggal ini bertepatan dengan Hari Anak Nasional dan menjadi simbol bahwa pengusulan hutan adat ini merupakan komitmen nyata untuk melindungi masa depan anak-anak Papua, khususnya anak-anak di wilayah adat Knasaimos.”Kami ingin dunia tahu bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk generasi hari ini, tapi untuk anak-anak kami yang kelak akan mewarisi tanah dan hutan ini. Melindungi hutan adat berarti melindungi ruang hidup, identitas, dan harapan mereka di masa depan,” ungkap Fredrik Sagisolo, Ketua Dewan Persekutuan Masyarakat Adat Knasaimos.

Pesan yang kuat dari perwakilan masyarakat adat ini menggambarkan kedalaman komitmen mereka terhadap masa depan generasi penerus. Menanggapi permohonan penetapan hutan adat ini, Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), Julmansyah, menyampaikan menerima pengajuan ini dan akan mempelajarinya. “Mempelajari Indonesia tidak boleh dengan satu kacamata saja. Bagi kita yang tinggal di Jawa, mungkin hutan dilihat sebagai tempat budidaya atau konservasi. Bagi masyarakat Papua, hutan adat adalah ibu kandung yang memberikan penghidupan dari lahir hingga akhir hayat,” ujar Julmansyah.

Papuan Indigenous Tehit Tribe Visit Jakarta. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace
Papuan Indigenous Tehit tribe from the Knasaimos area in South Sorong, Southwest Papua, came to Jakarta to submit a letter to the Forestry Ministry office to acknowledge their forest as a customary forest. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Syafril dari Bentara Papua menanggapi, “Ini adalah momen penting dalam sejarah perjuangan masyarakat adat di Tanah Papua, khususnya di wilayah adat Knasaimos. Semoga proses ini berjalan lancar dan menjadi contoh bagi wilayah adat lainnya bahwa pengelolaan berbasis adat adalah jalan menuju keberlanjutan yang sesungguhnya. Dengan adanya pengakuan resmi, kami berharap masyarakat adat bisa terus menjaga hutannya dari ancaman eksternal, sembari mengembangkan model pengelolaan yang ramah lingkungan, berbasis budaya, dan berpihak pada generasi mendatang.”

Masyarakat adat Knasaimos sudah berjuang lebih dari dua dekade untuk mempertahankan tanah dan hutan adat dari ancaman eksploitasi industri sawit dan pembalak kayu. Kegigihan mereka berbuah terbitnya surat keputusan penetapan hutan desa/kampung dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup pada 2016. Sewindu kemudian atau pada tahun lalu, masyarakat Knasaimos memperoleh pengakuan wilayah adat dari Bupati Sorong Selatan.

“Seiring dengan perjuangan masyarakat adat Knasaimos ini, kami juga terus mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Kita memerlukan satu payung hukum yang kuat untuk memastikan pemenuhan dan pelindungan hak-hak masyarakat adat–yang dengan cara hidupnya berkontribusi penting menjaga ekosistem. Masyarakat adat dan hutan adat adalah entitas tak terpisahkan, keduanya berperan krusial membentengi Bumi dari ancaman krisis iklim,” kata Rossy You, Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace Indonesia. 

Klaogin River, Seremuk. © Alif R Nouddy Korua / Greenpeace
A scenic view of the Klaogin river, Seremuk district, Knasaimos land, South Sorong Regency, Southwest Papua. The Papuan community is fighting to protect their customary forests against the logging industry for the future generations. The forest was inherited from their ancestors and the only source of their livelihood.
© Alif R Nouddy Korua / Greenpeace

Berkas permohonan penetapan hutan adat telah diserahkan secara resmi kepada Kementerian Kehutanan dan saat ini menunggu proses verifikasi dan tindak lanjut dari pemerintah. Tim Panitia MHA bersama organisasi pendamping akan terus mengawal tahapan hingga terbitnya surat keputusan pengelolaan hutan adat sebagai bentuk pelindungan hukum bagi masyarakat adat. Perjuangan masyarakat adat bukanlah sesuatu yang berhenti pada hari ini, melainkan proses berkelanjutan yang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak.

Catatan Editor:

Foto dan video dapat diunduh di tautan berikut: https://media.greenpeace.org/collection/27MZIFJR9JG18 

Kontak Media:

Syafril, Bentara Papua, +62 821-9839-2546

Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105