Jakarta, 2 Juni 2025 — Seratus hari Pramono Anung dan Rano Karno memimpin Jakarta, namun program awal mereka dalam Instruksi Gubernur Nomor e-0001 Tahun 2025 belum menyelesaikan masalah mendasar warga. Pelayanan publik masih lambat, pengaduan masyarakat jarang ditanggapi, dan berbagai persoalan lama terus terbengkalai.
Masa 100 hari ini seharusnya menjadi wajah awal tonggak perubahan, tetapi janji ‘Jakarta Menyala’ justru terancam padam oleh pola reaktif tanpa arah jelas. Kebijakan Pram-Doel justru mengulang pola lama yang mengesampingkan hak dan partisipasi warga, mengabaikan urgensi lingkungan, serta mengadopsi solusi jangka pendek yang jauh dari keberlanjutan.

Solusi palsu yang tak menjawab persoalan
Beragam program Pemprov DKI seperti job fair hingga pembangunan infrastruktur disebut sebagai solusi, namun belum menyentuh akar persoalan sosial dan lingkungan di Jakarta. Rencana menggelar job fair di 44 kecamatan tiap tiga bulan dinilai tidak menjawab kebutuhan riil, terutama bagi kelompok rentan dan penganggur muda, apalagi perlindungan pada sektor informal. Menggusur PKL tanpa solusi akan semakin mempersulit warga untuk mencari nafkah. Untuk mengentaskan krisis lapangan pekerjaan, Pemprov DKI harus berfokus pada pelatihan berbasis potensi lokal dan pendampingan keterampilan, termasuk melindungi sektor informal yang menopang sekitar 37,95% dari ekonomi masyarakat Jakarta.
“Tanpa pelatihan terarah, job fair hanyalah seremonial belaka. Jakarta harus menyediakan fasilitas kerja yang adil dan berkelanjutan. Program pelatihan dan peluang kerja berbasis Green Jobs wajib dikembangkan agar warga memiliki keterampilan yang sesuai dengan tantangan zaman. Apalagi riset Greenpeace menyebut sektor Green Jobs dapat menghasilkan 19,4 juta lapangan kerja,” tegas Jeanny Sirait, Juru Kampanye Keadilan Iklim Greenpeace Indonesia. Ia juga menambahkan “Untuk menciptakan akses yang berkeadilan, Pemprov DKI harus juga memberi perhatian khusus terhadap pemenuhan hak pekerja informal, termasuk PKL.”
Janji mengganti Giant Sea Wall dengan solusi alami berupa Giant Mangrove Wall juga belum terwujud. Sebaliknya, pembangunan tanggul laut tetap dilanjutkan sebagai solusi permanen yang utama dan menyebabkan penggusuran, seperti di Angke Kapuk. “Mangrove efektif melindungi pesisir dan warga. Pemerintah justru mengabaikannya dan memilih proyek yang merusak ekosistem dan menggusur warga sebagai solusi utama dan permanen,” lanjut Jeanny.
Di sektor sampah, meski Jakarta memiliki ribuan bank sampah, hanya 63% yang aktif. Alih-alih memperkuat pemilahan dari sumber, pemerintah mendorong teknologi RDF seperti di Rorotan yang menuai penolakan warga.
“RDF Rorotan bukan solusi, ini justru memperkuat ketergantungan pada produksi sampah dan membahayakan kesehatan warga. Jika Jakarta ingin menjadi kota berkelanjutan, fokusnya harus pada pengurangan sampah dari hulu, perluasan larangan plastik sekali pakai, dan penguatan partisipasi warga, bukan pada teknologi insinerator,” tegas Ibar Akbar, Juru Kampanye Sampah dan Perkotaan Greenpeace Indonesia.
Jakarta masih menggusur, warga makin tersisih
Dalam lima bulan pertama tahun ini, telah terjadi tujuh kasus penggusuran di Jakarta. Tidak hanya dilakukan oleh korporasi, penggusuran juga melibatkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat, sering kali disertai pengawalan aparat keamanan bahkan TNI AD. Proses penggusuran ini berlangsung tanpa musyawarah, tanpa putusan pengadilan, dan tanpa jaminan tempat tinggal pengganti, mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia.
Situasi ini terus berlangsung karena masih berlakunya Peraturan Gubernur Nomor 207 Tahun 2016, yang memberi kewenangan pengusiran sepihak tanpa proses hukum. Warga menjadi korban kebijakan yang tidak adil dan berpotensi kehilangan tempat tinggal secara permanen.
Warga Kampung Bayam adalah contoh nyata. Meski status mereka telah diakui secara hukum, hingga kini mereka belum dapat menempati Kampung Susun Bayam. Pemerintah mengubah skema hunian menjadi sistem sewa yang berat tanpa melibatkan warga dalam musyawarah. Tidak ada transparansi, tidak ada solusi.
“Selama Pergub 207/2016 masih berlaku, warga Jakarta akan terus hidup dalam ketakutan akan penggusuran,” ujar Guntoro, Urban Poor Consortium. Ia juga menambahkan, “Penataan kampung dan reforma agraria tidak boleh berhenti sebagai janji di atas kertas. Warga butuh perlindungan nyata, bukan pengusiran terus-menerus.”
Di tengah mandat reforma agraria dari Perpres Nomor 62 Tahun 2023 dan berbagai aturan daerah yang telah ada, hingga 100 hari masa jabatan Gubernur Pramono Anung, belum ada langkah konkret yang diambil untuk menyelesaikan persoalan kampung-kampung rakyat. Ketidakpastian ini membuat warga tersisih dari hak dasar mereka untuk tinggal secara layak di kota tempat mereka hidup dan berkontribusi.
“Jakarta harus berubah. Kota ini semestinya melindungi warganya, bukan terus-menerus menggusur mereka,” ujar Guntoro.
Jakarta gagal jamin hak bantuan hukum di tengah buruknya birokrasi
Bantuan hukum adalah hak asasi yang wajib dijamin negara. Namun, sejak UU No. 16 Tahun 2011, Pemprov DKI Jakarta belum menerbitkan Perda Bantuan Hukum. Padahal, daerah lain seperti Banten, Jawa Barat, dan beberapa kota sudah menjalankan Perda tersebut. Koalisi Masyarakat Sipil terus mendesak Pemprov DKI agar serius menerbitkan Perda ini, tapi belum ada tindakan nyata dari Gubernur saat ini maupun sebelumnya.
Buruknya birokrasi Jakarta semakin nyata saat pengaduan warga sering diabaikan. Kasus warga Menteng Pulo 2 yang mendapat surat peringatan tanpa tanggung jawab pemerintah dan Gubernur yang tidak mengetahui persoalan ini memperlihatkan pelayanan publik yang diskriminatif dan tidak akuntabel.
“Birokrasi Jakarta yang buruk dan pilih kasih ini merugikan warga dan bertentangan dengan UU Pelayanan Publik. Pemprov DKI Jakarta harus bertanggung jawab untuk memastikan hak atas bantuan hukum dan pelayanan publik yang adil bagi semua warga Jakarta,” tegas Alif Fauzi Nurwidiastomo, LBH Jakarta.
Jakarta harus segera mereformasi birokrasinya dan menjamin akses bantuan hukum yang adil bagi seluruh warga tanpa diskriminasi.
Perlu arah baru untuk Jakarta
Seratus hari memang belum cukup untuk menyelesaikan semua persoalan, tetapi sudah cukup untuk menunjukkan arah dan keberpihakan. Sayangnya, arah yang ditunjukkan Pram-Doel belum sejalan dengan visi kota yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada warganya.
Pemerintahan Pram-Doel masih terjebak pada solusi instan yang justru memperparah masalah jangka panjang. Jakarta membutuhkan kepemimpinan yang sungguh-sungguh mendengar suara warga, konsisten berpihak pada lingkungan, dan berani mengambil langkah inovatif demi masa depan yang berkelanjutan.
Pemprov DKI Jakarta perlu mendorong partisipasi aktif warga dalam pengambilan keputusan, terutama terkait tujuan pembangunan dan pengelolaan lingkungan. Jakarta harus berani berubah: melindungi warganya, mendengar suara mereka, dan fokus pada keberlanjutan untuk kota yang adil dan layak huni.
Narahubung:
Rahka Susanto (08111098815) – Juru Kampanye Komunikasi Greenpeace Indonesia
Guntoro (085775528945) – Urban Poor Consortium (UPC)
Alif Fauzi Nurwidiastomo ([email protected]) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta