Di Tanah Papua, kultur bertutur telah melekat erat dalam keseharian masyarakat. Anak-anak tumbuh dewasa ditemani cerita leluhur dan dongeng. Kelakar yang mencerminkan kritik sosial diwartakan lewat mop. Tradisi dan budaya diwariskan lewat legenda. Informasi penting disebarkan dari mulut ke mulut, rumah ke rumah, kampung ke kampung.
Tak hanya menjadi cara bertukar pesan, cerita juga dapat menjadi alat perlawanan.

Apa yang terjadi ‘di perbatasan yang liar’ antara ruang hidup masyarakat adat Papua dan ekspansi industri ekstraktif?
Kolaborasi Greenpeace Indonesia dan Makassar International Writers Festival (MIWF) 2025 berupaya menelusuri jawaban atas pertanyaan itu, dengan mengamplifikasi suara anak-anak muda adat dari Tanah Papua. Melalui panggung-panggung yang tersedia, lima relawan Greenpeace, yang juga merupakan anak muda adat Papua, merebut kembali ruang-ruang bercerita untuk membagi kisah dari tanah adat masing-masing.
Mereka ialah Roy Kamesrar, anak muda adat suku Tehit-Knasaimos; Engelbertus Werre, anak muda adat suku Malind; Maria Amote, anak muda adat suku Wambon; serta Soraya Do dan Soleman Nibra, keduanya anak muda adat suku Moi.
Di Fort Rotterdam, kelimanya memantik percikan semangat solidaritas anak muda adat di Indonesia timur.
Ini Kitong Pu Town Hall!
Wahai, Nusantara
Kau bagaikan rumah
Melindungi dari panas nya ancaman serakah
Tapi ibu pertiwi selalu marah
Karena investasi yang tidak ramah
Puisi Soleman menggema ke sudut-sudut Kapel Benteng Fort Rotterdam, membuka sesi diskusi town hall Anak-anak Adat di Perbatasan yang Liar.
Kegiatan town hall selama ini identik dengan perusahaan rintisan yang beroperasi di kota-kota besar. Di MIWF 2025, makna town hall, yang sangat urbanis, direbut kembali oleh anak-anak muda adat Papua. Mereka datang dengan berpakaian adat, siap membagikan cerita tentang pembangunan yang merusak, perampasan tanah adat secara paksa, dan relasi kuat masyarakat adat dengan wilayah kehidupannya yang tidak dipahami oleh masyarakat di luar komunitas adat.

Kerusakan alam atas nama pembangunan dan investasi gencar terjadi di Papua tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat. Kegetiran masyarakat adat terhadap investasi yang memusnahkan ini sering diartikan sebagai penolakan mentah-mentah–sebagai sebuah reaksi alergi terhadap pembangunan.
Dalam kesempatan ini, Roy membantah anggapan masyarakat adat sepenuhnya memusuhi pembangunan. Ia mengakui bahwa pembangunan baik. Namun, para pengambil kebijakan perlu memahami ada kerugian besar yang harus ditanggung masyarakat adat ketika pembangunan mengabaikan relasi antara masyarakat adat dan wilayah kehidupannya.
“Kami masyarakat adat merasa bahwa pembangunan menghancurkan kehidupan yang kami punya. Yang sebenarnya torang ni harus hidup dari hutan, torang harus hidup dari alam yang ada. Tapi tong pu alam tu, kalau orang sudah ambil, perusahaan dan investor sudah bawa, tong su tidak bisa lagi hidup dari situ,” keluhnya.
Keresahan yang sama juga disampaikan oleh Maria Amote. Komunitas Maria, yakni masyarakat adat Wambon, tengah menghadapi perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri yang hendak merampas hutan adatnya melalui penggusuran paksa.
Penggusuran lahan dan hutan adat dilakukan tanpa musyawarah dan izin sesuai hukum adat setempat. Masalah ini sangat mengkhawatirkan Maria. Ia percaya bahwa ketika hutan adat habis, masyarakat adat otomatis akan punah dari tempatnya lahir.
Maria menutup ceritanya dengan sebuah lagu. “Lagu ini bercerita tentang keberadaan orang jahat yang mau merampas tanah,” katanya sebelum mulai bernyanyi.

Perampasan tanah adat merupakan salah satu isu terbesar yang dihadapi oleh masyarakat adat Papua. Isu ini bukan sekadar masalah kepemilikan seperti yang mungkin dibayangkan kebanyakan orang di luar Papua. Perampasan hutan adat adalah persoalan hidup dan mati, karena hutan bagi orang Papua adalah sumber kehidupan. Bagi orang Papua, hutan dan tanah bak seorang “mama“, ibu yang memberikan kehidupan bagi setiap manusia.
“Tanah tidak melahirkan tanah, tapi manusia akan terus melahirkan manusia baru. Artinya kalau saat ini tanah sampai habis, nanti keturunan kita mau hidup di mana?” ucap Soraya Do. Matanya menatap satu per satu hadirin yang duduk di lingkaran cerita hari itu.
Bagi masyarakat adat, manusia, alam, tanah, semua makhluk yang berada di atas tanah, dan para leluhur adalah satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan. Soraya menceritakan bagaimana cara masyarakat adat menggunakan tradisi dan hukum adat untuk melindungi hutan. Melalui sasi, misalnya, ia menjelaskan prinsip timbal balik yang dipegang teguh untuk masyarakat adat untuk mengambil secukupnya dari alam dan mengembalikan apa yang bisa dikembalikan pada alam.
Topilus Bastian Tebai, salah satu emerging writer MIWF 2025 yang bergabung dalam lingkaran cerita, ikut menyoroti tentang relasi masyarakat adat dan tanah adatnya. Bastian beranggapan bahwa relasi erat ini barangkali sulit diterima oleh perspektif modern, yang kerap menganggap kedekatan manusia dengan alam sebagai cerminan sesuatu yang terbelakang. Padahal, relasi ini telah membangun struktur kehidupan dan kearifan lokal yang lebih mutakhir jauh sebelum negara ini terbentuk.
Perlakuan pemerintah pada orang Papua saat ini seakan-akan mengamini dugaan Bastian bahwa Papua hanya dilihat sebagai lumbung sumber daya alam semata, sementara manusia yang tinggal di sana tidak diperhitungkan. Papua hanya dianggap sebagai pulau yang bisa dikeruk tanahnya dan belantara yang boleh dibabat hutannya, sementara manusianya dibiarkan tertindas.
Menanggapi berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat saat ini, Bastian mengutarakan sebuah pertanyaan, yang patut menjadi renungan bagi kita semua.
Kenapa wajah pembangunan harus diwakili oleh perampasan kehidupan masyarakat adat?
Mati Tertawa, Tak Gentar Bersuara

Cerita tak hanya disampaikan oleh anak muda adat melalui dialog terbuka seperti town hall Anak-anak Adat di Perbatasan yang Liar. MIWF 2025 juga memberikan panggung bagi anak muda adat Papua untuk berbagi cerita melalui berbagai format, mulai dari pemutaran film hingga membaca buku cerita anak. Di hari berikutnya, Engel dan Soleman juga berkesempatan membawakan mop, cerita-cerita humor ala Papua, dalam segmen Mati Tertawa di Perbatasan yang Liar.
Jika selama ini kita lebih familiar dengan stand up comedy, mop merupakan budaya yang mendahului eksistensi stand up comedy di Indonesia. Sama seperti stand up comedy, mop adalah sebuah tutur komedi yang disampaikan dengan logat Papua dan menceritakan anekdot dari keseharian orang Papua.
“Tidak ada yang tahu sebenarnya mop ini awalnya dari mana,” tutur Rossy You, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia. “Sebagian masyarakat Papua meyakini kalau mop ini dibawa oleh orang Belanda. Kata mop sendiri sih, katanya, diambil dari April Mop.”
Cerita-cerita yang disampaikan dalam mop tidak hanya bermuatan komedi, tetapi juga seringkali berisi kritik ataupun satir tentang berbagai masalah sosial yang dihadapi orang Papua. Mop bisa dibawakan di mana saja, mulai dari warung kopi sampai acara-acara formal.
Di panggung MIWF 2025, tak hanya anak muda adat Papua saja yang merayakan mop, berbagai kalangan dengan latar belakang beragam juga akhirnya ikut mengenal budaya humor ala Papua ini.

Kemunculan mop di MIWF 2025 menjadi pintu gerbang untuk mengenal lebih banyak budaya dan cerita-cerita dari Papua. Sebuah bukti bahwa budaya Papua juga harus dijaga dan didokumentasikan agar tidak punah. Pelindungan masyarakat adat tidak hanya melindungi manusia dan alam, tetap juga meliputi pelestarian tradisi, adat, dan budaya Papua. Ini adalah momentum yang tepat untuk mengarahkan pandangan kita ke Tanah Papua agar tak lagi terjadi perampasan hak hidup dan penjajahan di tanah air kita sendiri.
“Barangkali jika kita tidak ingin melakukan penjajahan yang sama, kita harus belajar mendengar. Jika kita tidak paham apa yang terjadi, maka yang kita lakukan pertama kali adalah bertanya. Apa yang kita temukan itu bisa kita tuangkan dalam bentuk solidaritas,” tandas Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dalam Diskusi All Eyes on Papua yang berlangsung di pengujung hari ke-3 MIWF 2025.

Sahkan RUU Masyarakat Adat
Salah satu pesan yang diusung oleh Greenpeace Indonesia dalam gelaran MIWF 2025 adalah seruan untuk mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat–yang sudah diusulkan sejak 2009. Namun, bahkan setelah tiga kali masuk ke program legislasi nasional (prolegnas) di tahun 2018, 2020, dan 2021, RUU Masyarakat Adat tak kunjung disahkan hingga hari ini. Keengganan pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat menjadi salah satu faktor yang mempertebal kerentanan masyarakat adat di seluruh Indonesia.
Menutup perjalanan Greenpeace Indonesia di MIWF 2025, Greenpeace Indonesia bersama dengan teman-teman Papua di Makassar dan pengunjung MIWF lainnya, mengadakan long march mengelilingi Benteng Fort Rotterdam. Dengan membawa spanduk bertuliskan “Sahkan RUU Masyarakat Adat” dan “Papua Bukan Tanah Kosong”, suara anak-anak muda adat Papua menggelegar sekali lagi di Makassar untuk memperjuangkan kehidupan mereka di perbatasan yang liar.
