Jakarta, 24 September 2025. Sidang Umum PBB (UNGA) tahun ini kembali menjadi panggung global untuk membahas krisis iklim dan transisi energi. Banyak negara menegaskan komitmen menuju Net Zero Emission (NZE) sebelum 2050, sementara Indonesia masih menimbang langkahnya. Dalam perhelatan ini, Presiden Prabowo menegaskan kembali komitmen transisi energi Indonesia menuju energi terbarukan untuk sejalan dengan target Perjanjian Paris.
Di forum internasional, pemerintah menampilkan wajah ambisius: Second Nationally Determined Contribution (SNDC), KEN, RUKN, hingga RUPTL terbaru disebut-sebut sebagai landasan menuju NZE 2060 atau lebih cepat. Namun, di balik panggung diplomasi, ada inkonsistensi dalam kebijakan energi nasional yang berisiko membuat Indonesia tertinggal dari arus transisi energi global.
Misalnya, masih terdapat pemanfaatan energi fosil yang cukup besar, dimana RUPTL 2025–2034 tetap memuat proyek PLTU dan pembangkit gas fosil baru. Padahal, KEN dan ENDC menuntut porsi energi terbarukan lebih besar. Jika proyek-proyek ini jalan terus, Indonesia akan terjebak dalam lock-in emisi selama puluhan tahun. Target vs kapasitas sistem kita bisa lihat bahwa KEN & RUKN menargetkan ET di atas 22% pada 2030, tetapi RUPTL hanya menambahkan sekitar 20–22 GW energi terbarukan. Angka ini jauh dibawah kebutuhan jalur 1,5°C yang menuntut percepatan lebih agresif. Jika Indonesia bertujuan mencapai target 1.5 derajat, maka bauran energi terbarukan harus mencapai 55% dari bauran energi, bahkan 82% secara ideal, di tahun 2030.

Pembiayaan dan insentif belum siap sangat dibutuhkan dalam upaya transisi energi dan ini adalah investasi yang tidak sedikit di jaringan, penyimpanan, dan teknologi fleksibel. Namun, hingga kini, mekanisme pembiayaan seperti skema PPA, insentif fiskal, atau de-risking project belum jelas. Serta Ketergantungan pada conditional SNDC yang menunjukan jalur ambisius Indonesia sangat bergantung pada dukungan internasional. Sementara itu, jalur unconditional yang dijalankan domestik masih belum kompatibel dengan jalur 1,5°C.
Selain itu, rencana Pemerintah untuk menggunakan gas fosil sebagai bahan bakar transisi, terutama pada sektor kelistrikan, sangat bertentangan dengan komitmen transisi energi yang telah berulang kali disampaikan oleh Presiden Prabowo pada komunitas global. Jika Indonesia serius untuk beralih dari fossil fuel-based development menuju renewable-based development seperti yang disampaikan pada UNGA, maka pembangunan pembangkit gas fosil baru dalam RUPTL harus dibatalkan. Selain itu, bauran gas fosil, sebagai satu-satunya bahan bakar fosil yang baurannya meningkat hingga 2050 pada KEN, harus diturunkan untuk mencapai target NZE Indonesia.
Agar transisi energi tidak berhenti sebagai jargon, ada empat langkah korektif yang mendesak:
- Sinkronisasi dokumen: Harmonisasi antara RUPTL, RUKN, dan KEN; hentikan proyek PLTU dan pembangkit gas baru yang bertentangan dengan target NZE.
- Dorongan insentif RE: Percepat regulasi pembiayaan dan instrumen pasar untuk RE dan storage.
- Transparansi data: Publikasikan hasil pemodelan energi agar publik dan masyarakat sipil bisa menguji konsistensi kebijakan.
- Integrasi SNDC: Jadikan target jangka menengah (2030/2035) mengikat dalam KEN & RUKN.
UNGA memberi sorotan global: apakah Indonesia benar-benar siap menjadi bagian dari solusi iklim, atau hanya sekadar mendaur ulang janji? Dokumen kebijakan energi kita masih penuh inkonsistensi yang melemahkan kredibilitas dan komitmen Indonesia di mata dunia.
Jika pemerintah ingin peran Indonesia di UNGA dilihat serius, maka langkah korektif harus segera diambil: berhenti membangun pembangkit fosil baru, mempercepat energi terbarukan, dan mengunci target ambisius ke dalam kebijakan domestik. Tanpa itu, transisi energi Indonesia akan dipandang dunia bukan sebagai solusi melainkan ilusi.
Laporan Greenpeace dan CELIOS: Dampak Ekonomi, Kesehatan, dan Lingkungan Ekspansi Pembangkit Gas Fosil
Kontak media:
Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, +62 811-8188-182
Rahma Shofiana, Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 811-1461-674