Belém/Jakarta, 8 November 2025. Perhelatan Pertemuan Para Pihak dalam Konferensi Iklim PBB atau COP30 di Belém, Brasil, yang dimulai 10 November mendatang, sepertinya akan kembali menjadi panggung omon-omon dan kontradiksi pemerintah Indonesia di hadapan dunia internasional. Di tengah ancaman cuaca ekstrem dan banjir yang terus melanda berbagai wilayah Indonesia, komitmen iklim yang dibawa pemerintah masih lemah dan sarat solusi palsu. Alih-alih memaparkan rencana aksi nyata, para utusan Presiden Prabowo Subianto justru lebih sibuk memoles citra Indonesia di hajatan iklim dunia ini.
Hal ini sudah terlihat setidaknya dari pidato pertama Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo dalam Leaders Summit, salah satu pertemuan pendahuluan menuju COP30, yang digelar pada 6-7 November lalu.
“Pidato yang disampaikan Utusan Khusus Presiden Hashim Djojohadikusumo di COP30 penuh kontradiksi jika disandingkan dengan dokumen komitmen iklim Indonesia yang teranyar (Second NDC) dan situasi yang terjadi di Indonesia. Kenyataannya, pemerintah justru memperburuk krisis iklim dengan pelbagai kebijakan yang malah merusak lingkungan, seperti keengganan untuk transisi ke energi terbarukan, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan monokultur hingga rencana mengadopsi nuklir sebagai bagian dari transisi energi.” kata Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia dari Jakarta.
Hashim Djojohadikusumo membuka taklimatnya dengan menyampaikan bahwa Indonesia tetap berkomitmen memperkuat komitmen iklim nasional dan siap bekerja sama dengan semua negara untuk menjalankan aksi-aksi iklim yang nyata, inklusif, dan ambisius. Ia mengakhiri pidato dengan menyebut Indonesia siap untuk memimpin, bekerja sama, berkontribusi, dan mendukung semua program aksi iklim agar bisa terbangun dunia yang berketahanan iklim bagi semua orang. Adik kandung Presiden Prabowo ini juga berujar, periode negosiasi iklim yang panjang sudah lewat, kini saatnya aksi nyata.
Namun dalam pidato tersebut pula, Hashim membeberkan sejumlah rencana pemerintah Indonesia yang justru merupakan solusi ‘tidak nyata’ alias palsu dan tak inklusif. Kebijakan untuk mengurangi, bukan menghentikan penggunaan batu bara, jelas tak sejalan dengan target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat seperti yang diinginkan Presiden Prabowo.
Sejumlah regulasi turunan lain di Indonesia juga masih memberi ruang pada energi fosil. Misalnya pemanfaatan co-firing dan penambahan pembangkit gas lebih dari 10 GW yang tercantum dalam RUPTL 2025-2034, hingga meningkatnya kapasitas PLTU industri hingga 15 GW di RUKN yang menjadi celah penambahan emisi yang lebih tinggi.
Sementara Hashim juga menyinggung soal target bauran energi terbarukan hingga 23 persen di tahun 2030, pengembangan energi terbarukan dalam bauran energi nasional stagnan di 14,65 persen. Keduanya jauh dari omon-omon Presiden Prabowo soal target 100 persen energi terbarukan di 2035.
Penyusunan dokumen Second NDC pun berjalan sangat tertutup dan tanpa pelibatan bermakna dari publik. Pemerintah merombak target iklim demi memenuhi ambisi pertumbuhan ekonomi 8 persen, yang nyatanya masih bertumpu ke sektor ekstraktif.
Selain itu, Hashim juga menyinggung bahwa pemerintah Indonesia akan terus mengembangkan dan meningkatkan mandat biodiesel serta bioetanol. Pernyataan tersebut kian membuktikan pengabaian pemerintah terhadap suara masyarakat sipil yang selama ini telah membeberkan dampak buruk ambisi pengembangan bioenergi di Indonesia terhadap lingkungan maupun Masyarakat Adat, seperti yang terjadi di Papua.
“Saat Hashim sedang bicara tentang biodiesel dan bioetanol di COP30, Masyarakat Adat Papua tengah mengalami perampasan tanah dan hutan adat yang disasar proyek energi dan pangan pemerintah. Bapak Vincen Kwipalo, Masyarakat Adat Yei-Nan dari Merauke, misalnya, sampai harus jauh-jauh ke Jakarta melaporkan dugaan tindak pidana lingkungan hidup oleh perusahaan kebun tebu PT Murni Nusantara Mandiri,” ucap Khalisah Khalid, Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia. Analisis Greenpeace menemukan, per September 2025, pembukaan lahan di area konsesi PT MNM mencapai 5.000 hektare. Hasil pemantauan satelit pun menunjukkan aktivitas pembukaan lahan masih terus berlangsung pada Oktober.
Poin lain yang disampaikan Hashim ialah dukungan Indonesia terhadap inisiatif Fasilitas Hutan Tropis Selamanya atau Tropical Forest Forever Facility (TFFF) yang diluncurkan pada 6 November. Mengulang janji Prabowo saat bertemu Presiden Brasil Lula da Silva akhir Oktober lalu, Hashim berujar Indonesia akan berkontribusi sebesar US$1 miliar untuk inisiatif tersebut.
Rayhan Dudayev, Ketua Tim Politik untuk Kampanye Solusi Hutan Global Greenpeace yang hadir di Belém, mengatakan, “Hashim dan Presiden Prabowo harus ingat bahwa TFFF mengharuskan alokasi pendanaan 20 persen langsung untuk Masyarakat Adat. Ini jelas mensyaratkan bahwa harus ada pengakuan penuh dan efektif terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, salah satunya dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Jika pemerintah terus membiarkan atau bahkan menjadi pelaku yang merampas hak-hak Masyarakat Adat, sebesar apa pun kontribusi Indonesia di TFFF akan jadi performatif saja.”
Greenpeace mencatat ada sejumlah hal signifikan yang perlu diperbaiki dari skema TFFF, khususnya dari aspek pelindungan lingkungan dan aspek keadilan distribusi pendanaan. Pada aspek pelindungan lingkungan, ambang batas tutupan hutan masih cukup rendah yakni sebesar 20-30 persen dari tutupan kanopi. Secara sains, angka ini mestinya minimal 50 persen.
Catatan lainnya ialah tentang pemantauan degradasi hutan dengan indikator minimum; belum adanya ketentuan jelas untuk mencegah industri berisiko lingkungan terlibat dalam investasi pendanaan hutan tropis ini, selain itu perlu dibentuk sistem dan mekanisme akuntabilitas yang kuat serta model distribusi pendanaan yang tidak hanya masih mengutamakan pembayaran kembali kepada investor.
Bila poin-poin krusial ini tak dibenahi, tujuan dibentuknya TFFF tak akan tercapai. Perlu diingat pula bahwa TFFF merupakan inisiatif sukarela yang bukan berasal dari negosiasi COP. “Jika pemimpin dunia tidak berkomitmen untuk menghentikan deforestasi sampai 2030 sebagaimana direncanakan dua tahun lalu dalam COP28, COP30 ini bisa dikatakan gagal,” tambah Rayhan.
Dengan laju kenaikan suhu Bumi yang disebut telah melewati batas 1,5 derajat celsius secara temporer, negara-negara harus menghentikan deforestasi selambat-lambatnya pada 2030. Namun di Indonesia belum ada gelagat dari pemerintah untuk menuju nol deforestasi. Dalam satu dekade terakhir, luas deforestasi hampir 3,5 juta hektare atau setara enam kali luas Pulau Bali. Laju deforestasi tahunan juga kian meningkat sejak 2022 dan angkanya mencapai 216.200 hektare pada 2024.
“Pak Hashim bilang rata-rata deforestasi menurun hingga 75 persen dibanding 2019, tapi naik-turun itu hanya bacaan statistik, apalagi jika dibandingkan angka tertinggi. Faktanya deforestasi masih terjadi, Masyarakat Adat kehilangan hutan tempat mereka hidup, dan kita kehilangan keanekaragaman hayati yang menjadi benteng iklim,” ujar Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia dari Belém.
“Jutaan masyarakat Indonesia telah mengalami langsung dampak dari krisis iklim, dan akan bertambah banyak lagi di masa depan. Mereka butuh aksi nyata pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis iklim, bukan hanya janji kosong seperti yang disampaikan Pak Hashim dalam pidato pertamanya di COP30,” tutup Syahrul.
Kontak Media:
Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, +62 811-9696-217
Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia, +62 811-6611-340
Budiarti Putri, Juru Kampanye Komunikasi Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105


