
Jakarta, 14 November 2025 – Kasus sekelompok nelayan Indonesia yang menggugat menggugat perusahaan makanan laut asal Amerika Serikat (AS), Bumble Bee Foods, atas tuduhan kerja paksa akan berlanjut. Putusan ini dirilis oleh pengadilan distrik federal California Selatan pada Rabu, 12 November, waktu setempat. Keempat nelayan tersebut menyatakan dugaan kondisi kerja paksa yang mereka alami selama bertahun-tahun saat menangkap ikan yang dijual oleh merek tuna AS tersebut.
“Saya sangat terharu. Saya senang sekali. Putusan pengadilan memberikan harapan bagi saya dan teman-teman penggugat yang sedang berjuang untuk keadilan dan demi perubahan yang lebih baik. Perjuangan dan pengorbanan kami tidak sia-sia demi keadilan untuk semua nelayan. Saya tetap teguh, kuat, dan antusias menjalani tahap berikutnya,” kata Syafi’i, salah satu penggugat.
“Greenpeace Indonesia turut merayakan ini bersama para penggugat yang telah berani menggugat perusahaan raksasa AS. Ini adalah sebuah kemenangan, selangkah lebih maju menuju keadilan. Dan kita perlu terus mengupayakan perubahan. Ada masalah sistemik dalam industri perikanan global yang harus dibenahi. Perusahaan-perusahaan makanan laut raksasa tidak boleh terus-menerus mengutamakan keuntungan, sementara menutup mata terhadap eksploitasi laut dan ketidakadilan yang terjadi di sepanjang rantai pasok mereka. Mereka harus bertindak sekarang untuk menyelesaikan akar masalah dari perbudakan modern di laut,” kata Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Fildza Nabila Avianti.
Kelompok nelayan ini mengajukan gugatan terhadap Bumble Bee berdasarkan Undang-Undang Otorisasi Ulang Perlindungan Korban Perdagangan Manusia (TVPRA). Kasus ini diyakini sebagai kasus pertama yang melibatkan industri makanan laut di AS. Jaringan global Greenpeace telah bekerja selama lebih dari satu dekade untuk menuntut pertanggungjawaban perusahaan-perusahaan makanan laut besar. Putusan hakim mengutip laporan dari Greenpeace Asia Tenggara dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) sebagai bukti bahwa perusahaan tersebut mengetahui atau seharusnya mengetahui tentang kerja paksa di kapal-kapal pemasoknya. [1]
Pengadilan memutuskan bahwa para nelayan telah mengajukan cukup tuduhan kerja paksa sebagaimana didefinisikan dalam Undang-Undang Perlindungan Korban Perdagangan Manusia, dengan menyoroti bahwa Bumble Bee tidak membantah bahwa para nelayan tersebut menjadi korban kerja paksa. Pengadilan juga menemukan bahwa Bumble Bee “kemungkinan telah ‘menyadari prevalensi’ kerja paksa di kapal-kapal tuna yang menyuplainya dan ‘gagal mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mencegah terjadinya hal tersebut.'” Disebutkan pula bahwa Bumble Bee “berperan aktif dalam memperoleh tuna albacore dari kapal-kapal tempat para Penggugat menjadi korban kerja paksa” dan bahwa mereka menjual kembali tuna tersebut untuk mendapatkan keuntungan.
“Perjalanan untuk keadilan bagi seluruh nelayan migran Indonesia masih panjang. Tetapi dengan putusan ini, Bumble Bee dan semua perusahaan makanan laut harus tahu: pembiaran atas eksploitasi di laut dapat menyeret Anda ke meja hijau. Selama bertahun-tahun kami mencatat adanya dugaan kekerasan fisik, jam kerja yang berlebihan, penahanan gaji, dan lain-lain terjadi dan sayangnya dianggap lazim di industri perikanan. Sudah saatnya praktik ini dihentikan dan keadilan ditegakkan,” kata Hariyanto Suwarno, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Kebebasan berserikat merupakan salah satu hak utama yang memungkinkan para nelayan migran menyuarakan pendapat dan melindungi haknya di berbagai tahap rantai pasok. Mekanisme pengaduan yang mudah diakses, termasuk yang tersedia di laut, yang aman dan responsif sangatlah penting. Mekanisme ini harus memungkinkan pekerja untuk menyampaikan masalah yang muncul, dan perusahaan harus segera merespons, menyediakan solusi, dan langsung mengatasi akar permasalahan.
Kampanye Beyond Seafood dari jaringan global Greenpeace mendesak semua pemangku kepentingan dan pemerintah di sepanjang rantai pasok makanan laut untuk mengambil peran guna mengakhiri isolasi di laut. Hal ini mencakup:
- Wi-Fi gratis, mudah diakses, dan aman di semua kapal penangkap ikan agar nelayan dapat terhubung dengan keluarga, serikat pekerja, dan pemerintah mereka.
- Pembatasan waktu di laut menjadi tiga bulan untuk mengurangi risiko pelanggaran hak asasi manusia, kerja paksa, dan perdagangan manusia.
- Cakupan 100% pengawasan oleh manusia atau secara elektronik untuk memastikan data penting tentang hasil tangkapan, tangkapan sampingan, interaksi dengan spesies yang dilindungi, dan praktik penangkapan ikan secara keseluruhan dilaporkan oleh pihak yang independen dan tidak memihak.
SELESAI
Catatan:
[1] Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fishers
Materi visual dapat diunduh di sini
Narahubung:
- Gilang Ramadhan, Petugas Media dan Komunikasi Greenpeace Indonesia, +62 878-2210-6484, [email protected]
- Kirana, Koordinator Media Kampanye SBMI, +62 823-8403-4349, [email protected]


