Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2022 yang bertujuan untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan. Namun, pasal 3 ayat 4 dalam regulasi ini justru memberikan pengecualian bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive yang digunakan untuk industri, termasuk industri nikel di Sulawesi. Pengecualian ini tentunya bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris (COP 21) dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement.
Industri nikel di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara telah bergantung pada PLTU captive berbahan bakar batu bara, yang berkontribusi signifikan terhadap pencemaran lingkungan. Data dari Global Energy Monitor menunjukkan bahwa lebih dari 22,6 GW kapasitas PLTU captive telah dibangun, sebagian besar untuk mendukung operasi smelter nikel di kawasan ini. Bahkan pemerintah Indonesia berencana untuk menambah kapasitas PLTU captive sebesar 20 GW dalam tujuh tahun kedepan.

Laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat bahwa di Morosi, Sulawesi Tenggara, pembakaran batu bara di PLTU captive telah mencemari lahan masyarakat seluas 151 hektare yang sebelumnya digunakan sebagai tambak ikan. Abu tersebut bercampur dengan udara dan mengendap di lahan serta sumber air yang menyebabkan penurunan kualitas air tanah hingga tidak lagi produktif. Hal ini bisa terjadi karena sisa pembakaran batubara mengandung zat berbahaya seperti Sulfur Oksida (SO₂), yang dapat mencemari air dan berpotensi menyebabkan keracunan pada tumbuhan serta biota air. Masyarakat juga mengalami kesulitan dalam mengakses air bersih dan udara yang sehat. Selain itu, pencemaran logam berat dari limbah PLTU captive PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) telah mencemari Sungai Lee, merusak ekosistem, dan mengancam mata pencaharian nelayan lokal.
Selain masalah lingkungan, sektor industri nikel juga menghadapi berbagai isu sosial, termasuk pelanggaran hak masyarakat adat akibat alih fungsi lahan tanpa konsultasi yang memadai. Hilangnya ruang hidup dan sumber daya alam yang selama ini menopang kehidupan masyarakat menunjukkan bahwa keberlanjutan industri ini masih jauh dari konsep transisi energi yang adil.
Sementara itu, perhitungan terbaru yang dilakukan oleh Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) pada tahun 2025 menunjukkan bahwa pensiun dini PLTU seperti yang terjadi pada Cirebon-1 dengan kapasitas 660 MW akan memberikan manfaat kesehatan yang signifikan. Dalam riset tersebut, disebutkan bahwa penghentian PLTU ini dapat mencegah 6.370 kematian dini serta mengurangi beban ekonomi sebesar USD 4,4 miliar (Rp 67 triliun) antara tahun 2036 dan 2042.
Greenpeace Indonesia bersama Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi meluncurkan ringkasan kebijakan (policy brief) yang menyerukan agar PLTU captive tidak lagi dikecualikan dari kebijakan penghentian pembangunan PLTU baru. Keberadaan 35 unit PLTU captive di Sulawesi dengan total kapasitas 5.665 MW justru akan memperburuk ketergantungan Indonesia terhadap batu bara dan membuat target transisi energi menjadi tidak realistis. Transisi energi di Indonesia harus berfokus pada pengembangan energi terbarukan, bukan mempertahankan ketergantungan terhadap energi fosil khususnya Batubara. Oleh karena itu, Perpres No. 112 Tahun 2022 perlu direvisi agar tidak lagi memberikan pengecualian bagi PLTU captive. Pemerintah juga harus segera memasukkan PLTU captive dalam rencana penghentian penggunaan batu bara (phase-out) guna mendukung transisi energi yang berkeadilan.
Artikel ini ditulis oleh Bondan Andriyanu – Ketua Tim Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia