Di tahun 2018, Indonesia dinobatkan sebagai negara terbesar kedua setelah Cina sebagai penyumbang sampah plastik di laut. Produksi plastik semakin meningkat sejalan dengan permintaan kita terhadapnya. Secara global, dengan sistem pengelolaan sampah plastik saat ini yang hanya mampu mendaur ulang 10% dari sampah plastik dan jika tidak adanya usaha pengurangan, maka di tahun 2050 diprediksi akan ada sekitar 12 miliar ton sampah plastik yang memenuhi Bumi (Geyer, Jambeck, and Law,  2017). Melihat kondisi dan situasi sistem pengelolaan sampah di Indonesia yang tentu masih sangat jauh dibanding negara-negara maju, jelas cara terbaik yang bisa dilakukan untuk merespons masalah ini adalah mengurangi konsumsi plastik sekali pakai.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak pernah lepas dari godaan untuk menggunakan plastik. Mari sama-sama kita perhatikan, setiap barang yang hendak kita beli di berbagai tempat-tempat penjualan, misalnya di pasar swalayan. Adakah satu saja produk segar yang tidak terbungkus dengan plastik? Sepanjang mata menyapu segala sudut, tidak sama sekali saya temukan. Sekalipun ikan dan daging tertata di etalase tidak terbungkus plastik, tetapi saat kita membelinya, kantong plastik menjadi satu-satunya pilihan untuk mengemas. Bayangkan betapa banyaknya kantong plastik yang terbuang begitu saja, setelah kita membeli produk dagangan di sana.

Lebih jauh, produk dengan kemasan plastik tidak terbatas kita temukan di pasar swalayan saja, tetapi juga di pasar-pasar tradisional, warung-warung kecil pinggir jalan, ataupun kafe-kafe sekalipun dine-in (makan langsung di tempat), plastik ditemukan pada sedotan yang kita gunakan untuk minum. Memang sulit jika kita berusaha mengurangi plastik namun masih disuguhi oleh produk berkemasan plastik di pasaran. Mungkinkah kita dapat membeli produk atau kebutuhan pokok tanpa plastik? Pertanyaan yang saya yakini tidak hanya berputar-putar di kepala saya, namun juga bentuk kegelisahan yang dialami oleh kita semua.

Untuk itu, saya merasa perlu membagi cerita pengalaman kunjungan pada salah satu warung yang menjual barang pangan dengan tidak menggunakan plastik sekali pakai dalam proses kemasan dan pelayanannya. Berharap dapat menjadi jawaban atas kegelisahan kita bersama. Di warung yang saya kunjungi, konsumen dihimbau untuk membawa tempat sendiri jika ingin membeli sesuatu. Warung ini telah berdiri sejak November 2018 dan dinamai “SARUGA” oleh pemilik sekaligus pengelola, Bapak Adi Asmawan. “Saya sudah berkali-kali ngobrol kepada calon investor, dan kebanyakan dari mereka tertawa dengan ide ini” tutur Pak Adi, yang kemudian berlanjut “Ide saya ditertawakan yang barangkali dianggap tidak mungkin terjadi, justru masih bertahan hingga saat ini” sambil menunjukan senyumnya. SARUGA terletak di Jalan Taman Bintaro No 1 Sektor 1, Jakarta Selatan.

Warung dengan konsep seperti SARUGA dikenal luas dengan sebutan “Bulk Store” dan masih sangat jarang ditemukan di Indonesia. Di berbagai negara maju, “Bulk Store” telah banyak dan lama berdiri, seperti: Unverpackt Kiel di Jerman (berdiri tahun 2015), Green di Columbia, GOODsONLY di Zutphen – Belanda (berdiri tahun 2015), dan UnPackt di Singapura (berdiri tahun 2018). Optimisme yang dimiliki  Pak Adi untuk membuka SARUGA di Indonesia perlu kita tiru. Khususnya pada era krisis saat ini di mana setiap pelaku bisnis seolah berlomba memproduksi dan mengkonsumsi plastik sekali pakai dalam melancarkan segala proses usaha dagangnya.

Ketika ditanya mengenai awal muncul ide membuat SARUGA, Pak Adi menjelaskan dirinya pernah menjadi korban keburukan sampah, setiap hari dalam kurun bertahun-tahun harus menghirup udara hasil pembakaran sampah yang dilakukan oleh tetangga. Kondisi yang dialaminya tersebut membawa Pak Adi pada pertanyaan “Mengapa ada orang bakar sampah? Mengapa ada sampah? Dari mana ada sampah?”, ucapnya sambil menyimpulkan senyum tipis. Seiring berjalan waktu, melalui berbagai proses belajar dan usaha menjawab pertanyaan-pertanyaan personalnya, Pak Adi lalu menyadari bahwa tidak seharusnya kita menyalahkan orang membuang sampah, “Spektrum permasalahan sampah sudah sangat luas, dari hulu sampai hilir. Dari natural resources, industri, retail, semua berpotensi menghasilkan plastik”, imbuhnya.

Perjalanan panjang Pak Adi dalam memperluas pemahamannya mengenai permasalahan sampah, mengantarnya pada kesimpulan bahwa pengurangan penggunaan dan konsumsi plastik sekali pakai adalah penting.  “Retail merupakan pintu gerbang distribusi plastik sekali pakai di masyarakat”, ucapnya, dan terbangunnya SARUGA (sebagai retail) adalah bentuk realisasi Pak Adi untuk memutus rantai distribusi plastik sekali pakai. Dalam hitungan empat bulan berjalan, Pak Adi berpendapat bahwa masyarakat, khususnya orang-orang yang sudah sadar akan permasalah sampah, sangat membutuhkan warung dengan sistem seperti SARUGA. “Ini warung, jika yang buka cuma saya sendiri, jatuhnya bukan solusi terhadap permasalahan plastik” tuturnya seraya menghimbau pelaku-pelaku bisnis lain untuk juga ikut aktif dalam proses pengurangan plastik sekali pakai.

Keberadaan SARUGA membuktikan bahwa kita semua mampu menjadi bagian dari orang-orang yang berperan untuk melindungi dan melestarikan lingkungan. Jika kamu ingin menjadi pebisnis, tidak menggunakan plastik sekali pakai, bukanlah hal yang mustahil. Jika kamu seorang pembeli, membawa wadah sendiri untuk datang ke warung-warung membeli kebutuhan makan sehari-hari, pasti bisa. Jika kamu tidak mampu mengolah sampah-sampah plastik yang kamu konsumsi, maka tindakan paling mungkin kamu lakukan adalah dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.  Salam #PantangPlastik.

 

REFERENSI

  1. https://theaseanpost.com/article/indonesias-plastic-waste-problem-0
  2. https://waste4change.com/bulk-store-a-less-waste-store-that-is-gaining-popularity worldwide/   
  3. Geyer, Roland, Jenna R. Jambeck, and Kara Lavender Law (2017). Production, use, and fate of all plastics ever made.