“Only people with problems have something to hide.”

Felix Amias

Pernyataan Pastor Felix tersebut menyindir praktik yang dijalankan oleh Menara Grup di Papua ketika diwawancara oleh The Gecko Project. Laporan yang terbit pada November 2018 tersebut mengungkap praktik penggunaan perusahaan bayangan dalam menguasai izin yang diperoleh secara bermasalah. Ketika itu baru delapan bulan setelah Presiden mengundangkan aturan mengenai pengungkapan beneficial ownership korporasi. 

Setelah empat tahun aturan pengungkapan pemilik manfaat korporasi, akhirnya pada 1 Juli 2022, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham) membuka informasi pemilik manfaat korporasi ke publik di laman resmi Dirjen Administrasi Hukum Umum.

Informasi yang tersedia di laman resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) memuat info pemilik manfaat berdasarkan pelaporan oleh korporasi, atau belum melewati proses verifikasi oleh Kemenkumham. Walaupun demikian, pengungkapan ke publik tersebut merupakan langkah penting. Setidaknya publik dapat berpartisipasi mengawasi dan menguji akurasi informasi yang disampaikan, guna pembaharuan dan penguatan informasi yang tersedia. 

Pemilik manfaat korporasi (beneficial ownership–BO) yang dimaksud oleh Perpres No. 13 Tahun 2018 adalah orang perseorangan (naturlijht person) yang menjadi pengendali atau penerima manfaat akhir dari suatu korporasi. Pendefinisian BO oleh perpres ini mengacu pada definisi yang digunakan The Financial Actions Task Force (FATF)

Pengungkapan pemilik manfaat sesungguhnya dari suatu korporasi memiliki dampak yang sangat luas, bukan saja dalam pencegahan dan penindakan tindak pidana pencucian uang dan terorisme, tetapi juga berguna dalam perbaikan tata kelola sumber daya alam, termasuk bagi pengambil kebijakan atau penyelenggara pemerintah pada umumnya. Bagi masyarakat umum, pengungkapan BO ini membantu mengenali perusahaan-perusahaan yang melakukan praktik kotor dalam bisnis mereka. 

Ketimpangan di Indonesia sangat lebar antara rumah tangga kaya dan miskin. Laporan Ketimpangan Yang Semakin Lebar menyebut 1% rumah tangga terkaya di Indonesia menguasai 50,3% dari seluruh kekayaan di Indonesia (World Bank, 2015, h.18). Konsentrasi kekayaan ini, tidak selalu diperoleh secara wajar. Segelintir orang kaya ini kerap mengamankan kekayaan mereka lewat tangan-tangan korporasi dengan struktur kepemilikan yang rumit. Dengan demikian, mereka bisa menguasai berbagai sektor ekonomi tanpa terdeteksi. Seolah dikelola oleh banyak perusahaan, padahal sebenarnya dikendalikan oleh satu orang atau keluarga saja. 

Di beberapa kasus yang pernah terungkap, korporasi digunakan sebagai alat untuk melakukan tindak pidana. Penempatan pemegang saham nominee, kepemilikan berlapis, dan tersembunyi di negara surga pajak, adalah beberapa modus untuk memutus nexus antara kejahatan yang dilakukan korporasi dan profit yang mereka peroleh dengan penerima manfaat akhir dari kejahatan tersebut. Salah satunya kasus Nazarudin. Setidaknya terdapat 38 perusahaan digunakan untuk menyamarkan dan menyembunyikan uang hasil kejahatannya.

Dari berbagai bentuk jenis korporasi yang dikenal di Indonesia–perseroan terbatas, persekutuan komanditer, perkumpulan, yayasan, firma, dan koperasi–perseroan terbatas adalah bentuk korporasi yang paling berisiko tinggi terhadap tindak pidana pencucian uang (TPPU) (Ernst & Young, 2018).

Jika berbasis lapangan usaha, menurut studi EY, sektor kehutanan dan pemotongan kayu sebagai salah satu lapangan usaha dengan risiko TPPU terbesar.  

Praktik penggunaan perusahaan bayangan dan model penyembunyian beneficial ownership tersebut begitu nyata dalam pengelolaan dan penguasaan sumber daya alam. 

Greenpeace beberapa kali mengungkap praktik kotor menggunakan perusahaan topeng tersebut. Beberapa laporan tersebut seperti Rogue Trader, Dying for a Cookie dan License To Clear. Dalam laporan License To Clear misalnya, sejumlah perusahaan sawit di Papua memperoleh pelepasan kawasan hutan tidak sesuai dengan prosedur yang ada dalam regulasi. Beberapa perusahaan hanya bertindak sebagai makelar izin, mereka tidak pernah tercatat memiliki pengalaman dalam menjalankan usaha perkebunan sawit. Izin yang telah diperoleh, dijual ke perusahaan lain yang tampak bersih dan berkelanjutan dalam menjalankan bisnis. 

Bahkan perusahaan yang terlibat praktik bisnis kotor lewat tangan perusahaan lain tersebut, memiliki sertifikasi berkelanjutan. Sehingga mereka tetap bisa menjual produknya dengan harga premium, sementara, di tempat lain melakukan praktik kotor. 

Oleh sebab itu, pengungkapan pemilik manfaat korporasi ini harus diarusutamakan. Penerapannya bukan hanya oleh pemerintah saja, tapi oleh semua pihak termasuk oleh penyelenggara sertifikasi produk, seperti FSC untuk sertifikasi produk hasil hutan kayu dan RSPO untuk produk sawit. 

Lembaga pembiayaan seperti perbankan maupun lembaga pembiayaan lainnya harus menerapkan prinsip mengenali pemilik manfaat korporasi ini dalam penyaluran pembiayaannya. Jangan sampai bank atau lembaga pembiayaan tersangkut berbagai risiko karena tidak mengenali siapa sesungguhnya perusahaan yang mereka dukung. 

Sekali lagi, pengungkapan informasi BO oleh pemerintah saat ini baru tahap awal terciptanya iklim pemerintahan yang baik (good governance). Publik harus tetap mengawal implementasinya. Termasuk mendorong penerapan sanksi bagi korporasi yang tidak patuh atau terbukti memberikan informasi yang salah. 

Dalam menghadapi ancaman krisis iklim, transparansi adalah salah satu unsur utama. Jangan sampai ada aktor yang harusnya bertanggung jawab, terbebas begitu saja. Bahkan, seolah tampak bersih. 

***

Syahrul Fitra adalah Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia