Baku/Jakarta, 20 November 2024 – Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah negara-negara yang berkumpul di COP29 untuk memberikan pendanaan langsung ke masyarakat adat atau komunitas lokal yang melakukan kerja nyata dalam melindungi keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup yang kaya akan karbon. Greenpeace juga mendesak pemerintah Indonesia berhenti mempromosikan dan melanjutkan skema perdagangan karbon, yang memungkinkan para pencemar lingkungan terus membawa Bumi ke arah krisis iklim yang lebih brutal. Sudah saatnya para pencemar membayar dampak dari kerusakan-kerusakan yang mereka timbulkan, atau yang Greenpeace serukan dengan #PollutersPay.
“Cara tercepat dan yang paling bisa diandalkan untuk mengurangi karbon dari atmosfer adalah dengan melindungi dan memulihkan hutan-hutan primer. Masyarakat adat dan komunitas lokal adalah orang-orang yang tepat melakukan ini. Dana untuk mendukung kerja-kerja ini harus berasal dari mereka yang mampu membiayainya, dan langsung disalurkan ke mereka yang membutuhkan,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, langsung dari Azerbaijan.
Saat negosiasi soal panduan untuk jual-beli karbon sedang berlangsung di pekan kedua COP29, Greenpeace mewanti-wanti bahwa perdagangan karbon adalah solusi palsu. Sebab, skema perdagangan karbon ini bisa jadi celah untuk para pencemar melakukan ragam modus operandi, termasuk memakai jasa akuntan keuangan, untuk lari dari tanggung jawab dan akhirnya membahayakan iklim serta keanekaragaman hayati.
Studi terbaru menemukan bahwa dari 2.346 proyek dagang karbon di dunia, ternyata hanya 16 persen yang mencapai pengurangan emisi. Ini juga alasan yang sama bagi Greenpeace untuk khawatir dengan solusi carbon capture & storage (CCS) dan bioenergi yang diusulkan oleh Hashim Djojohadikusumo, adik Presiden Prabowo Subianto. Belakangan Hashim ditunjuk sebagai Utusan Khusus Presiden RI bidang Iklim dan Energi sekaligus menjadi Ketua Delegasi Indonesia di agenda COP29.
“Premis dasar perdagangan karbon ini sendiri sudah sesat. Ini skema curang para pencemar lingkungan yang seharusnya segera menghentikan emisi, bukan mencari solusi palsu seperti perdagangan karbon. Walau perdagangan karbon sudah masuk ke dalam draf pembahasan soal iklim di Baku, perlu dicatat bahwa masih ada ketidakpastian yang cukup serius soal metodologi dan definisi yang digunakan untuk menghitung dan memantau skema ini,” lanjut Iqbal.
Greenpeace Indonesia sudah mengamati sejumlah pengalaman buruk dari percobaan penerapan perdagangan karbon di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. “Misalnya masalah legalitas dan penguasaan lahan di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Selain itu, ada juga klaim berlebihan soal penyimpanan karbon sebuah proyek di Kalimantan Tengah, kekhawatiran greenwashing sejumlah proyek di Riau dan Kalimantan Barat karena keterlibatan perusahaan atas deforestasi di daerah lain, hingga potensi pelanggaran hak-hak masyarakat adat lewat perampasan lahan dan kegagalan saat sosialisasi atau berupaya mendapat persetujuan dari komunitas lokal oleh sebuah proyek di Kepulauan Aru,” kata Kiki Taufik, Kepala Global Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace.
Kredit dari proyek-proyek ini seolah digunakan untuk membenarkan emisi yang terus diproduksi oleh para pencemar, seperti Shell atau perusahaan terbesar minyak dan gas Australia, Woodside Energy.
Dari 53 proyek kredit karbon yang masuk identifikasi awal penelitian Greenpeace, 15 proyek sedang berjalan, sedangkan 26 di antaranya sedang dalam pengembangan atau menunggu dimulai. Sisanya, ada yang proyeknya belum dimulai, ada yang berakhir sebelum dimulai, atau ada yang sangat minim informasi sehingga status proyek tersebut tidak jelas. Sejak tahun lalu, koalisi masyarakat sipil Indonesia sudah mengkritik proyek kredit karbon ini karena rentan merampas tanah dan ruang hidup masyarakat adat, yang sebagian besar justru belum diakui negara.
“Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia sedang ‘demam karbon’ lewat 41 proyek kredit karbon yang sedang berlangsung atau sedang dalam pengembangan. Sedangkan ‘para makelar karbon’ ini mendatangi komunitas lokal atau masyarakat adat yang rentan, mempromosikan proyek yang terlihat menjanjikan tanpa menjelaskan lebih rinci apa kekurangan dan kelebihannya,” lanjut Kiki.
Kiki menjelaskan, masalah umum dalam proyek karbon yang sudah berjalan di Indonesia ialah kegagalan dalam memenuhi hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal, dan keserakahan karena ada motif mencari keuntungan lewat perdagangan karbon ini. Solusi menyelamatkan iklim dan keanekaragaman hayati perlu dimulai dengan tidak mengulangi dua kesalahan ini, yakni dengan menghormati hak-hak masyarakat adat dan lokal, serta memastikan tak ada motif mencari profit.
“Kita perlu mencari cara lain jika memang tujuannya melindungi hak ulayat masyarakat adat, lingkungan hidup dan wilayah keanekaragaman hayati yang kaya karbon, serta pendanaan yang langsung diberikan ke komunitas lokal dan masyarakat adat yang perlu dukungan, tanpa greenwashing dagang karbon tapi kerusakan iklim karena emisi tetap lanjut.”
Kontak Media
Iqbal Damanik, Greenpeace Indonesia, +62 811-4445-026 (di Baku, Azerbaijan)
Kiki Taufik, Kepala Global Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace, +62 811-8706-074
Catatan untuk Editor atas Sejumlah Kasus Perdagangan Karbon yang Kontroversial
Proyek Konservasi dan Pemulihan Lahan Gambut di Katingan, Kalimantan Tengah
Dirancang untuk melindungi karbon yang terkandung di hamparan luas lahan gambut, proyek yang dimulai pada 2016 ini tak berdasarkan prediksi bahwa mayoritas area proyek berakhir mengering dan akhirnya diubah menjadi perkebunan bubur kertas kayu. Pada 2019, pemerintah menekan aturan baru yang membuat sebagian besar wilayah proyek Katingan ini di bawah pelindungan hukum, yang secara drastis menurunkan risiko deforestasi. Walau demikian, jumlah ‘dasar’ emisi karbon yang berhasil dicegah lewat proyek ini disebut telah dilebih-lebihkan. Investigasi Nikken Asia melakukan penghitungan pada 2021 dan menemukan bahwa proyek ini mengeluarkan kredit tiga kali lebih banyak daripada yang diumumkan—manajer proyek membantah soal ini.
Proyek Cendrawasih Aru
Proyek perdagangan karbon yang diajukan Melchor Group Indonesia ini melibatkan nyaris 600.000 hektare lahan di Kepulauan Aru, wilayah dengan keanekaragaman hayati yang jadi inspirasi naturalis Alfred Russel Wallace saat berkontribusi soal teori evolusi. Proyek mendapat kritik tajam karena berjalan tanpa persetujuan dari masyarakat adat dan komunitas lokal yang terdampak. Proyek ini juga disorot karena tak memiliki rencana yang jelas, komunikasi yang buruk dan izin yang bermasalah dengan komunitas lokal di sejumlah pulau kecil di mana proyek itu punya izin konsesi. Koalisi yang terdiri dari masyarakat sipil lokal dan sejumlah organisasi lingkungan hidup, termasuk Greenpeace Indonesia, mengirim surat terbuka ke pemerintah daerah dan pemerintah pusat meminta agar proyek itu dihentikan dan ditinjau ulang izin konsesinya.
Diskusi
Sudah seharusnya bumi ini di jaga, di rawat dan dipelihara. Sebab yang butuh manusia bukan bumi. Saatnya bergerak untuk tumbuh!. Salam