Indonesia adalah salah satu negara penghasil sampah terbanyak di dunia dengan menduduki urutan kedua kontributor sampah terbanyak di dunia setelah China. Berdasarkan temuan data yang dilansir dari laporan The World Bank bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia (Kemenko Maritim), Plastic Waste Discharge, menemukan bahwa Indonesia menghasilkan sampah sekitar 7,8 juta ton sampah plastik di laut setiap tahunnya. Itu hanyalah sampah plastik, belum termasuk sampah jenis lainnya.
Sayangnya, hanya sebagian sampah plastik yang berhasil di daur ulang. Sisanya, sampah akan berakhir di tempat pembuangan akhir, mesin insinerator, menyumbat aliran air hingga mencemari dan mengancam biota laut. Belum cukup di situ, bahkan sampah dari negara lain juga dibuang di Indonesia.
Indonesia sebagai ladang sampah
Sudah menjadi rahasia umum bahwa selain menjadi ladang penuh sumber daya pangan, Indonesia juga menjadi ladang sampah. Walaupun begitu, fakta itu tidak menyurutkan pelaku usaha pengimpor sampah plastik dari negara kaya.
Indonesia sudah lama menjadi salah satu importir sampah terbesar di dunia. Dilansir dari data UN Comtrade, sekitar 138 ribu ton sampah plastik diimpor dari berbagai negara maju pada tahun 2020. Belanda menjadi pengimpor sampah plastik terbesar di Indonesia. Sebanyak 51,5 ribu ton sampah plastik diimpor dari negara tersebut. Tak hanya Belanda, negara seperti Jerman, Slovenia, Amerika Serikat, bahkan Singapura turut menjadi negara pengimpor.
Mereka berdalih sampah yang diimpor dari luar negeri digunakan untuk didaur ulang. Anehnya, alih-alih mendaur ulang sampah di Indonesia yang telah menggunung dan tak tersentuh, justru malah menambah sampah dengan mengimpor dari negara lain. Ditambah, risiko dan dampak besar turut menggentayangi lingkungan dan kesehatan masyarakat akibat regulasi dan kebijakan pemerintah yang kendor.
Waste to Energy bukan jawaban atas permasalahan sampah di Indonesia
Buntut dari permasalahan menumpuknya sampah di Indonesia, pemerintah berpikir untuk mengadopsi Waste to Energy (WTE) sebagai salah satu jalan alternatif mengolah sampah. Waste-to-energy ini adalah cara yang digunakan untuk mengubah sampah menjadi sumber daya energi dalam bentuk panas atau listrik. Sungguh cara berpikir yang sangat instan—karena tidak sanggup mengolah sampah dengan baik, pada akhirnya ya hanya dibakar saja.
Sekilas jalan alternatif ini terdengar menggiurkan bukan? Namun, dibalik itu semua ada berbagai dampak buruk bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan. Jika tidak ada kontrol yang bersifat efektif, berbagai polutan berbahaya akan dihasilkan dan mencemari tanah, air, dan udara. Kemudian, insinerator juga menghasilkan polutan yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Salah satunya adalah dioksin. Dioksin bisa menjadi penyebab kanker bagi masyarakat yang tinggal dekat area tersebut, ataupun dalam cakupan area yang lebih luas. Ini hanya beberapa, masih banyak lagi pertimbangan yang menjadi jawaban bahwa waste-to-energy bukanlah solusi atas permasalahan sampah di Indonesia.
Adanya waste-to-energy juga membawa dampak kepada perilaku masyarakat yang kurang baik dalam jangka panjang. Dengan adanya waste-to-energy, lama kelamaan secara tak sadar mereka akan berpikir bahwa tidak masalah jika mereka menghasilkan banyak sampah. Dikarenakan niscaya akhirnya akan dibakar juga. Selain itu, tungku insinerator juga membutuhkan banyak sampah untuk dibakar. Dengan begitu, pola tersebut akan membentuk lingkaran setan yang memicu bertambah banyaknya produksi sampah.
Jangan berhenti mendaur ulang—tetapi mendaur ulang saja bukanlah solusi
Fakta di atas bisa jadi memang sangat menyakitkan. Namun, masalah sebenarnya bukanlah hanya sedikit orang yang mendaur ulang. Masalahnya adalah masih terlalu banyak plastik sekali pakai yang diproduksi oleh berbagai perusahaan—mulai dari plastik sekali pakai hingga bungkus kemasan. Kuncinya adalah bagaimana sejak awal kita mengurangi konsumsi plastik sekali pakai, daur ulang adalah pilihan akhir saat tidak ada lagi opsi tanpa sampah.
Jadi, haruskah kita berhenti mendaur ulang? Tidak. Sistem daur ulang juga merupakan hal yang penting dari lingkaran hitam sampah plastik ini. Dengan daur ulang, kita juga bisa menghemat, menciptakan, dan menjaga keseimbangan alam semesta. Setidaknya, dalam lingkup terkecil. Meskipun sebenarnya daur ulang juga membutuhkan energi yang cukup banyak, sehingga menghasilkan emisi yang cukup banyak dari rangkaian prosesnya.
Pemerintah harus tegas dalam mengurangi penggunaan plastik sekali pakai
Regulasi yang tegas dari pemerintah tentu bisa membuat para produsen meninggalkan plastik sekali pakai sebagai kemasan. Seperti yang kita ketahui, korporasi mempunyai peran yang cukup strategis dalam kontribusinya mengurangi sampah sekali pakai. Hingga saat ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK No.P.75/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen (Permen LHK 75/2019) pada tahun 2019. Sehingga, para produsen di bidang manufaktur, jasa makanan dan minuman, serta ritel diwajibkan untuk mengurangi sampah yang muncul dari produk dan kemasannya.
Namun, hal ini tak cukup. Sejauh ini baru sekitar 32 produsen yang menyerahkan rencana peta jalan pengurangan sampah ke KLHK. Selain itu, proses ini juga tidak bersifat transparan yang mengakibatkan publik kesulitan menilai seberapa jauh komitmen dan keseriusan para produsen terkait permasalahan ini. Maka dari itu, pemerintah bisa membuat aturan untuk mengurangi sampah dengan mewajibkan penggunaan isi ulang (refill) dan guna kembali (reuse) sebagai peraturan yang bersifat ‘prioritas’. Dengan itu, mau tidak mau produsen harus merespons dengan baik solusi tersebut, jika tidak tentu akan ada sanksi yang berlaku. Dengan begitu, jika hal ini diterapkan, akan menjadi harapan baik bagi kehidupan maupun kesehatan masyarakat dan lingkungan untuk kini dan masa depan.
Sherina Redjo adalah Content Writer di Greenpeace Indonesia