Pernahkah kita membayangkan, ketika satu hari saja perempuan “diam”? Ketika ibu rumah tangga tak mengerjakan perannya, buruh dan PRT mogok bekerja, perempuan adat  tidak menjaga dan mengelola hutan, perempuan petani tidak menanam, perempuan nelayan tidak mengelola hasil tangkap. 

Sehari saja perempuan di seluruh dunia diam atau mogok bekerja, niscaya dunia akan berhenti. Sebab di dalam semua sendi kehidupan ada tangan, hati, dan buah pikiran perempuan. Bahkan peradaban manusia pun lahir dari rahim perempuan. 

Tapi mengapa dunia dan peradaban manusia selalu berhasrat “menyingkirkan”, menomorduakan, atau mengendalikan perempuan? 

Dari abad ke-18 hingga sekarang, melalui sistem patriarki, peradaban manusia telah menciptakan kekerasan demi kekerasan dan ketidakadilan bagi perempuan. Atas nama budaya, norma sosial, tafsir agama, stabilitas politik, ekonomi, pembangunan, dan sederet atas nama lainnya untuk melanggengkan kontrol terhadap tubuh, pikiran dan tindak perempuan. 

Negara mengontrol dan menempatkan perempuan dalam “sangkar” dengan peran-peran domestiknya. Ibuisme diagungkan. Depolitisasi serta dikotomi antara peran domestik dan publik perempuan terjadi dalam kurun waktu yang panjang. 

Ketika perempuan menjadi ibu rumah tangga, perannya tiada dalam hitungan ekonomi. Sebaliknya ketika bekerja di luar rumah, keringat perempuan tak dihargai dengan layak. Sebagian besar perempuan bekerja di sektor informal dan kerap kali mengalami diskriminasi upah. Perempuan dianggap bukan sebagai pencari nafkah utama, padahal begitu banyak perempuan menjadi tulang punggung keluarga. 

Negara  justru menjadi “stempel” yang melanggengkan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. 

International Women's Day 2022 in Jakarta. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace
Greenpeace Indonesia activists hold a protest by bringing a giant octopus monster symbolize Oligarchy during the International Women’s Day 2022 commemoration in Jakarta.
© Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Sistem ekonomi politik yang rakus, destruktif, dan patriarkis mengeksploitasi alam dan manusia secara bersamaan. Mereka menempatkan buruh sebagai sekrup-sekrup mesin pabrik, serta tak henti merusak bumi demi mengakumulasi keuntungan bagi 1 persen kelompok manusia saja. Juga mencemari air, tanah, udara, dan merampas ruang hidup perempuan.  

Lewat revolusi hijau–babak terjadinya industrialisasi pertanian dan pangan–negara dan korporasi memutus ikatan spiritual antara perempuan dan alamnya. Perempuan dianggap tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengelola pertanian, hutan, pesisir dan laut, gambut dan mangrove, sehingga perempuan “dijauhkan” dari alamnya. 

Pengetahuan perempuan atas keberagaman pangan turut disingkirkan. Pada akhirnya perempuan tidak berdaulat terhadap tanah dan airnya. Perempuan kehilangan akses dan kontrol atas alamnya. Untuk bisa survive akibat perampasan ruang hidup di desa, banyak perempuan menjadi buruh, baik di kota atau menjadi buruh migran tanpa jaminan perlindungan yang cukup dari pengurus negara.  

Tak bisa dipungkiri, kehidupan perempuan saat ini lebih baik dibanding era sebelumnya. Namun kita juga menyaksikan tantangan dan kenyataan perempuan tidak bisa lepas belenggu lapis kekerasan yang begitu kuat. Kebijakan ekonomi semakin memiskinkan perempuan. Misalnya, Perppu Cipta Kerja dan UU Minerba yang ditengarai akan semakin memperparah krisis iklim dan berdampak buruk bagi kehidupan perempuan. 

Di ranah politik, perempuan masih dilihat hanya sebagai “angka” saat pemilu. Sementara dalam banyak kebijakan publik lainnya, termasuk dalam narasi pembangunan, partisipasi politik perempuan dihilangkan atau dikecilkan, karena perempuan dianggap tidak memiliki pengetahuan. Pelibatan perempuan tak lebih hanya tokenisme, bahkan saat perempuan sudah masuk dalam sistem politik. 

Jika hari ini perempuan banyak terlibat dalam peran-peran publik, itu bukan karena sistem patriarki  berbaik hati atau mereformasi dirinya. Namun karena perempuan di berbagai belahan dunia memiliki kesadaran politik untuk bersuara, bergerak, berlawan dan bersolidaritas. 

International Women's Day 2022 in Jakarta. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace
Greenpeace Indonesia activists hold a protest by bringing a giant octopus monster symbolize Oligarchy during the International Women’s Day 2022 commemoration in Jakarta.
© Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Dunia dipaksa untuk berpihak kepada perempuan. Bukan tak ada halangan. Ketika perempuan bersuara dan turun ke jalan memperjuangkan hak-haknya, kekerasan dan kriminalisasi kembali dialami oleh perempuan pembela HAM, seperti yang dialami oleh perempuan di pegunungan Kendeng, Wadas, Pulau Pari, Pulau Sangihe, Pulau Kodingareng, Kinipan Kalimantan, lembah Grime Nawa Papua dan di berbagai wilayah lainnya di Indonesia. Namun itu tidak menyurutkan perjuangan perempuan. 

Gerakan perempuan di berbagai penjuru dunia telah menorehkan sejarah politiknya dengan sangat baik. Di Indonesia, telah sejak lama, gerakan perempuan menuntut keadilan dan kesetaraan dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk kesadaran kelas dan kesadaran politik perempuan atas berbagai penghancuran lingkungan hidup dan pemiskinan struktural yang dialami oleh perempuan dan rakyat marjinal lainnya. 

Ekofeminisme dapat menjelaskan bagaimana kekerasan yang dialami oleh perempuan, beriringan dengan masuknya investasi yang menghancurkan alam. Ada relasi antara dominasi terhadap perempuan (dan kelompok manusia lainnya) dengan dominasi terhadap alam. 

Konon tidak ada negara yang baik, yang ada adalah negara dipaksa untuk berbuat baik. Dan itu hanya bisa terjadi jika gerakan perempuan dapat menjawab tantangan yang semakin berat. Pun sebaliknya, gerakan lingkungan hidup harus menyadari bahwa keadilan iklim, keadilan sosial dan ekologis, tidak mungkin bisa diwujudkan tanpa pelibatan perempuan secara bermakna. 

Tidak ada jalan lain, gerakan masyarakat sipil harus terus memperkuat kesadaran politik perempuan. International Women’s Day adalah momentum indah untuk merefleksikan dan memperkuat benang merah tersebut. 

Greenpeace Indonesia sebagai bagian dari elemen gerakan masyarakat sipil ingin turut mengambil peran untuk mewujudkan dunia yang lebih baik dan berkeadilan kelompok yang selama disingkirkan, khususnya perempuan. 

Selamat Hari Perempuan Internasional!

Khalisah Khalid

Public Engagement and Action Manager Greenpeace Indonesia