Tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari Habitat Dunia oleh PBB sekaligus menandai awal Urban October, periode satu bulan yang diisi dengan berbagai acara dan kegiatan berfokus pada isu urbanisasi berkelanjutan serta peran penting kota – rumah bagi lebih dari setengah populasi dunia – dalam melindungi alam dan keanekaragaman hayati.
Sekilas, perpaduan antara kota dan alam mungkin terdengar sedikit janggal. Selama ini, alam dan kota seolah-olah saling bertentangan satu sama lain. Kerap kali masyarakat perkotaan terpaksa meninggalkan kota sejenak agar dapat berhubungan kembali dengan alam, menjauhkan diri dari kekacauan dan kebisingan metropolitan, serta menghabiskan beberapa hari untuk menikmati udara segar dan ketenangan sebelum kembali lagi ke kota. Banyak dari kita pun melihat alam hanya sekedar tujuan wisata, tempat yang terasa jauh dan terisolasi dari rutinitas sehari-hari.
Tapi, alam tidak menghilang saat kehidupan perkotaan datang.
Alam ada di perkotaan. Alam adalah udara kita, sungai kita, makanan kita. Alam hadir lewat udara yang masuk ke jendela rumah diiringi suara riang anak-anak yang sedang bermain di luar. Alam ada dalam nyanyian merdu burung di taman maupun suara orang-orang di dalam bus kota menuju tempat kerja. Alam adalah rintikan hujan yang turun dan naluri yang membuat kita terhubung dengan lingkungan.
Kota merupakan habitat besar di mana beragam bentuk kehidupan saling bergantung satu sama lain, menjadi ekosistem yang terus berkembang dan selaras untuk kehidupan bersama. Namun sayangnya, banyak kota dirancang untuk memprioritaskan bangunan beton dan mobil daripada transportasi yang mengutamakan kebutuhan orang dan perencanaan perkotaan, mengedepankan ruang pribadi daripada ruang publik, dan sistem yang menguntungkan kepentingan segelintir kelompok daripada kesehatan dan kesejahteraan banyak orang.
Namun, dalam setiap sistem yang mencoba mengeksploitasi dan mendominasi alam, kehidupan selalu menemukan cara untuk melawan. Seperti bunga yang mekar di tengah himpitan aspal, dan keluarga di pinggiran yang memperjuangkan hak tinggal mereka Perlawanan ini datang secara organik, seperti sungai yang meluap dari bendungan, dan kerumunan orang yang membanjiri jalan-jalan. Kota tidak dimiliki oleh hanya sebagian orang, tetapi dibangun dan dihidupkan oleh keluarga serta kelompok masyarakat yang menyebutnya rumah. Kota-kota mengumpulkan orang-orang, kelompok masyarakat menghidupkannya.
Itulah mengapa Greenpeace, melalui kampanye Urban Justice atau Keadilan di Perkotaan, memperingati Urban October bersama warga kota seperti Flor Alba García, seorang pemulung sampah yang telah bekerja lebih dari 40 tahun, tak hanya untuk membuat kota Bogota menjadi bersih, tetapi juga untuk memperjuangkan upah layak dan pengakuan atas pekerjaan mereka; atau Cecep Supriyadi, seorang warga dan anggota Forum Masyarakat Rusunawa Marunda, yang berjuang bersama kelompok masyarakat Marunda untuk mempertahankan hak tempat tinggal layak dan udara bersih di Jakarta.
Sepanjang bulan Oktober ini, kami akan berbagi cerita berbagai kelompok masyarakat di seluruh dunia yang berjuang menciptakan kota yang lebih aman, lebih bersih, dan lebih tangguh. Kota-kota di mana semua orang – terutama mereka yang kerap terpinggirkan seperti Flor Alba dan Cecep – tidak hanya didengar tetapi dilibatkan secara aktif, dengan membawa pengalaman hidup sehari-hari mereka dan membentuk kekuatan kolektif untuk mengubah kota menjadi tempat yang adil, hijau, dan tangguh untuk semua orang. Kota yang tidak mengesampingkan alam, tetapi menempatkan kehidupan sebagai pusat utama.
Ikuti gerakannya di https://www.greenpeace.org/indonesia/urban-justice/
Camilo Sanchez adalah International Communication Strategist untuk Urban Justice.