
Bumi kita bukan lagi memanas, tapi mendidih karena krisis iklim. Begitu kurang lebih kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres. Saya tak tahu apakah orang makin khawatir jika mendengar peringatan ini berulang kali, atau malah bosan dan menganggapnya biasa saja. Tapi apa pun itu, kenyataannya, tubuh kita merasakan kalau Bumi memang makin beringsang.
Kita semua sudah mengalami dampak krisis iklim meskipun dengan level keparahan yang berbeda-beda. Sebagian dari kita mungkin terimbas cuaca ekstrem dan banjir; sebagian lagi mungkin mengalami kekeringan, gagal panen, atau kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan; sebagian lagi barangkali tak bisa menyesap kopi kesukaan karena rasanya yang berubah akibat perubahan cuaca tak menentu; tak bisa berwisata sebab destinasi yang dituju jadi arena berbahaya; sebagian lainnya mungkin tinggal di rumah yang sudah terendam air laut.
Saya tak tahu bagaimana situasi ini bakal berubah. Para ahli telah berkali-kali mewanti-wanti bahwa dunia butuh aksi iklim yang serius dan segera. Para pemimpin dunia–presiden dan pembuat kebijakan, juga lembaga finansial besar, harus berbenah dan meninggalkan pola-pola lawas yang eksploitatif terhadap planet kita.
Masalahnya sudah hampir satu dekade sejak Perjanjian Paris 2015, para pemimpin masih berjalan lambat-lambat. Padahal, kita berpacu dengan waktu untuk mencapai nol emisi karbon demi menekan laju kenaikan suhu Bumi.
Kalau para pemimpin ogah-ogahan, kita bisa apa?

Ada satu bagian dari buku berjudul Burnt: Fighting for Climate Justice yang bikin saya terus kepikiran: sebuah subbab, bunyinya “The strike and the ballot box”. Burnt buku nonfiksi karya Chris Saltmarsh, salah satu pendiri Labour for a New Green Deal–gerakan aktivis akar rumput dalam Partai Buruh Inggris yang mengkampanyekan politik sosialis untuk keadilan iklim dan ekonomi.
Dalam “The strike and the ballot box”, Saltmarsh membincang pilihan apa yang kita punya untuk memastikan kekuatan negara dipakai demi mewujudkan keadilan iklim. Opsinya, kata Saltmarsh, ada dua: memenangkan kekuatan negara lewat pemilu yang demokratis atau merebutnya lewat revolusi. Apa pun yang kita pilih, kita harus jor-joran, tak ada kemewahan untuk setengah-setengah.
Sebagian dari kita mungkin lebih menginginkan revolusi, sebab institusi-institusi negara ini sudah rusak dan susah dipercaya lagi. Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi, penyelenggara pemilu, semuanya mengecewakan.
Namun revolusi juga bukan pekerjaan gampang. Menurut Saltmarsh, bila mengambil pilihan ini, kita mungkin harus siap dengan kekerasan karena negara pasti tidak sungkan menggunakannya untuk menggebuk kita. Dengan segala pertimbangan, ia akhirnya berpendapat peluang revolusi rasanya masih jauh dari kita.
Pilihan strategis yang kita punya, kata Saltmarsh, adalah membangun gerakan massa yang demokratis untuk memperjuangkan keadilan iklim melalui pemilu. Ini memerlukan dukungan dari gerakan sosial dan serikat buruh yang militan. Tapi intinya, kita harus berusaha merebut kekuatan negara melalui kotak suara.
Dalam pemilu di sejumlah negara (seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Amerika Latin), persoalan lingkungan dan krisis iklim menjadi salah satu isu elektoral yang dibicarakan.

Luiz Inácio Lula da Silva memenangi Pilpres Brasil pada 2022, mengalahkan Jair Bolsonaro, dengan kampanye utama tentang iklim. Di pidato kemenangannya, Lula mengatakan bahwa Brasil siap melanjutkan peran pentingnya melawan krisis iklim, dan membuktikan bahwa menjadi negara kaya tanpa merusak lingkungan bukanlah hal mustahil. Tentu dalam perjalanannya memimpin Brasil, Lula tak bebas dari kritik.
Ada juga cerita dari Pemilu Inggris 2017. Lewat kampanye Green New Deal, para aktivis berhasil mendorong partai politik, baik partai lama maupun baru, untuk mengubah platform iklim mereka. Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn kala itu berjanji untuk melarang fracking–metode dalam pengeboran minyak dan gas yang berbahaya bagi lingkungan, dan berjanji mengubah kepemilikan energi menjadi kepunyaan publik.
Di Amerika Serikat, kampanye Sunrise Movement turut mendorong Bernie Sanders untuk menyasar industri fosil dan mendesak mereka bertanggung jawab atas krisis iklim yang terjadi; berkomitmen melakukan transisi energi ke energi terbarukan, hingga menagih para pencemar untuk membayar. Begitu pula di Spanyol, Partai Podemos mengubah platform mereka untuk mengadopsi kebijakan iklim, setelah adanya aksi para pensiunan, aktivis perempuan, dan pegiat lingkungan yang berlangsung selama satu tahun.
Corbyn dan Partai Buruh memang akhirnya kalah. Bernie Sanders juga tersisih dalam pencalonannya sebagai kandidat presiden untuk diusung Partai Demokrat AS pada 2020. Namun, fokus bagian ini memang bukan pada mereka, melainkan bagaimana para aktivis mendorong agenda iklim lewat politik dan pemilu–metode yang disebut Saltmarsh lebih memungkinkan saat ini.
Kita sebaiknya memang tak kelewat optimis bahwa memperjuangkan keadilan iklim di Indonesia bisa ditempuh lewat ‘ballot box’, seperti yang dicontohkan Saltmarsh. Kita belum punya partai politik yang progresif di parlemen–atau setidaknya jelas warna ideologinya (misalnya partai yang mengusung perjuangan buruh atau lingkungan).

Lantas, bisakah kalau kita mendesakkan agenda iklim langsung kepada para calon presiden dan calon wakil presiden–atau presiden dan capres terpilih nantinya? Dari tiga pasangan capres-cawapres, siapa yang paling punya komitmen mengatasi krisis iklim? Siapa yang paling punya kemauan politik kuat untuk aksi iklim? Apakah yang punya kemauan aksi iklim pun akan terpilih di ‘pemilu paling pilu‘ ini?
Saya tak perlu menjawabnya di sini. Sudah banyak platform untuk mencari tahu, seperti kanal Bijak Memilih, berita-berita di media massa tepercaya, hingga bedah visi-misi seperti yang dilakukan Greenpeace lewat kampanye #SalahPilihSusahPulih. Dari informasi yang berserak, kita bisa menilai apakah mereka punya komitmen yang tepat, jelas, dan konkret untuk mengatasi krisis iklim dan mewujudkan keadilan iklim.
Semoga di Pemilu 2024 ini, banyak pemilih menjadikan visi-misi lingkungan dan iklim sebagai pertimbangan yang menentukan.
Bagi saya sendiri, menuntut agenda iklim kepada capres-cawapres itu mungkin saja. Saya punya sedikit harapan, meski tak mau kelewat naif. Kebijakan-kebijakan untuk keadilan iklim memang mungkin datang dari kemauan politik para politikus. Namun, kita tak sebaiknya terlalu berharap pada politikus–karena kita akan rentan kecewa atau dikecewakan. Kalaupun mereka punya gagasan dan kemauan melakukan aksi iklim, belum tentu mereka bebas dari sandera jejaring oligarki di sekitarnya yang menghambat aksi-aksi iklim itu.
Pada akhirnya, kita tetap perlu menyatukan kekuatan sebagai masyarakat sipil, menjadi oposisi melawan kekuasaan yang sewenang-wenang terhadap Bumi, manusia, dan makhluk lainnya.
Mau melalui strike atau ballot box, kita tetap mesti mengorganisasi diri. Seperti judul dua bab terakhir dalam Burnt: Fighting for Climate Justice–Don’t let crises go to waste. Don’t mourn, organise!*

Budiarti Utami Putri, Communications Campaigner Greenpeace Indonesia