Kerap kita mendapat saran untuk “coba lihat dunia dari sepatunya” saat kita berusaha bersimpati atas suatu peristiwa yang dialami oleh seseorang. Kali ini, saya ingin mengajak Anda untuk melihat dunia dari SEPATU BOT seorang nelayan migran Indonesia. Punya cerita apa dia?

“Satu waktu, tali yang menahan alat timbang putus dan menjatuhkan muatan ikan ke arah saya, melukai kaki saya dari paha hingga betis. Saya diperintahkan untuk terus bekerja. Saya pikir ada air yang mengisi sepatu bot saya, tetapi saya menyadari itu adalah darah saya sendiri. Saya bisa melihat tulang di kaki saya. Saya harus membersihkan dan membalut kaki saya sendiri, tanpa peralatan medis steril, dan saya terus berdarah selama dua minggu. Rasanya masih sakit dan mungkin akan terus terasa sakit,” kata Akhmad.
Di kapal penangkap ikan, sepatu bot karet yang sesuai sangat penting untuk keselamatan nelayan di laut saat mereka menangkap ikan untuk industri makanan laut global yang bernilai $350 miliar. Namun, ini bukan tentang sepatu bot—ini tentang apa yang terwakili melalui sepatu bot tersebut.

© Tim Aubry / Greenpeace
Menurut dugaan Akhmad dalam gugatan hukumnya, ia mengenakan sepatu bot saat terjadi kecelakaan kerja yang menurutnya masih ia derita hingga saat ini. Berikut beberapa poin penting dari tuduhan Akhmad berdasarkan gugatan yang ia dan tiga nelayan migran Indonesia lainnya ajukan di pengadilan AS pada Maret 2025:
“Setibanya di kapal, Akhmad bekerja 18 jam sehari, 7 hari seminggu. Sebulan sekali, para awak kapal memiliki “hari istirahat”. Pada hari itu, mereka hanya bekerja 10 atau 12 jam. Selama hari istirahat, para awak kapal memperbaiki kail, membersihkan lemari pendingin, dan melakukan perawatan lainnya. Selama berada di kapal, Akhmad hanya libur saat Tahun Baru.” (Gugatan, ℙ99)
“Kapten dan awak kapal senior melakukan kekerasan terhadap para nelayan. Kapten memukul Akhmad dan awak kapal lainnya, termasuk dengan kail logam. Mandor memukul Akhmad dan awak kapal lainnya di bagian kepala, berhenti ketika ia mengeluarkan darah. Akhmad terlalu sering dipukul hingga tak terhitung jumlahnya.” (Gugatan, ℙ100)
“Akhmad takut pergi karena ia tahu bahwa berhenti bekerja akan membahayakan keluarganya. Meskipun demikian, akhirnya, ia dan seorang nelayan lainnya meminta kapten untuk dipulangkan. Kapten menanggapi dengan ancaman, ‘Kalau kamu mau pulang, kamu bisa berenang di laut.’” (Gugatan, ℙ105)
“Akhirnya, Akhmad berhasil memberi kabar kepada istrinya, yang kemudian menghubungi
Serikat Buruh Migran Indonesia, SBMI. Ketika kapal akhirnya berlabuh di Fiji pada Maret 2023, SBMI bekerja sama dengan IOM dan kepolisian setempat untuk membebaskan Akhmad, serta rekan-rekan nelayannya.” (Gugatan, ℙ106)

Akhmad dan penggugat lainnya kini telah memulai perjalanan untuk memperjuangkan keadilan.
Gugatan tersebut, yang didasarkan pada Undang-Undang Perlindungan Korban Perdagangan Manusia (Trafficking Victims Protection Reauthorization Act atau TVPRA), mengungkap sistem yang rusak di balik industri perikanan bernilai miliaran dolar di mana ribuan nelayan seperti Akhmad terjebak dan terisolasi. Gugatan tersebut menuduh bahwa Bumble Bee, perusahaan tuna kaleng asal AS, mengetahui atau seharusnya mengetahui eksploitasi yang mereka alami di atas kapal, namun secara sadar mendapatkan keuntungan dari aktivitas tersebut.

Sepatu bot untuk keadilan dan solidaritas
Kondisi yang dituduhkan Akhmad bukanlah hal yang unik. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 2021 mengidentifikasi setidaknya 128.000 orang dalam situasi kerja paksa di laut lepas. Terinspirasi oleh ratusan kisah nelayan tentang pengalaman mereka, aktivis Greenpeace di Indonesia, Taiwan, dan AS mencetak beberapa kisah ini pada plakat dan menempelkannya di depan sepatu bot karet.
“Dua tahun kerja. Tak dibayar.”
“Saya di laut saat anak saya lahir.”
“Dipaksa tetap bekerja meski cedera.”
Dan sepatu bot menjadi saksi. Saksi atas bukan hanya eksploitasi yang terjadi di laut, tetapi juga ketangguhan para nelayan Indonesia yang mencari keadilan hingga ke negeri Paman Sam.
Foto-foto dalam blog ini merupakan rangkaian foto dalam kampanye “Sepatu Bot untuk Keadilan” tim Beyond Seafood Greenpeace, yang diharapkan dapat menginspirasi semakin banyak orang untuk bersolidaritas dengan para nelayan migran di mana pun.

Pemerintah AS, Indonesia, dan Taiwan, serta perusahaan perikanan dan seafood mewakili mata rantai penting dalam rantai pasok makanan laut global. Indonesia adalah rumah bagi ribuan nelayan migran yang bekerja di kapal penangkap ikan industri dan Taiwan memiliki armada kapal penangkap ikan industri terbanyak kedua di dunia. Ada pun, AS adalah importir makanan laut terbesar di dunia.
Sementara para nelayan penggugat masih memperjuangkan keadilan di pengadilan, sekaranglah saatnya untuk bertindak. Perusahaan tidak perlu menunggu hukum. Ada banyak hal yang dapat mereka lakukan sekarang untuk membantu melindungi laut dan melindungi pekerja dalam rantai pasok mereka.

Para aktor utama di seluruh rantai pasok dalam industri bernilai miliaran dolar ini dapat turut memutar balik keadaan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil bagi para nelayan.
Mereka dapat melakukannya dengan berupaya mengakhiri isolasi di laut dengan mewajibkan penyediaan Wi-Fi gratis, mudah diakses, dan aman di semua kapal sumber ikan mereka; memastikan bahwa para nelayan berada di laut maksimal 3 bulan di antara kunjungan pelabuhan; dan memastikan adanya cakupan pengamat 100% (manusia atau elektronik) di semua kapal sumber ikan.
Dukung para nelayan migran dan tandatangani petisi hari ini.
Vela Andapita dan Elizabeth Monaghan adalah tim global komunikasi dan keterlibatan untuk kampanye Beyond Seafood di Greenpeace Asia Tenggara.