Konsumen memilih produk tuna dalam kaleng berdasarkan merek atau label dan cenderung akan mengaitkan produk tersebut dengan reputasi perusahaan yang memproduksi dan mendistribusikan produk tersebut. Sayangnya, kebanyakan merek memberikan informasi yang sangat sedikit kepada para konsumen tentang jenis dan bagaimana ikan tersebut ditangkap dan berasal.

Skipjack Tuna in Indonesia. © Paul Hilton

Tuna cakalang yang ditangkap dengan cara pole and line, lye on deck, 30 Juni 2011. Produk tuna adalah ekspor produk perikanan Indonesia terbesar kedua, menyumbang 13 persen dari total nilai ekspor. Negara-negara Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa telah menjadi pasar utama untuk tuna segar dan beku dari Indonesia. Air antara Indonesia dan Australia di timur laut Samudra Hindia dikenal sebagai tempat pemijahan penting bagi sirip kuning, mata besar, dan tuna sirip biru selatan. Praktik memancing seperti pole & amp; line berkontribusi pada keberlanjutan jangka panjang dan evolusi stok.

Kebenaran yang menyedihkan adalah bahwa banyak dari perusahaan ini tidak sepenuhnya memiliki kendali dalam rantai suplainya dan tidak dapat menelusuri secara akurat tuna dari kapal penangkap ikan ke pengalengan ke konsumen. Tanpa informasi tersebut, bagaimana mungkin para konsumen mendapatkan dan membuat pilihan tepat untuk mendukung perikanan tuna yang berkelanjutan?

Perjalanan ikan tuna dari laut ke kaleng sejauh ini merupakan suatu proses yang kurang transparan, dan sering penuh dengan praktek penangkapan ikan dan ketenagakerjaan yang tidak bertanggung jawab.

Untungnya upaya perubahan dalam beberapa tahun terakhir sudah dimulai. Sejumlah supermarket dan pemilik merek-merek tuna yang dipasarkan di Kanada[1][2], Inggris[3], Australia[4], dan Amerika Serikat[5] menyadari bahwa ikan tuna keberadaannya sudah tidak banyak lagi di laut dan mereka berusaha menjadi bagian dari solusi untuk memberikan pilihan lebih bijak kepada konsumen.

Sejumlah konsumen semakin bersikeras untuk hanya membeli ikan tuna dari kapal-kapal yang menangkap ikan secara bertanggung jawab dan tidak perlu membunuh mahluk laut lainnya[6] yang tidak menjadi target penangkapan. Sebagai tanggapan terhadap desakan publik, kapal-kapal penangkap ikan telah mengubah standarnya untuk melayani kebutuhan konsumen akhir, yang merupakan para pembeli di supermarket. Sejumlah pemilik merek tuna dalam kaleng telah mendengarkan konsumen mereka dan mulai menjalankan kebijakan-kebijakan penangkapan yang lebih bertanggungjawab.

Sebagai cara untuk menghapuskan penangkapan ikan secara ilegal dari rantai suplainya, beberapa perusahaan juga mengurangi ikan yang berasal dari hasil penangkapan ikan di dasar laut-dalam dan menolak ikan dari proses alih muat di tengah laut. Praktek alih muat di laut memungkinkan “pencucian” hasil dari pencurian ikan, yaitu suatu praktek dimana penangkapan ikan tuna secara ilegal dapat disembunyikan dan dibaurkan dengan ikan tuna yang ditangkap secara legal.

Lantas bagaimana dengan kondisi industri pengalengan tuna di Asia Tenggara? Apakah juga telah menerapkan prinsip kebijakan rantai suplai yang ketat dan bisa ditelusuri secara terbuka dan dapat diakses oleh publik?

Keterlacakan[7] pada rantai suplai tuna seringkali dikompromikan di industri pengalengan. Tanpa adanya catatan yang seksama dan transparan yang disimpan dan penerapan protokol ketelitian yang dipatuhi, pengalengan dapat dengan mudah menggabungkan berbagai kandungan dan spesies tuna secara bersama-sama, sehingga menciptakan produk yang sangat tidak jelas dan menyulitkan para konsumen untuk membuat pilihan yang baik.

Keharusan industri pengalengan untuk meningkatkan dan memainkan peran positif dalam keterlacakan, keberlanjutan dan tanggung jawab sosial pasokan tuna kalengan telah menggerakkan Greenpeace untuk melakukan survei dan meluncurkan “Laporan Peringkat Pengalengan untuk Indonesia dan Filipina Tahun 2015”[8].

Pada tahun 2013, jumlah produksi tuna internasional mencapai 7.318.381 ton. Asia menghasilkan lebih dari setengah jumlah tersebut sebanyak 4.769.508 ton. Tiga puluh sembilan persen (39%) dari produksi Asia datang dari armada Indonesia dan Filipina masing-masing sebanyak 1.298.091 ton dan 556.843 ton.[9]

Indonesia, Filipina dan Thailand adalah produsen dan eksportir terbesar tuna kalengan. Pada tahun 2013, ekspor tuna kalengan dunia mencapai nilai yang mengejutkan yaitu sebesar lebih dari USD 8,1 milyar. Thailand berada di peringkat 1 dengan pangsa pasar sebesar 32,63%, Filipina berada di peringkat 4 dengan pangsa pasar sebesar 6,88%, dan Indonesia memiliki pangsa pasar sebesar 4,62%.[10]

Greenpeace percaya bahwa para konsumen memiliki hak untuk mengetahui di mana dan bagaimana ikan tuna ditangkap dan ingin memainkan peran kunci dalam melestarikan sumber daya ikan tuna untuk dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Peringkat pengalengan ini mengevaluasi dan memberikan informasi tentang kinerja masing-masing pengalengan tuna, yang produk akhirnya dijual di pasar domestik maupun internasional, berdasarkan kriteria kunci seperti keterlacakan, keberlanjutan, dan kesetaraanyang saling terkait satu sama lain.

Terkait dengan keterlacakan, perusahaan harus mampu menelurusi ikan tuna mereka melalu seluruh bagian rantai suplai. Informasi tentang di mana dan bagaimana ikan tuna tersebut ditangkap secara pasti adalah kunci untuk memastikan dipenuhinya persyaratan.[11]

Tentang keberlanjutan, perusahaan harus memiliki komitmen untuk menjual tuna yang berkelanjutan melalui suatu kebijakan dengan persyaratan sumber yang bersih untuk menghindari pemanfaatan tuna dari stok yang tidak sehat, penangkapan ikan yang merusak, dan perusahaan-perusahaan yang tidak bertanggung jawab secara sosial.[12]

Mengenai kesetaraan, perusahaan-perusahaan harus mengetahui siapa nelayan yang menangkap ikan tuna mereka dan bagaimana ikan-ikan tersebut diperlakukan. Perusahaan juga harus berkomitmen untuk memastikan kesejahteraan para pekerja di seluruh rantai pemasokan mereka dan bekerja secara aktif terhadap perbudakan di laut.[13]

Untuk mengumpulkan informasi ini, Greenpeace mengirimkan kuesioner survei ke sembilan pengalengan tuna di Filipina dan tiga belas pengalengan tuna di Indonesia[14]. Greenpeace juga melakukan penelitian literatur online terhadap perusahaan-perusahaan ini dan menentukan kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek mereka.

Laporan lengkap dapat di unduh di link berikut :

Canned Tuna Ranking – Release Date Version 21st Sep 2015 – greenpeace


[5] Merek di Amerika Serikat: Wild Planet dan American Tuna

http://www.greenpeace.org/usa/oceans/tuna-guide/

[6] Hiu, penyu, mamalia laut, burung laut dan ikan tuna dengan ukuran belum laik tangkap (juvenile tunas).

[7] Sering dipadankan juga dengan “ketelusuran”.

[8] Laporan Peringkat Tuna Kalengan Asia Tenggara untuk Thailand juga segera diluncurkan dalam 2 minggu mendatang.

[13] Greenpeace USA.  2015. How we ranked the brands.http://www.greenpeace.org/usa/oceans/tuna-guide/

[14] Sebelumnya 14 perusahaan. Namun satu perusahaan di Indonesia dianggap menjadi satu perusahaan yang sama yang berkedudukan di Filipina.

Ringkasan laporan (bahasa) dapat di unduh di link berikut :

Ulasan Peringkat Industri Pengalengan Tuna di Indonesia dan Filipina Tahun 2015