Konteks: Pemerintah Indonesia menyatakan pada bulan Juni 2019 bahwa Moratorium Hutan dan Lahan Gambut tentang pemberian izin baru pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, kegiatan penebangan dan pertambangan, yang diberlakukan tahun 2011 dan diperbarui setiap dua tahun sejak itu, akan dijadikan permanen. Perpanjangan moratorium terakhir sudah berakhir tanggal 17 Juli 2019. Menurut keterangan sejumlah media massa moratorium permanen yang baru tersebut telah ditandatangani tanggal 5 Agustus.

 

Moratorium tersebut memiliki banyak celah dan tidak menghasilkan perlindungan hutan atau lahan gambut jangka panjang. Analisis pemetaan Greenpeace menunjukkan bahwa dalam kenyataannya tingkat deforestasi telah meningkat di area-area yang berada di bawah moratorium sejak pemberlakuan moratorium. Analisis juga menunjukkan bahwa sepertiga area yang terbakar di Indonesia dalam periode 2015-2018 berada di kawasan moratorium.  

Moratorium tersebut masih berupa instruksi presiden dan bukan regulasi yang mengikat secara hukum, proses revisi yang terus diadakan telah memungkinkan pemerintah untuk secara diam-diam menghapus jutaan hektar hutan primer dan lahan gambut yang semestinya dilindungi dan malah menjadi terbuka untuk dieksploitasi perusahaan.

Meskipun di satu sisi pemerintah mengklaim mereka tidak main-main dengan perlindungan hutan, namun, di sisi lain pemerintah terus membagikan tanah kepada perusahaan untuk dieksploitasi. Awal bulan Juli 2019, Presiden Jokowi bahkan mendesak menteri kehutanan untuk mempercepat proses penerbitan izin di kawasan hutan bagi perusahaan. Sementara itu, regulasi-regulasi lahan gambut yang baru yang diberlakukan tak lama setelah pemilu 2019 selesai semakin memperlemah perlindungan lahan gambut yang ada, yang membawa risiko semakin maraknya pengeringan lahan gambut, kebakaran dan emisi gas rumah kaca.  Regulasi-regulasi yang baru ini sangat kontras dengan klaim-klaim Presiden Jokowi sebelumnya bahwa seluruh lahan gambut di Indonesia perlu dilindungi.

 

“Lahan gambut tidak boleh disepelekan, mereka harus dilindungi karena membentuk sebuah ekosistem khusus, dan tidak hanya gambut dalam yang harus dilindungi, tapi semua area gambut”, Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia (November 2014).

 

Metodologi analisis pemetaan Kajian Greenpeace atas Moratorium Hutan Indonesia

Seluruh area di bawah moratorium telah kehilangan 2,5 juta ha hutan primer sejak tahun 2002. Dalam tujuh tahun sebelum moratorium diumumkan (2005-2011) total deforestasi di area-area ini adalah 800.000 ha. Dalam tujuh tahun sejak pemberlakuannya (2012-2018), total deforestasi menjadi 1,2 juta ha. Tingkat deforestasi tahunan rata-rata di area-area ini adalah 97.000 ha untuk periode 2005-2011, naik menjadi 137.000 ha untuk 2012-2018. Meskipun terjadi penurunan signifikan dalam deforestasi pada tahun 2018 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya untuk periode tersebut (turun menjadi 112.000 ha untuk tahun itu), tingkat deforestasi ini masih lebih tinggi dari deforestasi rata-rata di area-area ini sebelum pemberlakuan moratorium. Hal ini menunjukkan bahwa klaim publik baru-baru ini tentang membaiknya tata kelola di area-area yang dilindungi (seperti area-area di bawah moratorium) merupakan klaim yang prematur.

Dari total 65,9 juta ha area moratorium, 51,3 juta ha atau sekitar 78 %  telah dilindungi oleh regulasi-regulasi lain, jadi hanya 14,6 juta hektar hutan dan lahan gambut yang dilindungi di bawah moratorium.

Area moratorium direvisi oleh pemerintah setiap enam bulan. Analisis Greenpeace terhadap perubahan area dalam peta indikatif dalam periode 2011-2018 menemukan bahwa 4,5 juta hektar area hutan dan lahan gambut yang kaya karbon telah dihapus dari peta, dan 5,3 juta hektar dimasukkan ke dalam moratorium di area-area lain. 

Analisis Greenpeace mengungkapkan bahwa 1,6 juta ha dari total 4,5 juta ha yang dihapus dari area moratorium yang asli telah diberikan izin untuk perkebunan kelapa sawit, kayu pulp, penebangan hutan dan pertambangan. Izin-izin ini diberikan di hutan primer atau lahan gambut. Selain itu, Greenpeace mendapati bahwa antara tahun 2012 dan 2017, 1 juta ha area yang telah ditambahkan ke moratorium kemudian dihapus lagi akibat revisi yang terus dilakukan. Revisi reguler yang selama ini biasa dilakukan terhadap moratorium akan terus berlanjut bahkan setelah moratorium dijadikan permanen oleh Pemerintah.

 

Keterangan peta: MORATORIUM HUTAN DAN LAHAN GAMBUT

REVISI 15 PAPUA 2018

REVISI 15 MORATORIUM HUTAN DAN LAHAN GAMBUT

(HIJAU TUA) = PERLINDUNGAN GANDA

(HIJAU LEBIH MUDA) = PERLINDUNGAN TUNGGAL

(HIJAU MUDA) = HUTAN PRIMER YANG TIDAK TERLINDUNGI 2018

 

Moratorium hutan Indonesia ini tidak memiliki kriteria lingkungan yang layak, misalnya area Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dan Stok Karbon Tinggi (SKT), kehutanan sosial, keanekaragaman hayati, kerentanan terhadap bencana alam, dsb. Akibatnya, banyak area yang sebelumnya dilindungi di Sumatera dan Kalimantan kini telah dihapus dan dialokasikan kembali di Papua. Dengan menambahkan area-area moratorium baru di Papua tanpa kriteria yang jelas dan tanpa pertimbangan terhadap hak atas tanah setempat, moratorium ini dapat menimbulkan konflik karena area moratorium menjadi tumpang tindih dengan area di mana hak penggunaan adat harus didahulukan.

 

Analisis pemetaan Greenpeace menunjukkan bahwa masih ada 33,3 juta ha hutan primer yang terbuka untuk pembangunan, dan juga lebih dari 6,5 juta ha lahan gambut, yang sebagian juga masih berhutan. Ini adalah area-area hutan primer dan lahan gambut yang tidak dimasukkan dalam moratorium dan yang masih berisiko mengalami deforestasi dan pengeringan gambut.

 

Deforestasi di Indonesia telah meningkat di tahun-tahun belakangan. Namun, penjelasannya rumit dan faktor-faktor yang mempengaruhi termasuk  kondisi cuaca yang telah menyebabkan tingkat kebakaran hutan yang lebih rendah sepanjang periode 2016-2019 dan turunnya harga minyak kelapa sawit. Analisis Greenpeace menunjukkan bahwa perbaikan tata kelola di area-area yang dilindungi bukanlah salah satu faktor signifikan dalam penurunan deforestasi.

Selama periode tahun 2017-2018, Greenpeace menemukan bahwa terjadi sedikit peningkatan hilangnya hutan primer di Papua di area moratorium. Karenanya, Greenpeace berpendapat bahwa moratorium bukanlah alat yang efektif untuk mengkonsolidasikan penurunan deforestasi. Selain itu, selama periode moratorium (2011 – 2018), analisis Greenpeace menunjukkan bahwa total deforestasi di area moratorium mencapai 1,2 juta ha, sedangkan total deforestasi Indonesia (di dalam dan di luar area moratorium) mencapai 4,38 juta ha – yang berarti bahwa deforestasi di area moratorium setara dengan 27,4% dari keseluruhan deforestasi yang terjadi di Indonesia.

 

JUDUL GRAFIK = HILANGNYA HUTAN PRIMER 2002-2018 DI DALAM AREA MORATORIUM REVISI 1-15 DI INDONESIA

GARIS MERAH = SELURUH MORATORIUM

GARIS HIJAU = SUDAH TIDAK DI BAWAH MORATORIUM

GARIS BIRU = MASIH DI BAWAH MORATORIUM

 

Terkait masalah kebakaran hutan, analisis Greenpeace menemukan bahwa antara tahun 2015 dan bulan Juli 2018 total area yang terbakar mencapai 3,4 juta hektar. Dari itu, lebih dari 1 juta hektar berada di area moratorium, terutama di Kalimantan Tengah, Papua dan Sumatera Selatan serta Riau. Selama kebakaran hutan tahun 2015, ada 2,6 juta hektar area terbakar, di mana 700.000 hektar di antaranya berada di area moratorium.

Analisis Greenpeace pada data tahun 2019 (Januari-Juli 2019), menunjukan bahwa 25% dari semua titik api (FHS) berada di area moratorium. Awal bulan Agustus, ada enam provinsi yang menyatakan keadaan darurat akibat memburuknya kebakaran hutan.

Terbitnya baru-baru ini Peraturan Menteri No.10/2019 tentang Penentuan, Penetapan dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut merupakan ancaman tambahan bagi lahan gambut Indonesia. Peraturan baru ini mengizinkan pemegang konsesi untuk terus mengeksploitasi area dan melemahkan upaya untuk melindungi  dan meningkatkan pengelolaan lahan gambut di Indonesia. Peraturan tersebut membawa pesan yang salah bahwa pengeringan sejumlah tertentu lahan gambut masih dapat diterima. Setiap pengeringan lahan gambut akan menghasilkan penurunan permukaan lahan gambut sebesar beberapa sentimeter setiap tahunnya dan menyebabkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) serta meningkatkan risiko kebakaran.

Dari perspektif hukum, moratorium ini lemah karena hanya berupa Instruksi Presiden (Inpres), yang tidak memiliki kekuatan sanksi atau penegakan hukum. Pergeseran moratorium menjadi larangan permanen atas alokasi konsesi baru pada hutan primer dan lahan gambut juga hanya berbentuk Inpres, menunjukkan kurangnya komitmen politik dari Presiden atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan menunjukkan bahwa kawasan hutan serta lahan gambut akan terus dihapus dari status perlindungan berdasarkan kepentingan ekonomi.

Presiden yang baru terpilih kembali, Jokowi sekarang mendukung investasi skala besar – sebagaimana dinyatakan dalam pidato politik terbarunya. Jokowi dengan jelas menyatakan bahwa prioritasnya adalah infrastruktur dan pembangunan, pengembangan sumber daya manusia, investasi dan reformasi birokrasi sambil memastikan efisiensi penggunaan anggaran negara. Presiden menyatakan bahwa beliau akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang menarik untuk investasi karena investor adalah kunci pembangunan. Untuk ini, beliau mengatakan tidak akan ragu-ragu untuk “mengejar, mengontrol, memeriksa dan menghajar” siapa saja atau lembaga apa pun yang cuma menjadi penghalang investasi. Pernyataan politik seperti ini menunjukkan bahwa perlindungan hutan dan lahan gambut masih belum merupakan prioritas.

 

Forest Fires in Riau. © Greenpeace

 

“Berkaitan dengan investasi, mungkin sudah berapa puluh kali kita sampaikan. Investasi yang berkaitan dengan ekspor, berkaitan dengan barang-barang substitusi impor, tutup mata berikan izin secepat-cepatnya. Tapi, kejadian yang ada di lapangan tidak seperti itu. Dari Kementerian Kehutanan misalnya, masih lama, ini urusan lahan”

 

Berdasarkan analisis di atas, Greenpeace berkesimpulan bahwa Pemerintah Indonesia tidak serius dalam menangani perlindungan hutan dan lahan gambut sebagai tulang punggung penurunan emisi GRK dan pembatasan kenaikan temperatur bumi sebesar 1.5ºC. Penggunaan lahan dan emisi kebakaran hutan dan lahan gambut menyumbang 63% dari emisi yang dinyatakan Indonesia. Menghentikan deforestasi dan pengeringan lahan gambut adalah masalah yang amat penting. 

Mengingat lemahnya implementasi moratorium dan prioritas   Presiden yang dinyatakan secara eksplisit, Indonesia tidak akan mampu mempertahankan  target pengurangan emisi global sebesar 29-41% yang dicanangkannya. Lebih jauh, melemahkan kredibilitas dan efektivitas tindakan pemerintah lebih lanjut tentang perlindungan hutan dan lahan gambut adalah tidak adanya data publik yang transparan, termasuk peta, yang mencakup deforestasi, degradasi, penerbitan lisensi dan emisi. Data tersebut sangat penting untuk akuntabilitas publik dan tidak adanya transparansi telah menyebabkan inkonsistensi data, kurangnya keterlibatan pemangku kepentingan utama dan menimbulkan banyak pertanyaan tentang keakuratan data.

Greenpeace berpendapat bahwa, dalam menjadikan moratorium permanen, presiden perlu memperluas penugasan moratorium untuk mewujudkan nol deforestasi di semua hutan termasuk nol kebakaran hutan, dan nol pengeringan lahan gambut baru. Moratorium permanen juga harus mengurangi emisi GRK dan risiko kebakaran yang memerlukan rencana untuk membasahi kembali lahan gambut yang dikeringkan.

Oleh karena itu, dalam menjadikan moratorium permanen dan efektif, pemerintah harus: (1) mengintegrasikan peta hutan dan lahan gambut tematik dan berkorelasi (kualitas baik) melalui inisiatif Satu Peta yang dapat diakses publik, (2) proses tersebut harus partisipatif dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pendefinisian (kajian izin dan revisi perencanaan tata ruang), pemantauan dan penerapan transparansi proses moratorium, (3) mempertimbangkan lanskap hutan utuh, karakter ekosistem gambut, masyarakat setempat/ adat dan konservasi hutan sukarela, (dalam bentuk area hutan bernilai konservasi tinggi (NKT) dan area hutan stok karbon tinggi (SKT) (4) memperluas cakupan moratorium berdasarkan data yang aktual dan akurat terutama dalam melindungi ke-34 juta hektar hutan primer di luar area moratorium untuk mencapai nol deforestasi pada tahun 2020 dan (5) memperkuat regulasi moratorium dan menerapkan penegakan hukum yang serius. 

Pemerintah Indonesia meyakini bahwa moratorium adalah alat yang efektif untuk mengurangi deforestasi, sebuah kendaraan untuk mencapai targetnya dalam mengurangi emisi global. Dengan implementasi moratorium saat ini, moratorium permanen yang akan datang tidak akan menyelesaikan masalah Indonesia dalam menangani perlindungan lingkungan terutama atas area hutan dan lahan gambut. Dibutuhkan perubahan mendasar dalam cara moratorium dilaksanakan, seperti pendekatan ke peta indikatif, memperkuat dasar hukum moratorium (penegakan hukum) dan transparansi data dan informasi.

 

Metodologi analisis pemetaan

Analisis Greenpeace Asia Tenggara menghitung tutupan hutan dan hilangnya hutan di dalam dan di luar semua area yang pernah dimasukkan dalam moratorium pemerintah setiap tahunnya di periode 2002-2018. Karena data tutupan hutan yang disediakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KLHK) tidak konsisten dan tidak disediakan dalam format yang dapat diproses dalam perangkat lunak SIG, Greenpeace Indonesia menggunakan data yang disediakan oleh Universitas Maryland (UMD) yang konsisten di sepanjang periode analisis. UMD menyediakan data tentang ‘hutan primer’, yang didefinisikan sebagai ‘tutupan hutan tropis lembab alami matang yang belum sepenuhnya ditebangi dan ditanam kembali dalam riwayat terakhir’. ‘Riwayat terakhir’ menunjukkan periode catatan satelit, yaitu 30+ tahun. Data tutupan dan hilangnya hutan primer UMD mencakup area hutan yang telah menjadi sasaran penebangan selektif.  

Secara substansi, definisi ‘hutan primer’ UMD lebih luas daripada yang digunakan oleh KLHK,  termasuk area luas yang oleh KLHK digolongkan sebagai hutan sekunder. Untuk tahun 2017, luas menurut UMD mencakup 85,2 juta ha, mendekati angka 93,9 juta ha pada 2017 yang diberikan KLHK untuk total luas hutan Indonesia, yang terdiri dari 46,1 juta ha hutan primer dan 43,1 juta ha hutan sekunder menurut definisi KLHK.

Data UMD juga digunakan oleh WRI untuk analisis hilangnya hutan primer di Indonesia awal tahun ini.

Pandangan Greenpeace adalah bahwa dari perspektif iklim maupun keanekaragaman hayati, perbedaan antara tipe hutan tidaklah relevan.

 

Catatan:

  1. https://mediaindonesia.com/read/detail/251584-menteri-lhk-presiden-teken-moratorium-hutan-permanen
  2. Total area terbakar di periode 2015-2018 menurut data resmi KLHK adalah 3.404.22,82 ha (Ada kesalahan tulis dalam pembagian angka ribuannya). Total area terbakar di dalam area moratorium adalah 1.032.762,63 hektar
  3. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190708154915-532-410196/dorong-investasi-jokowi-ingin-tutup-mata-beri-izin
  4. https://news.mongabay.com/2019/07/dangerous-new-regulation-puts-indonesias-carbon-rich-peatlands-at-risk/
  5. https://news.mongabay.com/2014/11/indonesia-to-audit-licenses-of-palm-oil-companies-that-clear-peatlands/
  6. https://blog.globalforestwatch.org/data-and-research/world-lost-belgium-sized-area-of-primary-rainforests-last-year
  7. https://abcnews.go.com/International/wireStory/indonesia-steps-response-massive-forest-fires-64702943
  8. https://nasional.kompas.com/read/2019/07/14/20322301/pidato-visi-indonesia-jokowi-ancam-hajar-pungli-dan-penghambat-investasi
  9.  Jokowi Perintahkan Menteri LHK Beri Izin Lahan Sambil Tutup Mata https://kbr.id/nasional/07-2019/jokowi_perintahkan_menteri_lhk_beri_izin_lahan_sambil_tutup_mata/99835.html
  10. https://www4.unfccc.int/sites/submissions/INDC/Published%20Documents/Indonesia/1/INDC_REPUBLIC%20OF%20INDONESIA.pdf
  11.  Turubanova, S., Potapov, P.V., Tyukavina, A., Hansen, M.C., 2018. Hilangnya hutan primer saat ini di Brasil, Republik Demokratik Kongo, dan Indonesia. Environ. Res. Lett. 13, 074028. https://doi.org/10.1088/1748-9326/aacd1c
  12.  KLHK mendefinisikan hutan primer sebagai ‘area hutan yang tidak (atau belum begitu) terpengaruh oleh aktivitas manusia atau penebangan’, sementara hutan sekunder ‘menunjukkan bekas-bekas penebangan yang ditandai oleh pola-pola dan bekas penebangan (penampakan jalan dan bidang-bidang tanah yang telah dibuka’. KLHK (2016) ‘National forestreference emission level for deforestation and forest degradation’ http://redd.unfccc.int/files/frel_submission_by__indonesia_final.pdfp81
  13.  MoEF (2018) ‘The state of Indonesia’s forests 2018’ p11 

 

Kontak Media:

Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Asia Tenggara, Tel 62-811-8706-074 , email [email protected]

 Rully Yuliardi Achmad,Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, Tel 62- 811-8334-409, email [email protected]