Jakarta, 5 Oktober 2021. Sebuah monster oligarki diketahui telah menduduki halaman gedung DPR RI Selasa pagi ini. Monster tersebut terlihat mencengkeram sejumlah sektor kehidupan rakyat seperti energi, pertanian, kebebasan berpendapat, kehidupan masyarakat adat, serta pelemahan terhadap KPK. Monster oligarki tersebut adalah bagian dari aksi damai yang dilakukan oleh sejumlah aktivis Greenpeace, sebagai peringatan satu tahun disahkannya undang-undang yang penuh dengan masalah yaitu UU Cipta Kerja.
“Satu tahun pasca UU Ciptaker disahkan, beberapa konflik lahan yang melibatkan masyarakat melawan perusahaan telah muncul ke permukaan,” ucap Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia. Okupansi lahan warga terang-terangan dilakukan oleh perusahaan dengan menggunakan UU Ciptaker, Bupati Sorong yang digugat tiga perusahaan sawit karena izinnya dicabut, serta keindahan dan kesejahteraan warga Pulau Sangihe yang terancam akibat tambang emas yang akan beroperasi disana. “Konflik-konflik ini memicu kemarahan publik, karena alih-alih mendatangkan investasi yang menguntungkan masyarakat setempat, justru penghidupan masyarakat setempat dan kelestarian lingkungan yang menjadi taruhannya,” tegas Arie.
Greenpeace Indonesia memandang kerusakan lingkungan hidup, hilangnya hak rakyat (khususnya masyarakat adat, perempuan, dan kelompok rentan), serta ancaman terhadap proses demokrasi adalah dampak dari menguatnya kekuatan ekonomi-politik Oligarki di Indonesia. Jelas terlihat dari contoh-contoh di atas bahwa elite politik telah berperan ganda menjadi pejabat sekaligus memiliki kepentingan bisnis yang mencengkeram tata kelola pemerintahan, sehingga mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang terkait dengan eksploitasi sumber daya alam.
Salah satu ancaman utama bagi lingkungan hidup dalam Omnibus Law terletak pada perubahan proses perizinan untuk investasi yang berbasis lahan yang terkait dengan bisnis ekstraktif di sektor sumberdaya alam, dan sebagai karpet merah untuk proyek strategis nasional. Izin lingkungan telah diganti dengan “persetujuan lingkungan” yang lebih lemah sebagai bagian dari perizinan berusaha yang lebih umum. Persyaratan untuk analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) telah dilemahkan – terutama dengan menghilangkan hak eksplisit pemangku kepentingan untuk mengajukan keberatan. Komisi evaluasi AMDAL daerah, yang dalam UU Lingkungan Hidup harus mengikutsertakan perwakilan masyarakat lokal, pemerhati lingkungan, dan ahli lingkungan, dihapuskan, dan kewenanganannya diambil alih oleh pemerintah pusat. Selain itu banyak pasal- pasal lainnya didesain dengan sengaja untuk melemahkan upaya penegakan hukum dan justru memberikan amnesti bagi perusahaan yang tidak mematuhi prosedur hukum.
Akar dari kerusakan lingkungan di Indonesia juga berkelindan dengan praktek korupsi karena hubungan yang kuat antara elit politik dengan pengusaha untuk mengeruk keuntungan yang mengabaikan standar perlindungan lingkungan. Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi juga merupakan skenario elit politik untuk terhindar dari jeratan korupsi di sektor sumberdaya alam.
Aksi ini juga merupakan bagian dari aksi serentak #MosiTidakPercaya dan #ReformasiHabisDikorupsi yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia sejak beberapa pekan terakhir, menyuarakan penolakan terhadap kesewenangan elit politik yang sudah mencengkeram kehidupan bermasyarakat dengan disahkannya UU Ciptaker. Undang-undang ini digadang-gadang sebagai regulasi yang akan mendatangkan investasi sehingga membuka lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia. Namun, jika melihat faktanya di lapangan justru UU ini hanya akan merugikan masyarakat, berpotensi meningkatkan kerusakan lingkungan, serta memperburuk dampak krisis iklim.
Catatan editor:
Kunjungi laman ini untuk suarakan perlawananmu: kalahkanmonsteroligarki.org
Foto dan video dapat diakses disini : https://www.media.greenpeace.org/collection/27MDHUWO4K98
Kontak media:
Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, +62 811-5200-822
Rahma Shofiana, Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 811-1461-674