
Jakarta, 18 Oktober 2024 – Menjelang pelantikan presiden-wakil presiden terpilih dua hari mendatang, Greenpeace Indonesia kembali menyerukan pesan-pesan tentang berbagai krisis yang melanda Tanah Air—mulai dari krisis lingkungan hidup, krisis keanekaragaman hayati, krisis iklim, hingga krisis demokrasi. Lewat aksi damai kreatif berupa proyeksi video di bilangan Jakarta Pusat, Greenpeace mengajak publik untuk terus #MemilihBersuara demi penyelamatan dan pemulihan lingkungan, demokrasi, dan HAM.
“Saat Presiden Joko Widodo sibuk menghias rapor capaian kinerja di akhir masa jabatannya, kita harus terus mengingat rekam jejaknya yang penuh ponten merah. Presiden Jokowi meninggalkan banyak warisan buruk untuk kita, seperti pelemahan pelindungan lingkungan hidup, pelemahan demokrasi dan HAM, dan banyak Proyek Strategis Nasional yang meminggirkan masyarakat adat dan masyarakat lokal,” kata Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Dalam aksi kreatif ini, Greenpeace menampilkan proyeksi video yang menunjukkan peta Indonesia dengan titik-titik lokasi terjadinya perusakan lingkungan. Deforestasi, perampasan hutan dan wilayah masyarakat adat, kebakaran hutan dan lahan gambut, pertambangan—mulai dari nikel, emas, batu bara, hingga pasir laut—serta pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara industri terlacak di seantero Indonesia.
Watak pembangunan ekstraktif ini terpampang nyata selama satu dekade pemerintahan Presiden Jokowi. Proyek-proyek berlabel hijau yang dijalankan pemerintahan Jokowi pun nyatanya sarat pelanggaran ekologis dan ketidakadilan, seperti yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau dan Kalimantan Utara.
Greenpeace Indonesia menilai bahwa persoalan lingkungan dan krisis iklim, kebohongan hijau, pembatasan ruang demokrasi, serta pelindungan HAM berpotensi terus terjadi di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Selain mengusung jargon ‘keberlanjutan’ era Jokowi, Prabowo-Gibran tampaknya memang bakal meneruskan watak pembangunan yang eksploitatif dengan ‘mantra’ pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Ini terlihat, misalnya, dari visi-misi Prabowo-Gibran untuk menambah lahan food estate hingga 4 juta hektare dan melanjutkan hilirisasi nikel yang sejauh ini terbukti merusak lingkungan dan merugikan masyarakat lokal.

Prabowo juga memilih sejumlah orang dengan rekam jejak bermasalah dalam kebijakan lingkungan untuk mengisi kabinetnya. Misalnya Bahlil Lahadalia, yang diberitakan terlibat kisruh pencabutan izin pertambangan saat masih menjabat sebagai Menteri Investasi. Bahkan Prabowo menarik Zulkifli Hasan, yang saat menjabat Menteri Kehutanan melepaskan kawasan hutan untuk korporasi pada skala terluas dalam sejarah Republik Indonesia.
Baru-baru ini, dalam kapasitasnya sebagai Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan juga menerbitkan aturan yang memuluskan ekspor pasir laut, bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono—juga calon anggota kabinet Prabowo. Ada sejumlah nama lain dalam bursa kandidat anggota kabinet Prabowo yang juga ditengarai memiliki konflik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam.
“Meski tak bisa banyak berharap, sebagai masyarakat sipil kita perlu terus mengawasi pemerintahan Prabowo-Gibran. Kita perlu terus bersuara agar mereka menghentikan watak pembangunan ekstraktif yang merusak lingkungan hidup, melanggar HAM, dan merugikan masyarakat,” ujar Khalisah Khalid, Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia.
Pelantikan Prabowo-Gibran berlangsung satu hari sebelum Konferensi Para Pihak ke-16 tentang Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD COP16) di Kolombia. Sebagai negara yang sudah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati, Indonesia mesti serius dan terlibat aktif dalam konferensi dua tahunan itu. Indonesia tidak boleh menunda lahirnya keputusan untuk perlindungan keanekaragaman hayati di Indonesia dengan alasan transisi pemerintahan.

Dari berbagai tempat di dunia, termasuk dari Jakarta dan Sangihe-–pulau kecil di Sulawesi Utara yang terancam tambang, Greenpeace menyerukan pesan-pesan penyelamatan keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup.
“Kami juga mendesak pengakuan, penghormatan, dan pelindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal—dua komunitas yang selama ini berperan penting menjaga keanekaragaman hayati. Sepuluh tahun pemerintahan Jokowi menelantarkan RUU Masyarakat Adat, tapi menerbitkan sejumlah undang-undang yang menguntungkan oligarki. Tak banyak pilihan bagi kita, selain terus bersuara melawan oligarki yang mengancam keberlanjutan Bumi,” kata Khalisah Khalid.
Catatan Editor:
Foto dan video aksi damai kreatif dapat dilihat di tautan https://media.greenpeace.org/collection/27MZIFJVRJBC9
Riset-riset terkait:
[1] Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua
[2] Laporan Kebohongan Industri Hijau Kalimantan Utara
Kontak Media:
Khalisah Khalid, Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia, +62 812-9040-0147
Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, +62 811-4445-026
Budiarti Putri, Juru Kampanye Komunikasi Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105