Jakarta, 6 Maret 2025 – Greenpeace mendesak pemerintah-pemerintah daerah di kawasan Jabodetabek serta pemerintah pusat untuk fokus pada upaya mitigasi dan adaptasi iklim di tengah tingginya frekuensi cuaca ekstrem akibat dampak krisis iklim. Perubahan fungsi lahan yang serampangan serta lambatnya respon pemerintah daerah atas peringatan dini cuaca ekstrem menjadi penyebab utama bencana banjir yang merendam wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang beberapa hari ini berdampak luas pada masyarakat.

Bencana banjir di awal Ramadan ini telah memakan banyak korban. Salah satunya di wilayah Bekasi di mana banjir merendam 20 titik di 7 kecamatan di Kota Bekasi. Perubahan bentang alam yang drastis di daerah aliran sungai (DAS) Kali Bekasi menjadi salah satu penyebab parahnya banjir di Bekasi.
Data Kementerian Kehutanan menunjukkan, area terbangun di tahun 2022 mencakup 42 persen dari total luas DAS Kali Bekasi, yang melalui daerah-daerah seperti Cibinong, Gunung Putri, Cileungsi, dan Sentul, serta kediaman Presiden Prabowo Subianto di Hambalang, Kabupaten Bogor. Jumlah ini meningkat drastis dari 5,1 persen area terbangun di tahun 1990.
“Perubahan fungsi lahan ini mengurangi kemampuan penyerapan air, sehingga limpasan air ke sungai menjadi sangat besar melebihi kapasitasnya dan mengakibatkan sungai meluap ke daerah permukiman di Bekasi yang berada di lokasi yang lebih rendah. Kini, lahan hutan di wilayah DAS Kali Bekasi hanya tersisa sekitar 1.700 hektar atau kurang dari 2 persen luas wilayah DAS,” ujar Sapta Ananda Proklamasi, Senior Data Strategist Greenpeace Indonesia.
Citra Satelit DAS Kali Bekasi, 2024
Citra Satelit DAS Kali Bekasi, 1990
Juru Kampanye Sosial dan Ekonomi Greenpeace Indonesia Jeanny Sirait mengatakan, eksploitasi alam dan pembangunan yang serampangan di wilayah DAS Kali Bekasi seharusnya bisa dicegah jika pemerintah daerah melakukan pembatasan izin yang berdampak pada eksploitasi lingkungan di kawasan tersebut. Selain itu, ia juga menilai pemerintah daerah juga perlu lebih sigap merespon peringatan cuaca dini yang diberikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai upaya mitigasi bencana.
“Jabodetabek, layaknya Indonesia, kini berada di garis depan krisis iklim. Peringatan dini dari BMKG seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintah daerah untuk melakukan respon cepat mitigasi bencana, terutama di tengah peningkatan frekuensi cuaca ekstrem akibat krisis iklim seperti saat ini. Dengan begitu, pemerintah daerah bisa meminimalisasi jumlah korban, dampak sosial dan kerugian ekonomi yang harus ditanggung warga,” ujarnya.
Jeanny pun mendorong pemerintah daerah wilayah Jabodetabek untuk meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim dibanding mengeluarkan solusi palsu seperti modifikasi cuaca yang hanya akan bertahan sementara. Menurutnya, pemerintah daerah seharusnya fokus untuk merancang kota yang tahan iklim, serta mempersiapkan warga dalam menghadapi dampak krisis iklim.
“Pemerintah daerah pun harus memastikan upaya mitigasi dan adaptasi dampak krisis iklim dapat dilakukan oleh masyarakat dengan dukungan penuh negara, terutama bagi komunitas terdampak seperti rakyat miskin kota, masyarakat di wilayah pedesaan, warga pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini bukan hanya akan meningkatkan ketahanan daerah dalam menghadapi krisis iklim, namun juga mengembangkan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat” tutur Jeanny.
Upaya adaptasi dan mitigasi dapat dilakukan melalui pengelolaan DAS terpadu, restorasi kawasan hutan di hulu, memperbanyak sumur resapan dan biopori, memperluas kawasan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai resapan air hujan sekaligus mengurangi polusi udara, pemberdayaan masyarakat dalam upaya mengelola daerahnya, melakukan pembatasan terhadap izin usaha yang mengeksploitasi lingkungan serta memastikan pengendalian alih fungsi lahan yang tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu menambahkan, pemerintah pusat pun perlu mengambil langkah untuk memitigasi krisis iklim yang lebih parah.
“Krisis iklim akan semakin memperparah bencana hidrometeorologi seperti banjir. Untuk itu pemerintahan Prabowo-Gibran harus membuat terobosan kebijakan jika ingin melindungi warganya dari bencana iklim. Mengatasi penyebab utama krisis iklim harus menjadi prioritas utama dalam penyusunan kebijakan energi dan pembangunan, khususnya dengan meninggalkan energi fosil sepenuhnya.” kata Bondan.
Kontak media:
Rahka Susanto, Juru Kampanye Komunikasi Greenpeace Indonesia, +62 811-1098-815
Diskusi
Perbaiki tata kota..drainase..penanggulangan sampah..bikin UU untuk memberikan efek jera tindak dg tegas
Menurut saya tata kota yg tidak memenuhi standar dalam pembangunan suatu wilayah,contoh misal kantung2 air resapan dibangun pemukiman hingga air tidk lg bisa terserap
Sangat mendukung agar pemerintah daerah dapat melakukan mitigasi untuk mencegah terjadinya bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, untuk itu masyakat sekitar harus teroganisir untuk mendesak pemerintah daerah untuk melakukan revitalisasi fungsi hutan pada lokasi-lokasi bekas tambang.seperti tambang tanah liat dan batu kapur untuk keperluan bahan baku pabrik semen.
Tak ada waktu untuk menunggu. Segera lindungi dan pelihara alam kita
Dimulai dari manusia2 pembuat dan pengambil kebijakan, haruslah mereka yg berintegritas dan memahami sepenuhnya tanggung jawab sumpah jabatan. Bukan yg sekedar omon-omon.