Jakarta, 30 Juni 2025 – Krisis sampah plastik di Indonesia masih menjadi persoalan lingkungan yang belum terselesaikan. Penumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang menyebabkan kelebihan kapasitas, pencemaran sungai dan laut, hingga temuan mikroplastik dalam air, udara, dan produk konsumsi seperti air minum dalam kemasan (AMDK), menjadi bukti nyata bahwa persoalan ini telah melampaui isu kebersihan lingkungan dan memasuki ranah kesehatan publik.
Data dari World Bank (2021) Indonesia memproduksi sekitar 7,8 juta ton sampah plastik setiap tahunnya, dan sekitar 4,9 juta ton sampah plastik tidak tertangani dengan baik, misalnya tidak dikumpulkan, dibuang ke tempat pembuangan terbuka, atau bocor dari tempat pembuangan akhir yang tidak dikelola dengan semestinya. Ketidakseriusan untuk mengolah sampah plastik ini juga menyebabkan sekitar 83% dari sampah plastik yang mencemari lautan ke laut berasal dari aliran sungai, sementara sisanya, sebesar 17%, langsung dibuang atau hanyut dari wilayah pesisir.
Pada 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peraturan Menteri tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Regulasi ini menjadi langkah awal penting untuk mendorong tanggung jawab produsen dalam mengurangi dampak lingkungan dari produk dan kemasan yang mereka hasilkan, sesuai dengan semangat Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Namun, enam tahun setelah diterbitkan, implementasi peraturan pengurangan sampah masih menghadapi tantangan serius, minim penegakan hukum, dan belum ada target ambisius untuk sistem guna ulang. Komitmen produsen untuk mengurangi kemasan sekali pakai seperti saset multilayer belum menjadi prioritas, sementara berbagai program yang diklaim sebagai solusi, seperti daur ulang kimia belum terbukti berjalan.

Sebagai respon atas kondisi ini, Greenpeace Indonesia menyelenggarakan Multi Stakeholder Forum: Implementasi Peta Jalan Pengurangan Sampah. Forum ini dihadirkan sebagai ruang diskusi terbuka antara pemerintah, produsen, dan masyarakat sipil untuk meninjau kembali capaian implementasi peta jalan, mengidentifikasi tantangan, dan mendorong langkah konkret pengurangan sampah plastik di masa depan. Forum ini juga menjadi momen penting untuk menyoroti potensi sistem guna ulang sebagai alternatif nyata terhadap model ekonomi berbasis plastik sekali pakai yang selama ini mendominasi.
“Kita tidak bisa terus menambal krisis plastik dengan solusi tambal-sulam di hilir. Akar masalahnya ada di hulu, di produksi plastik sekali pakai yang terus digenjot tanpa kendali. Saatnya industri mengambil tanggung jawab penuh, dan mendukung sistem guna ulang sebagai solusi nyata yang adil dan berkelanjutan,” tegas Ibar Akbar, Juru Kampanye Bebas Plastik Greenpeace Indonesia.
Greenpeace Indonesia menekankan bahwa penguatan skema Extended Producer Responsibility (EPR) merupakan langkah krusial untuk memastikan produsen tidak lagi lepas tangan atas sampah dari produk mereka, dengan mengambil tanggung jawab penuh sejak dari desain, distribusi, hingga pengelolaan pasca konsumsi secara transparan dan berkelanjutan.

“Extended Producer Responsibility bukan sekadar formalitas birokrasi, ini soal siapa yang bertanggung jawab atas krisis plastik yang kita hadapi hari ini. Tanpa transparansi dan sanksi nyata, peta jalan pengurangan sampah hanya akan menjadi janji kosong di atas kertas.” tegas Ibar.
Di tengah tantangan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, Greenpeace menyoroti pentingnya solusi guna ulang untuk sachet dan pouch sekali pakai sebagai langkah strategis atasi krisis sampah plastik. Jika didukung standar, infrastruktur, dan kebijakan yang tepat, sistem guna ulang berpotensi menyumbang nilai ekonomi bersih hingga Rp 1,5 triliun pada 2030 (AZWI; 2024). Di sisi lain, sistem ekonomi guna ulang dapat menciptakan sebanyak 4,4 juta lapangan kerja bersih secara kumulatif di seluruh sektor ekonomi selama periode 2021–2030, di mana 75% di antaranya berpotensi diisi oleh perempuan (Riset: Bappenas, UNDP, Kedubes Denmark).

“Kita punya kesempatan emas untuk mengubah arah, dari ekonomi plastik menuju ekonomi guna ulang. Inisiatif sudah ada, tinggal kemauan politik dan keberanian industri yang perlu ditingkatkan,” lanjutnya.
Greenpeace percaya bahwa krisis sampah plastik tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Diperlukan kolaborasi nyata antara pemerintah, industri, dan masyarakat sipil untuk menghadirkan kebijakan dan solusi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Forum ini diharapkan menjadi titik balik dalam memperkuat komitmen semua pihak, serta memperluas dukungan terhadap sistem guna ulang sebagai bagian dari transisi menuju masa depan yang lebih bersih dan sehat bagi semua.
Kontak media:
Rahka Susanto – Juru Kampanye Komunikasi dan Media (08111098815)