Analisa dan Respons Greenpeace Indonesia terhadap RUPTL 2021-2030

Jakarta, 7 Oktober 2021. Menjelang perhelatan COP 26 di Glasgow, komitmen nyata Pemerintah Indonesia dalam mencapai target 1,5 derajat Celcius masih jauh dari memadai. Dokumen RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) PT PLN (Persero) 2021-2030 yang baru dirilis memperlihatkan penambahan kapasitas pembangkit dari batu bara (PLTU) mencapai 13,8 Gigawatts (34%) dari total tambahan kapasitas pembangkit sebesar 40,5 Gigawatts (100%). Ini berarti batu bara masih menjadi sumber andalan sektor kelistrikan nasional. 

Adila Isfandiari, Peneliti Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mencermati sejumlah hal menarik dalam dokumen RUPTL 2021-2030, yakni:

  • Klaim bahwa RUPTL 2021-2030 berorientasi hijau tidak tepat, karena jelas memperlihatkan adanya rencana penambahan PLTU sebesar 13,8 Gigawatts, yaitu 43% dari kapasitas PLTU existing (31,9 Gigawatts), dalam kurun waktu 2021-2030. Batu bara memiliki porsi sebesar 59,4% pada bauran energi di tahun 2030, atau lebih dari dua kali lipat dari porsi EBT (energi baru dan terbarukan) dengan 24,8% yang sebagian besar bersumber dari air dan panas bumi. Penambahan kapasitas batu bara ini jelas akan menambah kontribusi emisi dari sektor energi yang akan menjadi kontributor emisi GRK terbesar pada tahun 2030 sebesar 82 juta ton per tahun [1] atau setara dengan emisi dari 40 juta mobil per tahun [2].
  • Belum ada sinyal batu bara memasuki masa pensiun secepatnya di tengah munculnya komitmen banyak negara dan lembaga finansial global untuk berhenti mendanai proyek batu bara [3]. Bertolak belakang dengan rencana pensiun bagi PLTU, Indonesia malah akan membangun PLTU batu bara baru yang menjadikannya sebagai salah satu dari lima negara Asia yang menguasai 80% investasi pembangunan pembangkit batu bara baru di dunia. Rencana moratorium PLTU batu bara pun baru akan dimulai pada tahun 2023 dengan menyelesaikan pembangunan PLTU baru yang telah mendapatkan kontrak. 
Coal Power Plants in Suralaya, Indonesia. © Ulet  Ifansasti / Greenpeace
PLTU Suralaya di Kota Cilegon, Provinsi Banten © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Selain itu, rencana PLN untuk mempensiunkan PLTU batu bara secara bertahap mulai 2025 hingga 2055 masih sangat bertentangan dengan rekomendasi dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) untuk pemerintah berbagai negara agar menutup 80% PLTU yang sudah beroperasi pada tahun 2030, dan melakukan phase out sebelum 2040, demi mencapai target 1,5 derajat Celcius. 

  • Beban biaya batu bara semakin tinggi. Pada 2028, diperlukan biaya yang lebih mahal untuk mengoperasikan PLTU batu bara daripada membangun solar PV baru. Terlebih lagi ketika memperhitungkan harga bahan bakar batu bara yang sangat fluktuatif, di mana saat ini mengalami peningkatan drastis mencapai USD 247 per ton (pasar Newcastle) hingga mencapai rekor tertinggi sejak 2008, sangat jauh dibandingkan cap DMO Indonesia, yaitu USD 70 per ton. Fluktuasi harga batu bara sebagai komponen utama biaya listrik akan selalu menjadi ancaman untuk ketahanan energi Indonesia apalagi jika dibandingkan potensi energi matahari dan angin yang berlimpah. 

Teknologi batu bara juga merupakan teknologi yang sudah matang sehingga memperkecil kemungkinan untuk penurunan harga. Hal ini bertolak belakang dengan teknologi energi surya, di mana sudah mengalami penurunan biaya yang drastis sebesar 90% dari tahun 2009 dan akan terus turun dalam beberapa tahun ke depan. 

  • Penambahan kapasitas yang bersumber dari energi terbarukan yakni angin dan surya tidak signifikan. Berdasarkan laporan Greenpeace “Southeast Asia Power Sector Scorecard: Assessing the Progress of National Energy Transition against 1.5 Degree Pathway”, agar berada di jalur 1,5 derajat Celcius pada 2030 diperlukan 50% energi terbarukan dalam sektor kelistrikan, dan Indonesia dalam skenario terbaik (tidak ada PLTU batu bara baru) hanya bisa berada di 26%. Indonesia pun harus memberhentikan pembangunan PLTU batu bara baru saat ini juga untuk memberikan ruang bagi energi terbarukan (ET) untuk berkembang dan mencapai target tersebut. Dengan skenario terbaik pun, Indonesia belum berada di jalur 1,5 derajat apalagi dengan adanya tambahan 13,8 Gigawatts PLTU batu bara baru. Artinya, posisi sumber energi Indonesia sudah “terkunci” oleh energi kotor batu bara hingga 40 tahun ke depan sesuai dengan masa operasionalnya.
  • Solusi semu dalam energi baru dan terbarukan (EBT) kian mendapat tempat. Dalam dokumen RUPTL, target bauran EBT sebesar 23% pada 2025. Untuk mencapai itu, PLN akan mengimplementasikan co-firing dengan campuran 10-20% pada 52 PLTU, di mana saat ini sudah terlaksana di 32 proyek PLTU yang sudah beroperasi dengan porsi 5%. Tantangannya adalah diperlukan biomassa yang sangat besar sekitar 8-14 juta ton per tahun untuk mencapai target EBT tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh IEEFA, keberlangsungan feedstock biomassa juga akan menjadi tantangan tersendiri mengingat jumlah yang diperlukan sangat besar dan harga yang relatif masih mahal. Di sisi lain, terdapat pula ancaman perluasan lahan untuk memenuhi tingginya keperluan pasokan biomassa tersebut, termasuk untuk keperluan biodiesel. Menurut perhitungan LPEM Universitas Indonesia tahun lalu, hasil simulasi untuk realisasi B50 saja selama kurun waktu 2021-2025, diperlukan luasan lahan sawit produktif sebanyak 22,65 juta hektar hingga 2025, artinya diperlukan penambahan lahan sekitar 9 juta hektar terhadap 13 juta hektar produktif yang sudah ada [4]. Ini berarti ancaman deforestasi dan pembukaan lahan di kawasan hutan semakin besar. 

***

Catatan:

[1] 33 Massachusetts Institute of Technology. 2007. Summary Report of The Future of Coal. http://web.mit.edu/coal/

[2] https://www.jterc.or.jp/koku/koku_semina/pdf/140220_seminar_2-2.pdf 

[3] Tiga negara yang merupakan investor utama proyek PLTU Batubara di Indonesia, yaitu Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, telah menyatakan untuk menghentikan dukungan finansialnya untuk proyek tersebut. 

[4] Laporan lengkap LPEM Universitas Indonesia berjudul “Risiko Kebijakan Biodiesel dari Sudut Pandang Indikator Makroekonomi dan Lingkungan” bisa dibaca di sini 

Kontak media: 

Adila Isfandiari, Peneliti Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, [email protected], telp 0811-155-760

Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, [email protected], telp 0811-1924-090