Siaran Pers Sikap Koalisi Masyarakat Sipil atas Pembahasan Perdagangan Karbon pada COP26 di Glasgow

AMAN – Greenpeace Indonesia – WALHI – FWI

Jakarta, 31 Oktober 2021 – Perbincangan iklim oleh para pemimpin dunia pada Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (KTT PBB)  yang disebut COP26 akan dimulai pada 31 Oktober – 12 November 2021. Negara-negara dalam KTT ini akan membahas upaya untuk menekan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 drajat. catatan Kelompok Kerja 1 IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dalam laporan bertajuk Perubahan Iklim 2021: Basis Ilmu Fisika (Physical Science Basis), suhu permukaan global telah menghangat dengan signifikan, dengan lima tahun terakhir (2016-2020) menjadi rekor tahun terpanas setidaknya sejak tahun 1850. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa Presiden Jokowi akan hadir dalam World Leader Summit COP 26 ini, dan sebelumnya Jokowi juga dijadwalkan hadir dalam pertemuan G20 di Italia. 

COP 26 ini sangat penting, paska COP 21 Paris. COP 26 ini akan membahas dan memutuskan beberapa agenda pokok yang tertuang dalam Kesepakatan Paris, dimana isu krusial dan cukup alot pembahasannya adalah implementasi artikel 6, di antaranya terkait dengan carbon offset. 

Salah satu solusi yang dipromosikan oleh berbagai negara adalah perdagangan karbon atau pun Karbon Offset. Termasuk Indonesia yang menyatakan siap dengan semua infrastruktur kebijakannya.

Menanggapi hal tersebut Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan bahwa dengan membiarkan korporasi pelaku pencemar tetap menjalankan bisnis seperti biasanya, Skema Offsetting justeru melahirkan ketidakadilan. Apalagi, di tengah ketidakhandalan hukum Indonesia dalam mengakui dan melindungi Masyarakat Adat dan wilayah adat, mekanisme tersebut potensial menjadi tunggangan baru para perampas wilayah adat. 

“Negara-negara dan komunitas global seharusnya tidak lagi berkutat pada mekanisme pasar, tetapi harus serius membicarakan mekanisme dukungan yang berbeda terhadap berbagai inisiatif dan praktek Masyarakat Adat dalam menjaga, melindungi, dan mengelola wilayah adat dan sumberdaya yang telah berkontribusi langsung pada penurunan emisi dan peningkatan stok karbon”, tegas Rukka.

Skema offsetting secara langsung dan tidak langsung menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat secara luas, masyarakat rentan secara keekonomian dan fisik/kesehatan, serta masyarakat adat. 

Lebih Lanjut, Manajer Kampanye Iklim Walhi Yuyun Harmono berpendapat bahwa penerapan dalam mekanisme pasar dan perizinan alam menambah rantai panjang konflik dengan masyarakat, karena ini merupakan perampasan tanah dan hutan secara sistemik dengan kedok hijau dan pemulihan iklim.

Yuyun Menambahkan bahwa Pemerintah masih memiliki pilihan yang jauh lebih menguntungkan seperti mendorong pendanaan iklim non pasar “Negara-negara maju harus memenuhi janji pembiayaan perubahan iklimnya, seperti Amerika yang berkomitmen memberikan pendanaan sebesar Rp.1.415 triliun setiap tahunnya”

Pemerintah Indonesia merasa sudah sangat siap dengan menyiapkan peraturan presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon yang didalamnya mengatur skema perdagangan karbon. Indonesia dianggap melupakan dampak perubahan iklim yang terjadi dikarenakan buruknya tata kelola industri ekstraktif.

Mufti Barri, Direktur Eksekutif FWI mengatakan Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk menekan emisi karbon, seperti menekan laju deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan. Deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 1,1 juta ha/tahun (2009-2013) menjadi 1,47 juta ha/tahun (2013-2017). Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Walaupun ada klaim penurunan laju deforestasi dari pemerintah dalam 2 tahun terakhir, Angka itu menjadi tidak berarti karena adanya pergeseran area-area terdeforestasi dari wilayah barat ke wilayah timur. 

“Klaim keberhasilan menurunkan angka deforestasi menjadi tidak relevan jika rupanya deforestasi secara besar terjadi hanya di beberapa lokasi. Sementara di tempat lain, deforestasi menurun bukan karena upaya yang dilakukan pemerintah, melainkan karena sumberdaya hutannya yang sudah habis.” Mufti melanjutkan “Begitu juga dengan kebakaran hutan dan lahan, pada tahun 2021, ada sekitar 229 ribu ha hutan dan lahan yang terbakar di Indonesia. Bahkan dua tahun sebelumnya (2019) luas hutan dan lahan yang terbakar mencapai 1,6 juta ha, dimana 1,3 juta ha (82%) terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan.  Ironisnya, di dua pulau itu pula izin-izin industri ekstraktif menguasai hutan dan wilayah adat.”

Lebih lanjut Khalisah Khalid dari Greenpeace Indonesia menjelaskan bahwa skema perdagangan karbon merupakan praktik greenwashing 

“Setiap perusahaan yang mengumumkan dana untuk melindungi hutan melalui skema carbon offset hanya melakukan greenwashing jika mereka tidak berkomitmen secara sungguh- sungguh untuk  menurunkan emisi mereka”, Kata Khalisah. 

Sudah saatnya Indonesia untuk segera mengakhiri deforestasi, didukung oleh undang-undang dan kebijakan yang ketat, yang mengakui hak atas tanah masyarakat adat, melindungi hutan secara total, menghilangkan deforestasi melalui rantai pasokan industri berbasis lahan.

Masyarakat adat dan praktek pengelolaan berkelanjutan terhadap sumberdaya alam  adalah solusi untuk krisis iklim. Masyarakat adat adalah orang-orang yang menjaga hutan kita tetap berdiri dan hutan yang sehat sangat penting untuk iklim yang sehat. Hak-hak masyarakat adat dan lokal harus menjadi inti dari semua kebijakan perlindungan alam. Tidak ada gunanya berbicara tentang perlindungan alam jika kita tidak melindungi hak orang-orang yang menjaga kelestarian hutan, menolak skema perdagangan karbon yang akan meminggirkan dan merampas hak masyarakat adat adalah bentuk kolonialisme baru melalui skema solusi palsu dalam isu perubahan iklim.

Kontak media: